Labels

Monday, October 15, 2012

Sifat Orang-orang Terpuji


AKHLAQ TERPUJI
TAFSIR SURAH AL-MUKMINUN (AYAT 1-9)
Oleh : Khoerul Anam
قد افلح المؤمنون (1) الذين هم في صلاتهم خاشعون (2) والذين هم عن اللغو معرضون (3) والذين هم للزكاة فاعلون (4) والذين هم لفروجهم حافطون (5) إلا على أزواجهم أوما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين (6) فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون (7) والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون (8) والذين هم على صلواتهم يحافطون (9)

“1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menyangkut zakat adalah pelaksana-pelaksana, 5. dan orang-orang yang menyangkut kemaluan mereka adalah pemelihara-pemelihara, 6. kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah pelampau-pelampau batas. 8. dan orang-orang yang terhadap amanat-amanat mereka dan perjanjian mereka adalah pemelihara-pemelihara. 9. dan orang-orang yang menyangkut shalat-shalat mereka selalu memelihara(nya).” (al-Mu’minun: 1-9)
Menurut Sayyid Quthub, “Nama surah ini menunjuk dan menetapkan tujuannya, ia dimulai dengan uraian tentang sifat-sifat orang mukmin, lalu dilanjutkan dengan bukti keimanan dalam diri manusia dan alam raya, kemudian tentang hakikat iman dan lain sebagainya, dengan demikian – tulis Sayyid Quthub – Surah ini adalah surah
al-Mu’minun atau surah al-Iman dalam seluruh aspek, dalil-dalil dan sifat-sifatnya, dan itulah tema utamanya.”
An-Nasa’I meriwayatkan bahwa Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., dia menjawab, “Sesungguhnya akhlak beliau adalah al-Qur an.” Kemudian dia membaca ayat 1 surah al-Mu’minuun, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”, sampai pada ayat 9, “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”  Aisyah berkata, “Demikianlah perilaku Rasulullah saw.”
Ayat 1 (Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,)
Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa: Sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah mendapat apa yang didambakannya orang-orang mukmin, yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal saleh di atas. Nilai istimewanya adalah bahwa sifat-sifat itu menggambarkan pribadi seorang mukmin di tingkatannya yang paling tinggi. Sifat-sifat itu mendekatkan seseorang kepada tingkat akhlak Rasulullah saw., yaitu sebaik-baik makhluk. Beliau telah dididik oleh Allah dengan didikan yang paling baik. Hal itu dibuktikan-Nya dalam kitab-Nya ketika ditetapkan sebagai orang yang agung,
”Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(al-Qalam: 4)
Kata (أفلح) terambil dari kata (الفلاح) yang berarti membelah, dari sini petani dinamai (الفلّاح) karena dia mencangkul untuk membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menumbuhkan buah yang diharapkannya. Dari sini agaknya sehingga memperoleh apa yang diharapkan dinamai falaah dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang juga menjadi salah satu makna falaah.
Ayat 2 ((yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,)
Kata (صلاتهم) menisbahkan shalat itu kepada pelakunya, bukan kepada Allah, walaupun pada hakikatnya shalat tersebut ditujukan kepada-Nya. Karena ayat ini bermaksud menggarisbawahi aktifitas pelaku, apalagi mereka itulah yang akan memperoleh manfaat shalatnya, bukan Allah swt.
Kata (خاشعون) terambil dari kata (خشع) yang dari segi bahasa berarti diam dan tenang. Ia adalah kesan khusus dalam hati siapa yang khusyu’ terhadap siapa yang dia khusyu’ kepadanya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepada siapa yang dia khusyu’ kepadanya sambil mengabaikan selainnya. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada pelaku yang mantap melakukan kekhusyu’an itu. Rasulullah saw. menjadikan gerakan anggota badan, di luar gerak shalat, sebagai pertanda lahiriah dari ketiadaan khusyu’. Suatu ketika beliau berkomentar ketika melihat seorang yang shalat sambil memegang-megang  jenggotnya bahwa: “Seandainya hatinya khusyu’, niscaya tangannya pun khusyu’ (tidak bergerak-gerak)” HR. an-Nasa’I dan Ibnu Majah melalui Abu Sa’id al-Khudhri.
Ayat 3 (dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,)
Selanjutnya, karena shalat yang benar dan baik menjauhkan pelakunya  dari hal-hal yang buruk bahkan yang mestinya ditiadakan, maka sifat selanjutnya yang disebut adalah tidak memberi perhatian kepada hal-hal yang tidak bermanfaat.
Thahir bin ‘Asyuur berpendapat bahwa persoalan al-Laghw yang disebut setelah kekhusyu’an dalam shalat, karena kekhusyu’an bertolak belakang dengan al-laghw, dan demikian mengabaikannya merupakan kekhusyu’an dalam shalat. Karena siapa yang terbiasa dengan ucapan yang baik dia akan menjauhi ucapan yang buruk. Siapa yang terbiasa khusyu’ kepada Allah tentulah dia akan meninggalkan kebohongan. Demikian Ibnu ‘Asyuur.
Kata (اللغو) terambil dari kata (لغى) yang berarti batal, yakni sesuatu yang seharusnya tidak ada / ditiadakan. Ini dapat berbeda antara satu waktu, hal dan situasi dengan lainnya, sehingga bisa saja satu ketika ia dinilai tidak berfaedah sehingga menjadi laghw, dan di kali lain ia berfaedah. Menegur kekeliruan adalah baik, tetapi menegur kekeliruan saat khatib Jum’at menyampaikan seluruh khutbahnya dinilai oleh Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang laghw. Beliau bersabda: “Apabila anda berkata kepada teman anda pada hari Jum’at saat imam berkhutbah: Diamlah (dengarkan khutbah)!, maka anda telah melakukan laghw (sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan)” (HR. Keenam Imam Hadits Standar).
Kata (معرضون) terambil dari kata  (العرض) yang berarti samping. Seorang yang tidak memberi perhatian kepada sesuatu, maka dia tidak akan melihat dan menghadapkan wajah kepadanya, atau dengan kata lain dia mengenyampingkannya. Dari sini kata mu’ridhuun dipahami dalam arti tidak memberi perhatian kepadanya. Dengan demikian ayat di atas bukannya melarang orang-orang mukmin, tetapi menyatakan bahwa perhatian mereka tidak tertuju kepadanya. Memang tidak mudah meninggalkan sepenuhnya al-laghw, apalagi ia begitu banyak, tetapi yang dituntut adalah ketika seseorang menghadapinya, maka ia hendaknya memikirkan apakah hal tersebut membawa keuntungan ukhrawi, atau keuntungan duniawi yang melahirkan manfaat ukhrawi, untuk kemudian mengambil sikap, apakah memberinya perhatian atau tidak.
Ayat 4 (dan orang-orang yang menyangkut zakat adalah pelaksana-pelaksana,)
Ayat ini menyatakan: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu yang akan memperoleh kebahagiaan, termasuk juga yang akan memperolehnya adalah mereka yang menunaikan zakat yakni sedekah atau penyucian jiwa adalah pelaksana-pelaksana yakni yang melakukannya dengan sempurna lagi tulus.
Hal ini mereka tunaikan setelah mereka menghadap Allah dan berpalingnya mereka daari hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupan. Zakat itu merupakan kesucian bagi hati dan haarta benda. Ia menyucikan hati dari sifat bakhil, sifat cinta yang dominan terhadap harta benda, mengalahkan bisikan-bisikan setan tentang kefakiran, dan beralih kepada keyakinan akan apa yang ada di sisi Allah dari balasan dan ganti (yang lebih baik).
Zakat itu juga merupakan langkah-langkah pemeliharaan jamaah dari ketimpangan-ketimpangan diciptakan kemiskinan di satu sisi dan pemborosan di sisi lain.  Oleh karena itu, ia menjadi asuransi sosial bagi seluruh individu dalam jamaah. Ia juga merupakan jaminan sosial bagi para dhuafa dan orang-orang lemah.
Ayat 5-7 (5. dan orang-orang yang menyangkut kemaluan mereka adalah pemelihara-pemelihara, 6. kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah pelampau-pelampau batas.)
Ayat sebelumnya menyebut tentang penunaian zakat atau pengeluaran harta benda yang fungsinya antara lain adalah penyucian harta dari kekotoran. Kini ayat-ayat di atas menyebutkan penyucian diri manusia dan yang pertama serta terutama disucikan adalah alat kelamin, karena perzinahan adalah puncak kebejatan moral serta perusakan generasi dan masyarakat. Ayat di atas melanjutkan penjelasannya tentang orang mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan, yaitu bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat-ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan, adalah mereka yang selalu menyangkut kemaluan mereka adalah pemelihara-pemelihara, yakni tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui hal-hal dan cara-cara yang tidak dibenarkan atau direstui agama, kecuali terbatas dalam melakukannya terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka yakni para pria miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal menyalurkan kebutuhan biologis melalui pasangan dan budak mereka itu tidaklah dicela selam ketentuan yang ditetapkan agama tidak mereka langgar. Misalnya, tidak bercampur saat istri haid, atau melakukan hubungan pada tempat yang dilarang agama. Barang siapa mencari pelampiasan hawa nafsu di balik itu yakni selain yang disebut itu, maka mereka itulah pelampau-pelampau batas ajaran agama dan moral, sehingga wajar dicela atau disiksa.
Kalam-Nya: (إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم ) kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki, dijadikan sementara oleh para ulama sebagai salah satu alas an menetapkan haramnya onani, karena penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan pasangan hidup dan atau bagi pria dengan budak-budak wanita, ketika yang terakhir ini masih ada. Demikian pendapat banyak ulama.
Ayat 8 (dan orang-orang yang terhadap amanat-amanat mereka dan perjanjian mereka adalah pemelihara-pemelihara.)
Perkawinan adalah amanat manusia antara sesamanya, pemeliharaan kelangsungannya pun menuntut amanat dan kepercayaan dari masing-masing. Setelahnya ayat sebelumnya berbicara tentang perkawinan yang merupakan salah satu bagian amanat, maka kini digaris bawahi amanat secara umum. Ayat di atas menegaskan bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah mereka yang terhadap amanat-amanat yang dipikulkan atas mereka dan juga perjanjian yang mereka jalin dengan pihak lain adalah pemelihara-pemelihara.
Kata (أماناتهم) adalah bentuk jama’ dari (أمانة) , ia adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya ia dikembalikan oleh si penerima dengan baik serta lapang dada. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan, dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan dan kepercayaan.
Amanah yang berada dalam pundak manusia mencakup empat aspek. Pertama, antara manusia dengan Allah, seperti aneka ibadah, misalnya nazar. Kedua, antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lain-lain. Ketiga, antara seseorang dengan lingkungan, antara lain menyangkut pemeliharaannya agar dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Dan keempat, amanah dengan dirinya sendiri, antara lain menyangkut kesehatannya, karena seperti sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya badanmu mempunya hak atas dirimu” (HR. al-Bukhari melalui Abu Juhaifah).
Kata (عهد) antara lain berarti wasiat atau janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Misalnya berjanji untuk bertemu di tempat dan waktu tertentu. Janji semacam ini adalah salah satu yang paling sering dilanggar oleh umat manusia termasuk kaum muslimin, padahal ia termasuk ciri orang beriman.
Kata (راعون) terambil dari kata (راعى) yaitu memperhatikan sesuatu sehingga tidak rusak, sia-sia atau terbengkalai, dengan jalan memelihara membimbing dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan. Dari akar kata yang sama, lahir kata ra’iy, yakni penggembala, karena yang bersangkutan memberi perhatian kepada gembalaannya, memelihara dan membimbingnya sehingga tidak mengalami bencana. Kata itu yang dikaitkan oleh ayat ini dengan amanah dan janji berarti bahwa pelakunya memberi perhatian terhadap kedua hal tersebut.
Ayat 9 (dan orang-orang yang menyangkut shalat-shalat mereka selalu memelihara(nya).)
Salah satu yang terpenting menyangkut amanah dan janji adalah shalat. Karena itu di sini ibadah tersebut ditekankan lagi, antara lain dalam konteks memelihara pelaksanaannya pada waktu yang ditetapkan. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dan di samping mereka  yang telah disebut pada ayat-ayat sebelumnya, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah mereka juga menyangkut shalat-shalat mereka selalu memelihara-nya yakni antara lain memeihara waktunya sehingga terlaksana pada waktu yang ditetapkan serta memelihara pula rukun, wajib, dan sunnah-sunnahnya.
Kata (صلواتهم) yang digunakan ayat di atas berbentuk jamak, tetapi ada juga bacaan dalam bentuk tunggal yakni (صلاتهم). Penggunaan bentuk jamak mengisyaratkan bahwa mereka benar-benar memperhatikan dan memelihara semua shalat, bukan hanya shalat-shalat tertentu, bahkan tidak mustahil mereka itu memperhatikan juga shalat-shalat sunnah, paling tidak yang bersifat muakkadah, yakni shalat sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. bahwa pada ayat pertama kata shalat berbentuk tunggal, karena yang dibicarakan di sana adalah tentang kekhusyu’annya, dan ini mereka wujudkan dalam setiap shalat.
Ayat ini merupakan penutup sifat-sifat terpuji bagi seorang mukmin yang penyandangnya masing-masing dapat meraih kebahagiaan. Memang pada ayat kedua telah disebutkan juga shalat, tetapi dalam konteks yang berbeda. Di sana tentang kekhusyu’an dan di sini tentang pemeliharaannya secara keseluruhan dan untuk tiap-tiap shalat. Walaupun pelakunya di sini tidak mencapai kekhusyu’an sempurna sebagaimana mereka yang dibicarakan ayat kedua.

TAFSIR SURAH AL-ISRA’ AYAT 32

ولا تقربوا الزنى  إنه كان فاحشة وساء سبيلا (32)

32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Terdapat korelasi antara perbuatan membunuh anak di ayat sebelumnya dengan perbuatan zina. Pelarangan berbuat zina ini pun berada di antara larangan membunuh anak dan larangan membunuh jiwa tanpa hak. Dan itu pun karena adanya korelasi dan hubungan yang sama.
Sayyid Quthub menulis bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam beberapa segi. Pertama, menumpahkan materi asal kehidupan (sperma) tidak pada tempatnya yang sah. Ini biasanya disusul dengan keinginan untuk menggugurkan, yaitu membunuh janin yang dikandungnya. Kalau ia dilahirkan hidup, maka ia dibiarkan begitu saja tanpa ada yang memelihara dan mendidiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk pembunuhan. Perzinahan juga merupakan pembunuhan terhadap masyarakat yang merajalela di tengah-tengahnya keburukan ini, karena di sini menjadi tidak jelas atau bercampur baur keturunan seseorang serta menjadi hilang kepercayaan menyangkut kehormatan dan anak, sehingga hubungan antar masyarakat melemah yang akhirnya mengantar kepada kematian umat. Di sisi lain juga membunuh masyarakat dari segi kemudahan melampiaskan nafsu sehingga kehidupan rumah tangga menjadi sangat rapuh bahkan tidak dibutuhkan lagi. Padahal keluarga merupakan wadah terbaik untuk mendidik dan mempersiapkan generasi muda memikul tnggung jawabnya.
Ayat ini menegaskan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati zina dengan melakukan hal-hal – walau dalam bentuk menghayalkannya sehingga dapat mengantar kamu terjerumus dalam keburukan itu; sesungguhnya ia, yaitu zina itu adalah suatu perbuatan amat keji yang melampaui batas dalam ukuran apa pun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis.
Dalam pengamatan sejumlah ulama al-Qur an, ayat-ayat yang menggunakan kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa / nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya.
Kalam-Nya: (ساء سبيلا)  dipahami oleh sementara ulama dalam arti jalan buruk karena ia mengantar menuju neraka. Ibn ‘Asyuur memahami kata sabiila dalam arti perbuatan yang menjadi kebiasaan seseorang. Thabaathabaa’I memahaminya dalam arti jalan untuk mempertahankan kehidupan. Ulama ini menghungkan pemahamannya itu dengan QS. Al-Ankabut [29]: 29, yang menyifati kebiasaan buruk kaum nabi Luth as., yakni melakukan homoseksual sebagai (تقطعون السيبل) memutus jalan. Jalan yang mereka putus itu adalah jalan kelanjutan keturunan, karena kelakuan tersebut tidak menghasilkan keturunan, dan kelanjutan jenis manusia. Berbeda dengan perzinahan, yang melakukannya dapat memperoleh anak dan kelanjutan jenis pun dapat terlaksana tetapi cara dan jalan itu adalah jalan yang sangat buruk.


DAFTAR PUSTAKA
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005.
Maraghi al-, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Mesir: al-Halabiy, 1946.
Qur’an al-, dan terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsir al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, 1967. 
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an Jilid 8, tim penerjemah, Jakarta:Gema Insani Press,2004.
Shiddieqy ash-, T.M. Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, Cet.ke-2, Semarang:Pustaka Rizki, 2000.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah volume 9, Jakarta: Lentera hati, 2002.

No comments:

Post a Comment