Labels

Saturday, October 20, 2012

Ma'rifah dan Nakirah dalam al-Qur`an


A.    Pendahuluan
Melihat betapa penting dan sentralnya posisi sebuah penafsiran atas kitab suci al-Qur’an, maka penafsiran terhadapnya perlu dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu dengan tetap berpegang pada “kaidah-kaidah atau pedoman-pedoman serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran. Di dalam hal ini, salah satu kaidah itu adalah kaidah Ta’rif dan Tankir.” Kaidah Ta’rif dan Tankir sangat penting dipelajari dan dikuasai oleh seorang mufasir, karena pemahaman suatu ayat atau kalimat kadang tergantung kepada penguasaan terhadap kedua komponen tersebut. 
 
B.     Pembahasan
1.                   Pengertian
At-Ta’aarif dan at-Tanaakir adalah bentuk plural dari Ta’riif dan Tankiir. Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab dan istilah ini biasa disebut dengan Ma’rifah dan Nakirah.  Kedua istilah ini adalah sebutan bagi al-Ism (kata benda). Yang pertama menunjuk kepada sesuatu yang sudah jelas dan terbatas; sementara yang kedua kebalikannya, yaitu menunjuk kepada suatu benda secara umum tanpa memberikan batasan yang jelas dan tegas. Atau dengan ungkapan lain, Ma’rifah menunjuk kepada individu secara khusus sedang Nakirah menunjuk kepada jenis dari individu tersebut.[1]
Kata (محمد) misalnya, adalah ism ma’rifah karena ia menunjuk kepada seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل)  adalah ism nakirah karena tidak menunjuk kepada seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan jenis laki-laki.
a.      Ma’rifah
Yang dimaksud term Ma’rifah dalam sub bahasan ini, khusus mengenai Ma’rifah yang menggunakan alif lam (ال), bukan kata-kata yang Ma’rifah secara umum. Untuk kajian ulum al-Quran, maka yang akan dikaji dalam bahasan kali ini adalah faedah-faedah atau tujuan pemakaian kata-kata yang ma’rifah dan nakirah dalam al-Quran.
Adapun para pakar ulum al-Qur’an, seperti Imam al-Zarkasyi dan al-Suyuthi menyimpulkan sejumlah dari faedah dari pemakaian kata-kata yang Ma’rifah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
1)      Menunjuk kepada kata yang sudah disebut sebelumnya, yaitu faedah ال للعهد الخارجى/الذكرى seperti: 
إنا أرسلنا إليكم رسولا شهيدا عليكم كما أرسلنا إلى فرعون رسولا (15) فعصى فرعون الرسول فأخذناه أخذا وبيلا (16)
Artinya:
15. “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun.
16. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.” Q.S. al-Muzammil (73):15-16
Kata (الرسول) yang ketiga itu sama konotasinya dengan kata (رسولا) yang disebut sebelumnya. Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat dipahami dari penggunaan (ال) pada kata (الرسول) yang ketiga tersebut.
2)      Menunjuk kepada sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara, yaitu faedah ال للعهد الذهنى seperti:
...إذ هما في الغار....
Artinya:
… ketika keduanya berada dalam gua….. Q.S. at-Taubah (09):40.
Kata (الغار) dalam ayat itu menunjuk kepada gua Hira, tempat Rasulullah bersama Abu Bakar ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy sewaktu hijrah ke Madinah. Itu sebabnya kata (الغار) diterjemahkan dengan gua Hira. [2]
3)      Menunjuk kepada waktu (sekarang) ketika peristiwa yang dimaksud terjadi, yaitu faedah ال للعهد الحضرى seperti: (اليوم, الأن) dan lain sebagainya. Sebagai contoh seperti dalam ayat ketiga surah al-Maidah (5):
...أليوم أكملت لكم دينكم ....
Artinya:
3. “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, ….”.
Kata hari yang dimaksud dalam ayat ini ialah hari Arafah. Hal ini dipahami dari (ال) yang digunakan pada kata tersebut karena ayat tersebut memang diturunkan pada hari Arafah ketika Nabi bersama para sahabatnya menunaikan ibadah haji.
4)      Menunjukkan kepada konotasi tertentu jika digunakan pada ism jenis. Artinya, penggunaan ال pada suatu ism jenis memberikan makna khusus antara lain:
a)      Untuk menunjukkan suatu kelebihan yang tidak dipunyai oleh yang lain (mubalaghah) seperti ungkapan زيد الرجل , artinya Zaid adalah seorang yang sempurna kelaki-lakiannya. Menurut Sibawayhi semua ال yang dipakai dalam sifat-sifat Tuhan masuk dalam kategori ini.
b)      Untuk menegaskan hakikat keberadaan dari ism jenis tersebut seperti ال pada QS. Al-An’am 89:
...أولئك الذين ءاينهم الكتاب والحكم والنبوة....4
Adanya tambahan ال pada kata-kata tersebut menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah mendatangkan ketiga unsur tersebut, bukan mengandung pengertian mubalaghah seperti yang pertama.
5)      Untuk menyatakan bahwa makna dari kata yang memakai ال tersebut mencakup semua individu yang tergabung di dalamnya (إستغراقية). Di antara ciri ال ini adalah boleh diikuti oleh istitsna’ (pengecualian) setelahnya seperti[3]:
...إن الأنسان لفي خسر(2) إلا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (3)
Dan boleh pula disifati dengan jamak seperti ال yang terdapat pada kata  الطفل dalam ayat 31 dari QS. An-Nuur:
...أوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء....
Kata الذين yang berfungsi sebagai sifat bagi الطفل adalah jamak dari الذي. Namun, di sini hal itu boleh terjadi karena الطفل memakai ال istighraqiyyah tersebut.
Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa masuknya ال pada suatu kata memberikan pengertian tertentu yang tidak dijumpai pada kata yang sama bila tidak memakai ال tersebut.
b.      Nakirah
Apabila pemakaian ال pada suatu kata (ism jenis) memberikan pengaruh terhadap pengertian kata tersebut, maka tidak memakainya  juga ada pengaruh terhadap konotasi kata itu. Kata ism yang tidak memakai ال seperti itulah yang dimaksud dengan ism nakirah dalam sub bahasan ini.[4] Ism Nakirah adalah ism yang menunjukkan kepada benda yang tidak tentu. Di dalam al-Quran pemakaian ism ini memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1)      Untuk menunjukkan individu tertentu/ ism tunggal (إرادة الوحدة), seperti kata (رجل) dalam Q.S. al-Qashash (28):20 yang menunjuk kepada seorang laki-laki.[5]
2)      Untuk menunjukkan ragam atau macam (إرادة النوع), seperti kata (دابة)  dalam Q.S. an-Nuur (24):45 yang mengandung pengertian beragam binatang dari air. Demikian juga kata  (حياة) dalam al-Baqarah (2):96, pengertian hayat (kehidupan) dalam ayat di atas adalah untuk mencari tambahan (bekal) di masa mendatang sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3)      Untuk mengagungkan atau memuliakan (التعظيم), seperti kata (حرب) dalam Q.S. al-Baqarah (2):279 yang berarti peperangan yang dahsyat.
4)      Untuk menunjukkan jumlah yang banyak (التكثير), seperti kata (أجرا) dalam Q.S. al-Syu’ara (26):42 yang berarti pahala yang banyak (cukup).
5)      Untuk menghinakan atau merendahkan (التحقير), seperti kata (شيء) dalam Q.S. ‘Abasa (80):19. Maksudnya adalah bahwa dalam ayat tersebut bermakna manusia diciptakan Allah dari sesuatu yang hina.
6)      Untuk menyatakan jumlah yng sedikit (التقليل), seperti kata (رضوان) dalam Q.S. at-Taubah (9):72. Maksudnya adalah ridha Allah yang sedikit, itu lebih besar daripada surga-surga yang ada karena merupakan pangkal kebahagiaan.[6]

2.      Contoh dan Analisisnya
Dalam konteks kaidah kebahasaan yang diadopsi oleh tafsir, ditemukan misalnya kaidah yang menyatakan bahwa: “Pengulangan kata yang sama dalam satu redaksi, bila ia berbentuk ma’rifat (definit), maka kata yang pertama sama kandungan maknanya dengan kata  yang kedua; sedangkan bila ia berbentuk Nakirah (indefinit), maka kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang pertama.[7] Misalnya, kalam Allah dalam Q.S. al-Insyirah (94):5-6.
فإن مع العسر يسرا (5) إن مع العسر يسرا (6)    
Artinya:
5.”Karena Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Di sini kata (العسر) yang berarti kesulitan, berbentuk Ma’rifah ditemukan dua kali. Masing-masing pada ayat 5 dan 6. Ini berarti keduanya mengandung makna yang sama. Berbeda dengan (يسر) yang berbentuk Nakirah, sehingga (يسر) yang pertama berbeda dengan (يسر) yang kedua. Dari sini dipahami bahwa setiap ada satu kesulitan dapat ditemukan dua kemudahan.[8]
Contoh lain terdapat dalam Q.S. ash-Shaaf (61):7 dan al-An’am (6):21;
ومن أظلم ممن افترى على الله الكذب وهو يدعى إلى الإسلام , والله لا يهدى القوم الظالمين (7)
Artinya:
7. “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan Dusta terhadap Allah sedang Dia diajak kepada Islam? dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.”(QS.ash-Shaf [61]:7)
(ومن أظلم ممن افترى على الله كذبا أو كذب بأياته, إنه لا يفلح الظالمون (21
Artinya:
21. “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-An’am [6]:21)
Dalam kedua ayat di atas terdapat kata (الكذب) dengan memakai (ال), kata ini disebut Ma’rifah dan kata (كذب) tanpa memakai (ال) disebut Nakirah. Setelah diteliti, ternyata perbedaan itu disebabkan berbedanya konteks ayat-ayat tersebut. Ayat dalam Q.S. ash-Shaaf tersebut, merupakan gambaran lebih lanjut dari sikap kaum Yahudi yang mendustakan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah ayat tersebut membawa kata (الكذب) dengan memakai (ال) sebagai isyarat dari Allah terhadap kedustaan yang telah mereka lakukan sebelumnya, karena (ال) di dalam struktur bahasa Arab dapat berfungsi sebagai petunjuk bahwa kata tersebut sudah disebut sebelumnya secara eksplisit (‘ahd dzikr), atau sebagai petunjuk bahwa makna kata tersebut sudah disebut sebelumnya (‘ahd dzihn).
Di dalam Q.S. ash-shaaf ayat 7 tersebut, (ال) yang dipakaikan pada awal (الكذب) tersebut berfungsi ‘ahd dzihn karena sebelum kata itu disebutkan Allah secara eksplisit di dalam ayat tersebut, pada ayat sebelumnya terdapat indikasi yang kuat bahwa mereka mendustakan al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah saw. sebagaimana tergambar dalam pernyataan mereka:
فلما جاءهم بالبينات قالوا هذا سحر مبين (6) 
Artinya:
“…Maka tatkala Rasul itu (Muhammad) datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." Q.S. ash-Shaaf (61):6
Ucapan ini mengandung arti bahwa mereka mendustakan agama Allah yang dibawa nabi Muhammad saw. Pendustaan yang tersirat itulah, kemudian dinyatakan Allah secara eksplisit dengan menggunakan (ال) pada kata (الكذب) sehingga kata itu menjadi Ma’rifah. Jadi seolah-olah kedustaan mereka itu telah dikenal sebelumnya. Adapun hilangnya (ال) pada kata (الكذب) dalam ayat berikutnya (al-An’am), disebabkan karena redaksi ayat-ayat tersebut berdiri sendiri, tidak seperti ayat yang pertama itu. Selain itu ada pula faktor yang mendorong untuk mengungkapkan kata tersebut dalam bentuk Nakirah, yaitu dipakainya kata penghubung (أو) yang berarti atau. Dengan demikian maka konotasi makna kalimat itu ikut berubah sebab dengan masuknya (أو) redaksinya memberikan pengertian bahwa mereka tidak hanya sekedar berbohong, melainkan juga berkata yang bukan-bukan terhadap Allah serta mendustakan ayat-ayat-Nya. Jika memang begitu, mengapa ayat 144 dari al-An’am, yaitu:
فمن أظلم ممن افترى على الله كذبا ليضل الناس بغير علم, إن الله لا يهدى القوم الظالمين (144)   
Artinya:
“…Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”Q.S. al-An’am (06):144
Pada ayat di atas juga terdapat kata (كذبا) tanpa (أل), padahal di dalamnya tidak terdapat kata (أو). Akan tetapi, redaksi yang terletak setelahnya, berkonotasi bahwa siapa saja yang sesat di antara mereka itu ialah sebagai akibat dari pemalsuan mereka terhadap ayat-ayat Allah.[9]
Kendati banyak contoh yang membuktikan kebenaran kaidah ini, namun tidak semuanya demikian. Dapat dilihat dalam kalam Allah Q.S. az-Zukhruf (43):84 sebagaimana berikut:
وهوالذي في السماء إله وفي الأرض إله, وهو االحكيم العليم (84)  
Artinya:
“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” Q.S. az-Zukhruf (43):84
Kata (إله) pada ayat ini diulangi dua kali dan keduanya bersifat Nakirah, sehingga sepintas terkesan ayat ini bermakna bahwa ada Tuhan di langit dan ada lagi Tuhan yang berbeda di bumi. Ini tentu saja bukan makna yang lurus dan benar. Dari sini ulama-ulama tafsir, tanpa mempersalahkan kaidah, menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kaidah (إله) pada ayat tersebut bukan dalam arti dzat Allah, akan tetapi ketuhanan-Nya. Dengan demikian, ayat di atas bermaksud menyatakan bahwa ketuhanan Allah berlaku bukan hanya di langit saja atau di bumi saja, akan tetapi juga pada keduanya.[10]Wallahu a’lam
C.    Kesimpulan
Setelah dipaparkan isi makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah Ma’rifah-Nakirah, sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka mengambil makna dari sebuah penafsiran al-Qur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah bahasa Arab, secara umum juga berlaku dalam al-Qur’an, karena ia sebagaimana kita ketahui memang diturunkan dalam bahasa Arab. Jika tanpa menguasai bahasa Arab secara baik, seseorang akan sulit dalam memahami al-Qur’an. 



[1] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.296.
[2]Nashruddin Baidan, Ibid., h.298. Penulis tidak menemukan referensi yang menunjukkan keterangan bahwa gua yang dimaksud adalah gua Hira, namun yang sudah diketahui secara umum bahwa tempat Rasulullah saw. dan Abu Bakar melarikan diri dari kejaran orang-orang Quraisy adalah gua Tsur yang berada di lereng gunung Tsur.
[3] Al-Zarkasyi, al-Burhan Fiy Ulum al-Quran-Jilid Empat, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 105.
[4] Nashruddin Baidan, op.cit., h.300.
[5] Al-Zarkasyi, op.cit., h.107.
[6] Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009) h.264.
[7] M. Quraysh Shihab, membumikan al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010) h.636.
[8] Ibid., h.636.
[9] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) h.234-236.
[10] M. Quraysh Shihab, Op.cit., h.637.
========================================================
Referensi:

Al-Zarkasyi, al-Burhan Fiy Ulum al-Quran-Jilid Empat, Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
________________, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Tim Penyusun, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, Kudus: Menara, 1974.
Usman, Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2009.

No comments:

Post a Comment