Labels

Friday, October 25, 2013

Kajian Tafsir di Indonesia: Tafsir Sufi Al-Fatihah Jalaluddin Rakhmat



Oleh: Hasanal Khuluqi
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2011

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an al-Karim yang berfungsi sebagai Hudan dalam memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita yang dapat menerangi berbagai persoalan hidup. Bahasanya yang demikian mempesona, redaksi dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung telah meluluhkan kalbu, Masyarakat  berdecak kagum walaupun nalar sebagian mereka menolaknya. Namun dewasa ini, masyarakat hanya berhenti dalam pesona bacaan seakan akan kitab suci diturunkan hanya untuk dibaca.
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan dalam kedalaman mutiara untaian kalimatnya. Dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar benar berfungsi sebagaimana mestinya. Mufassir juga dituntut untuk menghapus kesalahpahaman terhadap al-Qur’an, kandungan ayat-ayatnya dan pesan-pesannya agar dapat diterima dan diterapkan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Di indonesia penulisan kitab tafsir telah dmulai sejak abad XVI dan masih berlanjut hingga sekarang, setiap penafsiran pada abad yang berbeda akan menghasilkan corak penafsiran yang berbeda pula. Pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas secara global tentang tafsir sufi karya Jalaludin Rahmat yang di erbeitkan pada tahun1999, tafsir ini sendiri memiliki corak penafsiran yang berbeda dengan tafsir al-qur’an pada umumnya sehingga menarik untuk dikaji lebih lanjut.





BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi Pengarang
Jalaluddin Rahmat, populer dengan panggilan kang Jalal, lahir di Bandung pada tanggal 29 Agustus 1949. Berasal dari keluarga terdidik terutama dalam bidang agama Islam. Sebagaimana dikutip oleh penuis dari www.referensimakalah.com, Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan, “Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdiyyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di Puncak Bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam pejuangan gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya pada waktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat. Saya lalu berangkat ke kota Bandung untuk belajar di SMP.”
Ayahnya meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya itulah, beliau bertemu dengan Ihya Ulum al-Din, karya imam al-Ghazali. Ia begitu terguncang sehingga seperti (dan mungkin memang) gila. Ia meninggalkan SMA-nya dan berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada masa SMA itu pula ia bergabung dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad atau pemimpin masa depan.
Pada saat yang sama, Jalaluddin Rahmat juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu ia sempat kembali ke kampung untuk memberantas bid’ah, khurafat dan takhayul. Tapi yang ia berantas adalah perbedaan fikih antara Muhammadiyah dan fikih NU orang kampungnya. Misi hidupnya waktu itu adalah rumuskan singkat: menegakkan misi Muhammadiyah dengan Memuhammadiyahkan orang lain. Bahkan suatu ketika membuang beduk dari masjid di kampungnya, karena itu dianggap bid’ah.
Dalam posisinya sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan dari perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya Ia lulus dengan predikat magna cum laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average, ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.
Pada tahun 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa yang diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di berbagai kampus di Bandung. Ia juga memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN Bandung, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.
Jalaluddin Rahmat meninggalkan kampus tempatnya mengajar dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar Irfan dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, lalu ke Australia untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari para akademisi moderen di ANU (Australia's national university). Dari ANU inilah ia meraih gelar Doktornya.
Di Fakultas ilmu Komunikasi, UNPAD. Ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dll. Secara khusus ia pun membina kuliah Mysticism (Irfan/ Tasawuf) di Islamic College for Advanced Studies (ICAS), Paramadina University, yang ia dirikan bersama almarhum Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Haidar Bagir, dan Dr. Muwahidi sejak tahun 2002.
Sebagai aktifis ia membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shahab.
Dengan latar belakang keluarga, pendidikan, sekaligus sosial budaya yang terurai seperti di atas secara umum pemikiran Jalaluddin Rahmat dapat dikategorikan dalam beberapa aspek. Mulai dari aspek bidang pendidikan, fikih, komunikasi, sosial, sampai pada tasawuf seperti karya-karyanya yang mencakup beberapa aspek.
Jalaluddin Rahmat membentuk dan aktif dalam lembaga-lembaga modern seperti Yayasan Paramadina Jakarta, Pusat Kajian Tasawuf dengan nama Yayasan Tazkiya Sejati. Lalu pada 2004 Kang Jalal juga mendirikan dan memimpin satu forum lagi yang khusus bergerak di bidang kajian tasawuf, yaitu Kajian Kang Jalal (KKJ) yang pernah bermarkas di Gedung Bidakara, Jakarta.
Berikutnya, tahun 2003 mendirikan ICAS-Paramadina dan mendirikan Islamic Cultural Center (ICC), sejak tahun 2004 ia membina LSM OASE dan Bayt Aqila dan aktif membina Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), sebuah forum dialog. silaturahmi dan kerjasama atak tokoh-tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Terakhir sejak Agustus 2006 Ia membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta.
Selain aktif berdakwah, Kang Jalal juga mengisi seminar keagamaan di berbagai tempat, mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ICAS-Paramadina & ICC Jakarta dan UNPAD Bandung, Jalaluddin Rahmat menyisihkan waktu untuk mengisi pengajian rutin (Kuliah Ahad Pagi) di Masjid al-Munawarah, masjid di dekat rumah yang jama’ahnya sudah dibina sejak tahun 1980-an.
Jalaluddin Rahmat merupakan muballig yang ilmuwan, tokoh pembaharu islam, pendidik dan tokoh pembaharu. Selain itu dia juga seorang penulis yang produktif. Beliau mampu menulis beberapa cabang ilmu, diantaranya adalah tashawuf, kandungan al-Quran dan Hadits, sosial, komunikasi, fikih, dan laian sebagainya. Sebagaian karya-karyanya dibuat dalam rangka menjawab tantangan dan paham paradigma yang beliau anggap keliru.
Di antara karya Jalaluddin Rahmat, baik yang sudah diterbitkan maupun yang disampaiakn kepada para mahasiswa dan masyarakat adalah sebagai berikut:
Psikologi Komunikasi (1985)
Islam Alternatif (1986).
Islam Aktual (1991),
Renungan-Renungan Sufistik (1991).
Retorika M oderen (1992)
Catatan Kang Jalal (1997).
Reformasi Sufistik (1998).
Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998).
Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999).
Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999).
Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999).
Rindu Rasul (2001).
Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih (2002).
Psikologi Agama (2003)
Meraih Kebahagiaan (2004)
Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005).
Memaknai Kematian (2006)
Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (2006).
B.     Latar Belakang Penulisan Tafsir
Pada kata pengantar, Jalaludin telah menyinggung tentang posisi tafsir sufi dalam dunia akademis, beliau memulai pembahasan dengan keadaan tafsir sufi pada masa Abu Abdurrahman as-Sulami dan as-Syaikh al-Akbar ibnu Arabi yang tafsirnya kurang diterima atau mendapat respon negatif dari para ulama pada masanya, karena tafsirnya dianggap menyimpang dari islam da al-qur’an. Dari beberapa pembahasan dalam kata pengantar buku , penulis menyimpulkan bahwa salah satu latar belakang ia menulis Tafsir al-Fatihah adalah untuk memberikan suasana yang baru dalam tafsir yang bercorak sufistik, serta menjelaskan tentang ta’wil batiniyah yang menyebabkan tafsir sufi dianggap sesat dan menyesatkan. Sehingga para pembaca tidak asal menuduh tafsir yang bercorak sufistik adalah sesat atau berbicara terlalu jauh dari batas islam dan al-Qur’an.
C.     Sistematika Penulisan, Metode dan Corak Penafsiran
Pada kitab tafsir ini Jalaludin memulai penulisannya dengan menjelaskan pengertian tafsir dan ta’wil, hal tersebut terlihat jelas pada bab pertama dalam kitab tafsir in. jalaludin membedakan antara tafsir dan ta’wil, yang mana menurut definisi beliau tafsir adalah penjelasan tentang al-qur’an dengan merujuk pada keterngan dalam al-qur’an atau penjelasan dalam hadis, atau pernyataan para sahabat dan tabiin (tafsir bil ma’tsur) atau dengan berusaha menemukan makna yang tepat melalui penelitian yang benar (tafsir bil ra’yi). Sedangkan ta’wil memiliki dua makna yang membedakannya dengan tafsir. Pertama, ta’wil itu mengalihkan makna yang meragukan pada makna yang meyakinkan dan menentramkan. Kedua, ta’wil adalah makna batiniyah, disamping makna utama atau lahiriyah. Pada bab selanjutnya Jalaludin membahas tentang fadhilah surat al-fatihah, tafsir isti’adzah dan kasykul.
Setelah penulis membaca isi kitab tafsir ini, penulis menyimpulkan bahwa kitab tafsir ini menggunakan metode maudlu’I, sedangkan untuk corak penafsirannya adalah sufi. Dalam menjelaskan tafsrinya beliau banyak mengambil hadis dari ahlul bait.
D.    Isi dan Pembahasan Tafsir Sufi al-Fatihah
Sebagaimana yang tertera pada back cover kitab ini merupakan muqaddimah tafsir al-Fatihah. Mungkin itulah sebab mengapa pembahasan kitab ini tidak menafsirkan surat al-fatihah sebagaimana mestinya. Ia memaparkan  nama-nama lain surat al-fatihah seperti ummul kitab, ummul qur’an yang berarti surat ini mencakup semua rahasia yang tinggi, yang menjadi tujuan paling utama dan dicari seorang hamba. Sab’al-matsani yang diambildari kata sab’ yang berarti tujuh: mengacu pada tujuh ayat al-fatihah, al-matsani yang berarti berulangulang karena berkali-kali dibaca dalam lima waktu sholat. Surat al-hamd, disebut demikian karena karena banyak surat dalam al-qur’an dikenal dengan surat pertamanya; misalnya surat thaha, yasin dan lain-lain. Surat ad-du’a disebut demikian karena dalam al-fatihah terdapat permohonan hamba yang lemah kepada tuhan yang maha perkasa, serta dialog antara pecinta dan yang dicintainya. surat as-syifa, disebut demikian karena sebuah hadis menyebutkan bahwa al-fatihah dapt mnyembuhkan orang yang tersengat kalajengking.
Setelah menjelskan nama-nama lain surat al-fatihah, jalaludin membahas tentang fadhilah atau keutamaan surat al-fatihah, yang antara lain adalah:
  1. Lebih baik dari kesenangan duniawi
  2. Turun langsung dari arsy tuhan
  3. Keistimewaan bagi umat Rasulullah SAW
  4. Besar pahala bagi pembacanya
  5. Shalat tidak sah tanpa membaca al-fatihah
  6. Memberikan pengampunan dan perlindungan
  7. Memberikan kesembuhan untuk berbagai penyakit
Selanjutnya Jalaludin membahas tentang ist’adzah atau yang sering disebut ta’awudz, meskipun tidak termasuk dalam surat al-fatihah dan bukan bagian dari al-qur’an, tetapi kita diperintahkan untuk membacanya sebelum membaca al-qur’an. Menurut ibn Qayyim sebagaimana dikutip Jalaludin,beberapa alasan beristi’adzah atau berlindung dari setan sebelum membaca al-qur’an adalah, pertama, al-qur’an adalah obat untuk penyakit hati, untuk menghilangkan apa yang dimasukkan setan kedalamnya berupa keraguan, dorongan nafsu dan kemauan buruk, tuhan memerintahkan agar kita mengusir sumber penyakit dan mengosongkan hati daripadany, sehingga ketika obat datang hati dalam keadaan kosong dengan begitu khasiat al-qur’an bisa diserap secara maksimal, kedua, al-qur’an adalah sumber petunjuk, ilmu dan kebaikan dalam hati, al-qur’an adalah air yang menumbuhkan tanaman dan setan adalah api yang membakar tanaman, setiap kali setan melihat tumbuhnya kebaikan dalam hati manusia maka setan berusaha membakarnya. Ketiga, para malaikat suka mendekati para pembaca al-qur’an dan mendengarkan bacaanya. Keempat, setan berusaha menarik pembaca al-qur’an dengan tipuan dan rekayasa sehingga ia berpaling dari al-qur’an. Kelima, karena Allah senang mendengar qari’ yang sedang bermunajat kepada Allah dengan membaca firman-firmanNYA. Keenam, karena setan selalu berusaha mengganggu para pembaca al-qur’an dengan mengacaukan pikiran dan hati mereka. Ketujuh, ketika manusia sedang memperhatikan kebaikan atau sedang melakukanya, setan sangat ingin untuk memutuskan perhatiannya itu. Kedelapan, kerena beristi’adzah sebelum qira’at adalah tanda dan ciri bahwa yang akan dibaca adalah al-qur’an. Karena itu isti’adzah tidak pernah dibaca sebelum apapun selain al-qur’an.
Adapun beberapa keutamaan Isti’adzah adalah:
  1. Menghindarkan pertengkaran
  2. Sebagai dzikir pagi dan petang
  3. Menjauhkan diri dari setan
  4. Do’a masuk rumah
  5. Do’a bangun dari mimpi buruk
  6. Do’a perlindungan bagi anak-anak
  7. Do’a diatas mimbar
  8. Mematahkan punggung setan
Setelah banyak membahas tentang keutamaan ist’adzah. Jalaludin menjelaskan tentang lima rukun isti’adzah, yaitu: isti’adzah yang berarti memohon perlindungan, penjagaan, dan pertolongan, ada tiga syarat untuk melakukan isti’adzah yaitu pengetahuan, keadaan, dan perbuatan. Al-muta’idz adalah orang-orang yang melakukan isti’adzah, yaitu kita semua sebagai hamba Allah; melakukan isti’adzah hukumnya wajib karena diperintahkan oleh tuhan dan dicontohkan oleh rasulnya. Al-musta’idz bihi adalah berlindung kepada Allah dengan menggunakan kalimat Allah. Al-musta’idz minhu, memohon perlindungan dari segala sesuatu yang mendatangkan kesengsaraan dan kerusakan kepada kita. Fima yasta’dzu lahu: dengan beristi’adzah kita ingin mengumpulkan kebaikan dari pemilik kebaikan dan menghindari keburukan yang berasal dari sumber keburukan.
Pada setiap akhir pembahasan Jalaludin menuliskan kasykul yang berisi catatan tambahan seperti hadis dan nasehat yang ditulis dengan rima, khasiat surat al-fatihah dan bermacam-macam isti’adzah yang digunakan oleh ahlul bait.
BAB III
PENUTUP
Jika diamati tafsir sufi karya jalaludin ini tidak menafsirkan ayat-ayat al-qur’an seperti pada umumnya, karena jalaludin baru memberi muqaddimah untuk tafsir al-fatihah. Namun, banyak ilmu yang bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk masyarakat awam. Adanya kasykul dalam setiap akhir pembahasan dapat memperkaya wawasan pembca kitab tafsir sufi al-fatihah.satu hal yang penulis simpulkan, bahwa kitab tafsir ini tidak dimaksudkan untuk para ulama dan akademisi. Buku ini ditujukan untuk semua orang yang melihat al-Qur’an sebagai petunjuk praktis untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Daftar Pustaka
Baidan, Nasrudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Rahmat, Jalaludin. Tafsir Sufi al-Fatihah. Mukaddimah. Bandung: Rosda. 1999
http://www.referensimakalah.com/2013/01/biografi-jalaluddin-rahmat.html. diakses pada tanggal 12 Mei 2013

No comments:

Post a Comment