Labels

Sunday, October 14, 2012

Sejarah Pecinta Alam Indonesia


SEJARAH PENCINTA ALAM INDONESIA

Kapan kegiatan pencinta alam secara resmi mulai di Indonesia? Benarkah perkumpulan pencinta alam pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1964 di Bandung dan Jakarta?


Pada mulanya penulis mengira perkumpulan pencinta alam atau yang sekarang lebih sering ditulis pecinta alam dengan menghilangkan tambahan huruf “n” (karena makna pencinta dinilai negatif oleh sebagian kalangan) didirikan pertama kali di Jakarta oleh MAPALA UI atas inisiatif Soe Hok Gie dan beberapa teman-temannya sesama penggiat alam. Selang beberapa bulan kemudian, di Bandung pun menyusul perkumpulan pencinta alam “WANADRI” pada tahun yang sama, 1964.
Namun penulis tercengang ketika membaca buku “Norman Edwin (MAPALA UI), Catatan Sahabat Sang Alam”. Sebuah buku yang berisi kumpulan artikel yang ditulis Norman berdasarkan pengalamannya ketika beraktifitas di alam terbuka pada dekade ’80-an sampai awal ’90-an. Di buku tersebut terdapat sebuah artikel yang dimuat di majalah Mutiara edisi 323, 20 Juni – 3 Juli 1984 yang berjudul ‘Awibowo, “Biang” Pencinta Alam Indonesia.’
Awibowo adalah seorang pendiri dari suatu perkumpulan pencinta alam di negeri ini. Ketika itu Norman beruntung bisa berkunjung ke kediaman kakek tersebut di Yogyakarta dan mewawancarainya secara langsung. Awibowo pun sempat memperlihatkan kepada Norman kartu anggota dan buku kecil Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perkumpulannya. Perkumpulan “Pentjinta Alam” (PPA) demikian nama organisasi ini, tepatnya didirikan tanggal 18 Oktober 1953. “Selesai revolusi, kami ingin mengisi kemerdekaan ini dengan kecintaan terhadap negeri ini, itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya” cerita Awibowo saat itu.
Waktu itu, Awibowo baru saja menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor). Bersama  beberapa rekannya Awibowo berkumpul untuk mendirikan suatu perkumpulan yang bergerak dengan kegiatan-kegiatan di alam terbuka.
“Kami ramai berdiskusi soal istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu,” cerita Awibowo. Ada yang mengusulkan untuk memakai istilah “Penggemar Alam” atau “Pesuka Alam”. “Tapi saya mengusulkan istilah “Pentjinta Alam”, karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka,” tutur Awibowo melanjutkan cerita kepada Norman. Menurut Awibowo gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka, tetapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi negeri ini?” Tanya Awibowo.
Perkumpulan Pencinta Alam
Akhirnya istilah “Pentjinta Alam” diterima. Dalam kartu anggota mereka tertulis: “PPA (Perkumpulan Pentjinta Alam) adalah perkumpulan kesukaan (hobby).” Selanjutnya tertulis: “Hobby diartikan suatu kesukaan jang positif serta sutji, lepas dan sutji dari “sifat maniak jang semata-mata melepaskan nafsunya dalam tjorak negatief.
Dalam Anggaran Dasar perkumpulan tertua ini, dijelaskan bahwa tujuan mereka adalah: Memperluas serta mempertinggi rasa tjinta terhadap alam seisinja dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat oemoemnja. Untuk mencapai tujuan tersebut, perkumpulan ini mengadakan beberapa usaha, yaitu ceramah-ceramah, penerbitan majalah, wisata alam, dan pertunjukan film tentang lingkungan alam. Waktu itu mereka membuatnya dengan iuran-iuran anggotanya tanpa sponsor seperti jaman sekarang.
Salah satu kegiatan besar yang mengesankan bagi Awibowo yang pernah dilakukan PPA adalah pameran pada tahun 1954 dalam rangka peringatan hari lahir kota Yogyakarta dengan membuat taman dan memamerkan foto-foto kegiatan perkumpulan.
Perkumpulan “Pentjinta Alam” berkembang pesat. Dari jumlah hanya berapa orang, tidak lama kemudian anggota-anggota mereka bertambah. Bukan cuma dari Yogyakarta, melainkan juga dari kota-kota lain, seperti Jakarta dan Padang. Hingga bubarnya perkumpulan ini tercatat sekitar enam ratus orang.
Namun sayang perkumpulan ini tidak berumur panjang karena suasana negeri yang tidak mendukung pada saat itu. Situasi politik pada saat itu yang diwarnai oleh komunis menjadi salah satu sebab tidak berjalannya roda organisasi. Akhir tahun 1950,  perkumpulan “Pentjinta Alam” tak terdengar lagi namanya.
Di usianya yang lanjut, Awibowo ikut mengelola beberapa taman serta kursus-kursus pertamanan dengan anak-anaknya. Kata-kata mutiara beliau yang terkenal: “Bila ingin hidup senang sehari, makanlah. Bila ingin hidup senang sebulan, menikahlah. Tapi, bila ingin hidup sejahtera selamanya….buatlah taman!”
Pesannya untuk para pencinta alam muda, “Terima kasih, kalian telah ikut menyuburkan benih-benih cinta alam yang kami taburkan dahulu. Jangan hanya berpartisipasi, tetapi berikan dedikasi yang murni kepada alam!”.
Inilah wawancara singkat antara Norman yang saat itu menjadi reporter majalah Mutiara dengan Awibowo, perintis dari perkumpulan pencinta alam pertama di Indonesia. Mereka telah menanamkan benih-benih cinta alam kepada bangsa Indonesia. Mereka berdua sudah lama dipanggil oleh Tuhan semesta alam. Selayaknya kita sebagai generasi penerus bangsa ikut serta dalam menyuburkan benih-benih cinta alam yang sudah mereka tanam. (Anamko/SPECTA)     


No comments:

Post a Comment