Labels

Thursday, October 1, 2015

TAFSIR TARJUMAN AL-MUSTAFID Karya Syaikh ‘Abd al- Rauf al-Singkili

TAFSIR TARJUMAN AL-MUSTAFID
Karya Syaikh ‘Abd al- Rauf al-Singkili
Tafsir Lengkap Pertama di Indonesia Berbahasa Melayu
Oleh Mat Husein 
(Mahasiswa FUD IAIN Surakarta 2011)


Pendahuluan
Kajian tafsir tidak hanya diminati oleh para sarjana muslim. Sarjana-sarjana Barat yang tergabung dalam wadah orientalis juga memiliki perhatian yang cukup serius. Kajian tafsir juga tidak hanya difokuskan kepada tafsir-tafsir berbahasa Arab, tafsir-tafsir Indonesia juga menarik perhatian beberapa kalangan, tak terkecuali para orientalis. Salah satu tafsir Indonesia adalah tafsir Tarjuman Mustafid, tafsir yang konon merupakan tafsir tertua di negeri ini adalah merupakan karya ulama besar dari Aceh, yaitu Syeikh Abdurrauf al-Singkeli.
Makalah pendek ini hendak mengetengahkan kajian tafsir tersebut. Penulis akan mencoba mendeskripsikan karya tafsir itu sembari mengurai beberapa hal yang terkait dengan kajian tafsir pertama terlengkap 30 juz yang dimiliki dunia Nusantara.

Pembahasan
a.         Biografi ‘Abd al- Rauf al-Singkili
Sosok ini mempunyai nama lengkap ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili atau yang biasa disebut ‘Abd al-Rauf al-Singkili (Al-Singkili) merupakan salah satu dari empat ulama masyhur dan berpengaruh yang pernah muncul di Aceh pada abad 17 M. Tahun kelahiran al-Singkili tidak diketahui secara pasti, namun seorang peneliti yakni Prof. Rinkes mengadakan kalkulasi kebelakang di hitung dari saat kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh, maka as-Singkili diperkirakan lahir sekitar tahun 1615 M (1024 H), di daerah Singkel yang terletak diujung selatan pantai Barat Aceh. al-Singkili meninggal sekitar tahun 1105/1693 dikuburkan di Kuala atau mulut sungai Aceh.[1]
b.        Perjalanan Intelektual
Al-Singkili adalah seorang ulama yang cukup disegani pada masanya. Karier Pendidikan al-Singkili ditanah airnya tidak begitu jelas diketahui, tetapi menurut salah satu sumber yang mengkaji al-Singkili, al-Singkili Memulai pendidikan awalnya ditanah kelahirannya, yakni di Singkel, terutama dari ayahnya. Menurut Hasjmi, ayahnya adalah seorang alim dan juga mendirikan sebuah madrasah yang menarik murid-murid dari berbagai tempat yang berada di kesultanan Aceh. Besar kemungkinan juga beliau melanjutkan pendidikannya di Barus atau biasa disebut dengan Fansur suatu daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Seperti diungkap oleh seorang sejarawan bernama Drakkard dalam bukunya History of Barus, mengatakan bahwa “negeri itu (Barus) merupakan pusat Islam yang cukup penting sekaligus titik penghubung antara orang melayu dengan kaum muslimin dari Asia Barat dan Asia Selatan”. Selanjutnya, menurut sejarawan Indonesia A. H. Hasjimi, penulis buku “Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, ulama Negarawan yang Bijaksana”, al-Singkili kemudian melanjutkan pendidikannya ke Banda Aceh, ibukota Kesultanan Aceh, untuk belajar dengan, antara lain, Hamzah Al-Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumatrani. Namun anggapan tersebut dibantah oleh Azyumardi Azra, penulis buku Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII yang terbit pada 1998. Menurutnya anggapan tersebut tidak masuk akal.[2]
Menurut Azyumardi Azra, al-Singkili tidak mungkin berguru (bertemu) dengan Hamzah Al-Fansuri, sebab menurutnya Hamzah meninggal sekitar tahun 1016/1607, pada saat itu al-Singkili belum lahir. Mengenai bergurunya Al-Singkili dengan Syams Al-Din Al-Sumtrani, Azyumardi Azra memperkirakan bahwa kemungkinan al-Singkili pada waktu itu berada pada usia belasan tahun. Tetapi menurutnya tidak ada indikasi untuk mendukung kemungkinan hal itu.[3]
Pada masa al-Singkili dilahirkan, tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama, kondisi Aceh pada masa itu berada dalam puncak kejayaan, dibawah pimpinan sultannya yang terbesar, yakni Iskandar Muda. Seteleh al-Singkili menempuh pendidikan di tanah kelahirannya, ia berangkat ke Negeri Arab sekitar tahun 1643 (1064 H) dalam rangka memperdalam dan memperluas pengetahuannya dalam bidang agama. Situasi dan kondisi tanah kelahirannya ketika keberangkatan al-Singkili ke Arab berbeda ketika pada masa ia dilahirkan, pada masa itu negeri Aceh teleh dipimpin oleh seorang wanita (Ratu) bergelar Sultanah Safiyatuddin yang sedang berada dalam suasana kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan. Besar kemungkinan, faktor ini yang mendorongnya melanjutkan pendidikan ke tanah Arab. Situasi ini berbeda ketika al-Singkili lahir dan mulai tumbuh di bumi rencong di bawah kendali seorang sultan bergelar Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaannya juga faktor-faktor lain yang telah disebutkan di atas.
c.         Karya-karyanya
‘Abd al-Rauf al-Singkili merupakan seorang ulama yang produktif, terbukti lebih dari 21 karya dalam versi lain 22 karya telah dihasilkannya baik itu yang ditulis dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab. Dari karya yang ditulis olehnya mencakup berbagai macam disiplin ilmu yaitu fiqih, tafsir, hadits, kalam, tasawuf dan lain-lain. Diantara karya-karya ‘Abd al-Rauf al-Singkili adalah: Pertama, dalam bidang ilmu tafsir: Tarjuman Al-Mustafid, (karya manumentalnya). Kedua, dalam bidang fikih: Mir’at Al-Thullab fi Tasyil Ma’rifat Al-Ahkam Al-Syar’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab, kitab ini merupakan kitab kajian fikih lebih khususnya adalah fikih mu’amalah yang berisi saduran dari kitab Fath al-Wahhab karangan Zakariyya al-Anshari dan merupakan kitab fikih mua’malah pertama di Nusantara (Indonesia), Kitab Al-Fara’idh. Ketiga, dalam bidang hadits : penafsiran mengenai Hadits Arba’in (empat puluh hadits) karya Imam An-Nawawi kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakkiyyat Al-Din, Al-Mawa’izh Al-Badi’ah; kitab ini merupakan kumpulan hadits qudsi. Keempat, dalam bidang tasawuf : Kifayat Al-Muhtajin ila Masyrab Al-Muwahhidin Al-Qa’ilin bi Wahdat Al-Wujud; kitab ini berisi ajaran-ajaran mistis yang mencoba mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. beliau menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya, Kitab tasawuf lainnya adalah Daqa’iq Al-Huruf; kitab ini merupakan argumentasi pendek penafsiran atas apa yang dinamakan “empat baris ungkapan panteistis” Ibn ‘Arabi. Adapaun dalam menafsirkan ungkapan Ibn ‘Arabi sebagaimana diungkapkan oleh A.H. Johns bahwa Abd al-Rauf al-Singkili menafsirkannya dengan pengertian ortodoks, yang membuktikan bahwa alam dan Tuhan tidaklah dapat disamakan. Kitab tasawuf lainnya adalah ‘Umdat al-Muhtajin,dan Bayan Tajalli, dan masih banyak karya tulis (tasawuf) lainnya.[4]
d.        Kajian al-Qur’an dan Penulisan Tafsir di Nusantara
Sejak pertama Islam masuk ke Aceh, tahun 1290 M, pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Waktu itu, banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplan, Teungku di Geureudog, dan yang lain. Pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh, awal abad ke-17 M, surau-surau di Aceh menga-lami kemajuan. Muncul banyak ulama terkenal waktu itu, seperti Nuruddin al-Raniri, Ahmad Khatib Langin, Syamsuddin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, dan Burhanuddin.[5]
Analisis Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia memperlihat-kan bagaimana al-Quran telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian al-Quran” di surau, langgar, dan masjid. Yunus berkesimpulan bahwa pendidikan al-Quran, pada waktu itu, adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (figh). Kesimpulan serupa juga dikemuka-kan oleh Indonesianis terkemuka asala Belanda Karel A. Steenbrink. Menurutnya, pengajaran al-Quran tersebut merupakan pelajaran membaca beberapa bagian al-Quran. Untuk permulaan, anak diajari surah al-Fatihah dan kemudian surat-surat pendek dalam juz ‘amma (terdiri dari surah ke 78 hingga dengan surah ke 114). Dalam pengajian ini, para murid mempelajari huruf-huruf Arab dan mengha-falkan teks-teks yang ada dalam al-Quran. Di samping itu, diajarkan pula peraturan dan tata tertib shalat, wudlu, dan beberapa doa. Mata pelajaran yang diajarkan semua tergantung pada kepandaian guru ngaji, yang juga mengajarkan beberapa unsur ilmu tajwid yang bermanfaat untuk melafalkan ayat suci al-Quran dengan baik.[6]
Sementara itu, tradisi penulisan tafsir di Nusantara sebenarnya telah ber­gerak cukup lama, dengan keragaman teknis penulisan, corak dan bahasa yang dipakai. Uraian berikut ini akan mengungkap tentang perjalanan dan sejarah penulisan tafsir yang pernah muncul di wilayah Nusantara dari masa ke masa.
Satu abad kemudian, muncul karya tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz. Tahun penulisan karya ini tidak bisa diketahui dengan pasti. Namun Peter Riddel, setelah melihat informasi dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan, bahwa karya ini ditulis sekitar tahun 1675 M.[7]
e.         Contoh Penafsirannya
Setelah kita amati dengan baik corak penafsiran yang dilakukan oleh Syeh Abd. Ro’uf as-Singkili nampaknya lebih cendrung dalam memahami teks al-Qur’an pada bentuk bacaan tepatnya bagaimana perbedaan dalam khot Usmani dan khot Imla’i khususnya bagaimana ia memahami bacaan-bacaan yang berbeda dikalangan para Imam ahli Qur’an bukan sub kebahasaannya. Dan ini menarik sekali dan sangat penting untuk kita ketahui khusunya bagi para mufassir untuk memahami tidak hanya sebatas unsur bahasa, asbabun nuzul dan lain sebagainya, karena tidak semua rasm yang tertulis di dalam a-Qur’an itu dibaca sebagaimana bentuk tulisan yang ada di dalamnya melainkan betapa banyak bentuk rasm-rasm yang ada akan tetapi cara bacanya berbeda-beda, baik dalam bentuk khot, harkat bagaimana cara waqof dan washal, perbedaan-perbadaan antara imam. Hal semacam ini menunjukkan arti-arti tertentu khususnya dalam penafsiran ayat al-Qur’an.
Pada mulanya tafsir Tarjuman Al-Mustafid dianggap sebagai karya terjemahan dari sebuah karya tafsir Al-Qur’an yakni tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baidhawy (w. 1385). Keterangan yang menyebutkan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan karya terjemahan dari tafsir al-Baidhawy adalah datang dari seorang orientalis berkebangsaan Belanda yakni Snouck Hurgronje dengan mengatakan bahwa: "Hasil karya Abdurrauf yang terkenal lainnya adalah terjemahan tafsir Al-Qur’an karangan Al-Baidhawy ke dalam bahasa Melayu”. Statemen Snouck Hurgronje di atas kemudian diikuti oleh beberapa serjana Eropa yang menganalisa tafsir Tarjuman al-Mustafid atau tafsir Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawy diantaranya adalah Prof. Rinkers yang nota bene adalah murid Snouck Hurgronje sendiri. Rinkers bahkan menambahkan bahwa “Tafsir Tarjuman al-Mustafid disamping mencakup terjemahan dari tafsir Al-Baidhawy juga merupakan karya terjemahan dari tafsir jalalayn”.
Terlepas dari perdebatan diatas, paling tidak kami telah melakukan penyeleksian dan perbandingan antara tafsir Tarjuman al-Mustafid dengan tafsir-tafsir lainnya yang telah manjadi perbincangan dikalangan umat Islam. Menurut kami tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah sangat berbeda dengan tafsi-tafsir lainnya termasuk sebagaimana dibanding dengan tafsir Anwaru at-Tanzil wa Asraru at-Ta’wil (Al-Baidhawi), hanya sebagian saja yang ada kesamaan karena dalam cara menafsirkan ayat ada dua metode yaitu bil-Ma’tsur dan bil-Ra’yi. Adapun kesamaan yang terdapat dari sebagian kecil dari beberapa ayat di dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid ketika penafsiran itu mengutip dari beberapa riwayat dan pendapat baik dari sahabat, tabi’in dan ulama’-ulama’ ahli tafsir lainnya, karena penafsiran bilma’tsur tidak mungkin berbeda ketika ia merujuk pada ahli tafsir sebelumnya.
Oleh sebab itu kami menyimpulkan bahwa tafsir Tarjumun al-Mustafid bukanlah terjamahan dari tafsir Al-Baidhawi akan tetapi tafsir Tarjuman al-Mustafid lebih cenderung seperti terjamahan biasa hanya ada beberapa ayat saja ketika As-Singkili menerjamahkan ayat apabila ada ayat yang harus dijelaskan beliau menjelaskan menurut riwayat (bil-Ma’tsur) bukan penafsiran secara rinci sebagaimana umumnya tafsir-tafsir lainnya. Untuk lebih jelasnya kita lihat dan kita bandingkan corak penafsiran antara tafsir Tarjuman Mustafid dan Al-Baidhawi. Ayat yang sama dalam tafsiran al-Baidhawi adalah;
Contoh Pertama (Tafsir al-Baidhawi)
)وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ( بسبب إذنه في طاعته وامره المبعوث اليهم بان يطيعوه, وكأنه احتج بذالك على ان الذي لم يرض بحكمه وان اظهر الاسلام كان كافرا مستوجب القتل. وتقريره ان إرسال الرسول لما ام يكن الا ليطاع كان من لم يطعه ولم يرض بجكمه لم يقبل رسالته ومن كان كذالك كان كافرا مستوجب القتل. (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ) بالنفاق اوالتحاكم الى الطاغوت (جَاءُوكَ) تائبين من ذلك وهو خبر أن واذا متعلق به.  (فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ) بالتوبة والاخلاص. (وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ) واعتذروا اليك حتى انتصبت لهم شفيعا, وانما عدل الخطاب تفخيما لشأنه وتنبيها على ان من احق الرسولان يقبل اعتذارالتائب وان عظم جرمه ويشفع له, ومن منصبه ان يشفع في كبائرالذنوب. (لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) لعلموه قابلا لتوبتهم متفضلا عليهم بالرحمة, وان فسر وجد بصادف كان توبا حالا ورحيما بدلا منه اوحالا من الضمير. [8]
Dalam tafsiran al-Baidhawi seperti yang kita lihat diatas jelas beliau menjelaskan dengan pendapatnya secara rinci, bahwa Pada bagian pertama dari ayat ini, Allah menerangkan: bahwa setiap Rasul yang diutus Allah ke dunia ini semenjak dari dahulu sampai kepada Nabi Muhammad saw wajib ditaati dengan izin (perintah) Allah, karena tugas risalah mereka adalah sama, yaitu untuk menunjuki umat manusia ke jalan yang benar dan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat. Juga dalam ayat ini dikaitkan taat itu dengan izin Allah, maksudnya ialah bahwa tidak ada sesuatu makhlukpun yang boleh ditaati melainkan dengan izin Allah atau sesuai dengan perintah Nya, seperti menaati Rasul, ulil amri, ibu bapak dan sebagainya, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Pada bagian kedua sampai akhir ayat ini, Allah menerangkan: Andaikata orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri yaitu orang-orang yang bertahkim kepada Tagut seperti ayat tersebut, datang kepada Nabi Muhammad ketika itu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun turut memohon supaya mereka diampuni, niscaya Allah akan mengampuni mereka, karena Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.  Di dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang bertahkim kepada Tagut itu adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, karena mereka melakukan kesalahan besar dan membangkang tidak: mau sadar.
Contoh Kedua (Tafsir Tarjuman al-Mustafid)
  (وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ) دان تيادا كامي سورهكن درفد فسوره ايت ملينكن سفاي دايكة اي فديأرغيغ دسورهكنث دان يغ دي حكمكن دغن سوره الله تعالى. (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) دان جكلو بهوسث مريكئيت تتكل دتيائي مريكئت اكند بري مريكئيت سبب فركي بر حكم كفدا يغ بايق درهكاث ايت داتغ كيراث مريكئيت مك ممنتا امفون مريكئيت كفدا الله تعالى دان منتا امفون بكي مريكئيترسول الله نسجاي دفراوله مريكئيت الله منريم توبة اتس مريكئيت لاكي مغسهاني اكن مريكئيت.[9]
Dari contoh yang kedua diatas kita lihat sangat berbeda dengan yang pertama corak penafsirannya, ia lebih condong seperti terjamahan biasa meskipun ada beberapa ayat yang corak penafsirannya Bil-Ma’tsur namun hanya sedikit saja. Contoh dalam surat Al-Fatihah sebagai berikut;
ÉOó¡Î «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ دغن نام الله يغ أمة موره ددالم دنيا اني لاكي يغ أمة مغسهاني همباث يغ مؤمن ددالم نكري اخرة ايت جوا كومغمبل بركة فدا ممباج فاتحة اني (ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ ) سكل فوجي ثابت بك الله توهن يغ ممفيائي سغل مخلق (Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ ) لاكي توهن يغ أمة موره ددالم دنيا اني لاكي يغ أمة مغسهاني همباث يغ مؤمن ددالم نكري اخرة (Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ ) راج يغ ممرنتهكن فدا هاري قيمة.
(فائدة) فدا ميتاكن اختلاف انتارا سكل قارئ يغ تيك فدا ممباج ملك مك ابو عمر دان نافع اتفاق كدواث اتس ممباج ملك دغن تياد الف دان حفص دغن الف مك ادله معناث تتكل دباج دغن الف توهن يغ ممفيائي سكل فكرجأن هاري قيمة. (برمول) جكلو ترسبت فدايغ لاكي اكنداتغ بجأن دوري دمكينله مك يائت باج مريد نافع دان ابو عمر كارن سكل امام قارئ يغ مشهور ايت توجه جوا مك تيف- تيف سؤرغ درفدا مريكئيت دوا مريد ث يغ مشهور (فرتام) درفدا يغ توجه إيت (نافع) نماث مك مريد ث يغ مشهور قالون دان وارش (كدوا) ابن كثير نماث مك مريدث بزي دان قنبل (كتيك) ابو عمر نماث مك مريدث دوري دان سوسي (كأمفت) ابن عامر نماث مك مريدث هشام دان ابن زكوان (كليم) عاصم نماث مك مريدث ابو بكر دان حفص (كأنم) حمزة نماث مك مريدث خلف دان خلاد (كتوجه) كسائي نماث مك مريدث ابوالحارث دان دوري مك دنمائي دوري ابن دوري كسائي دان يغ دهولو ايت دوري ابوعمرو. والله اعلم.. (x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ ) كامي تنتو كرنا اكنديكو عبادة دان كامي تنتوة درفدام تولغ اتس بربوة عبادة دان يغ لاين ث($tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ ) بري فرتنجؤ اولهم اكر كامي جالن يغ بتل (xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ ) جالن سكل مريكئيت يغ تله كو نكرهائي نعمة اتس مريكئيت لاين درفدا جالن سكل يغ د مركائي اتس مريكئيت دان لاين درفدا جالن سكل اورغيغ سست (برمول) دكهنداقي دغن جالن يغ دمركائي دسيني سكل جالن يهودي دان جالن سكل يغ سست جالن سكل نصرني. والله اعلم..[10]
Kesimpulan
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid ini merupakan tafsir pertama lengkap 30 juz di Indonesia, pengarang tafsir ini tidak hanya menyumbangkan ilmu dibidang tafsir saja di negara tercinta ini melainkan juga dibidang ilmu tashawuf, fiqih dan lain sebagainya. Corak penafsiran yang dilakukan oleh Syekh Abd. Ro’uf lebih cendrung pada pembahasan mengenai perbedaan-perbedaan Qiro’ah as-Sab’ah karena perbedaan tersebut tidak hanya sebatas memvareasi keindahan lagu dibidang Qori’ khususnya akhir-akhir ini yang mana sering kali kita dengar dilakukan oleh ahli-ahli Qur’an, tapi bagi beliau lebih mengacu untuk memahami bagaimana yang sebenarnya perbedaan tersebut menunjukkan arti-arti tertentu sebagaimana telah dilakukan dan dipahamai oleh para sahabat pada sejak turunnya ayat pada Rasulullah SAW. Semoga dengan makalah singkat ini bermanfa’at bagi kita semua. Amien...
Daftar Pustaka
Abd. Ro’uf as-Singkili, Tarjuman Al-Mustafid, Surah Al-fatihah. Th.1951/1370
Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1994)
Gusmian Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta : Teraju, 2003)
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : LP3ES, l994)
Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya, 1984)
Yusuf M. Yunan, “Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia”, dalam jurnal Pesantren,1991.


[1] www.knowledge-leader.net
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya, 1984), h. 24
[6] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : LP3ES, l994), h. 10.
[7] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 54.
[8] Nashiruddin Abi Sa’id Adbillah bin Umar bin Muhammad Asy-Syraziy Al-Baidhawi. (w. 791 H) Tafsir Al-Baidhawi, Jilid I, hal.222, Cet. I DARUL KUTUB AL-ILMIYAH BAIRUT LIBANON, 1408 H/1988 M.
[9] Abd. Ro’uf as-Singkili, Tarjuman Al-Mustafid, Surah An-Nisa’ayat 64. Th.1951/1370
[10] Abd. Ro’uf as-Singkili, Tarjuman Al-Mustafid, Surah Al-fatihah. Th.1951/1370

No comments:

Post a Comment