AKHLAQ TERPUJI
TAFSIR SURAH AL-MUKMINUN (AYAT 1-9)
Oleh : Khoerul Anam
قد افلح المؤمنون (1) الذين هم في صلاتهم خاشعون (2)
والذين هم عن اللغو معرضون (3) والذين هم للزكاة فاعلون (4) والذين هم لفروجهم
حافطون (5) إلا على أزواجهم أوما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين (6) فمن ابتغى
وراء ذلك فأولئك هم العادون (7) والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون (8) والذين هم
على صلواتهم يحافطون (9)
“1. Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menyangkut zakat adalah
pelaksana-pelaksana, 5. dan orang-orang yang menyangkut kemaluan mereka adalah
pemelihara-pemelihara, 6. kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah pelampau-pelampau
batas. 8. dan orang-orang yang terhadap amanat-amanat mereka dan perjanjian
mereka adalah pemelihara-pemelihara. 9. dan orang-orang yang menyangkut
shalat-shalat mereka selalu memelihara(nya).”
(al-Mu’minun: 1-9)
Menurut Sayyid
Quthub, “Nama surah ini menunjuk dan menetapkan tujuannya, ia dimulai dengan
uraian tentang sifat-sifat orang mukmin, lalu dilanjutkan dengan bukti keimanan
dalam diri manusia dan alam raya, kemudian tentang hakikat iman dan lain
sebagainya, dengan demikian – tulis Sayyid Quthub – Surah ini adalah surah
al-Mu’minun atau surah al-Iman dalam seluruh aspek, dalil-dalil dan sifat-sifatnya, dan itulah tema utamanya.”
al-Mu’minun atau surah al-Iman dalam seluruh aspek, dalil-dalil dan sifat-sifatnya, dan itulah tema utamanya.”
An-Nasa’I
meriwayatkan bahwa Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., dia
menjawab, “Sesungguhnya akhlak beliau adalah al-Qur an.” Kemudian dia membaca
ayat 1 surah al-Mu’minuun, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman”, sampai pada ayat 9, “Dan orang-orang yang memelihara
shalatnya.” Aisyah berkata,
“Demikianlah perilaku Rasulullah saw.”
Ayat 1 (Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman,)
Ayat-ayat di
atas menyatakan bahwa: Sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah
mendapat apa yang didambakannya orang-orang mukmin, yang mantap imannya
dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal saleh di atas. Nilai
istimewanya adalah bahwa sifat-sifat itu menggambarkan pribadi seorang mukmin
di tingkatannya yang paling tinggi. Sifat-sifat itu mendekatkan seseorang
kepada tingkat akhlak Rasulullah saw., yaitu sebaik-baik makhluk. Beliau telah
dididik oleh Allah dengan didikan yang paling baik. Hal itu dibuktikan-Nya
dalam kitab-Nya ketika ditetapkan sebagai orang yang agung,
”Sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.”(al-Qalam: 4)
Kata (أفلح)
terambil dari kata (الفلاح) yang berarti membelah,
dari sini petani dinamai (الفلّاح) karena dia mencangkul untuk membelah
tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menumbuhkan buah yang
diharapkannya. Dari sini agaknya sehingga memperoleh apa yang diharapkan
dinamai falaah dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang
juga menjadi salah satu makna falaah.
Ayat 2 ((yaitu) orang-orang yang khusyu'
dalam sembahyangnya,)
Kata (صلاتهم) menisbahkan shalat itu kepada pelakunya, bukan kepada Allah,
walaupun pada hakikatnya shalat tersebut ditujukan kepada-Nya. Karena ayat ini
bermaksud menggarisbawahi aktifitas pelaku, apalagi mereka itulah yang akan
memperoleh manfaat shalatnya, bukan Allah swt.
Kata (خاشعون) terambil dari kata (خشع) yang dari segi bahasa berarti diam dan tenang. Ia
adalah kesan khusus dalam hati siapa yang khusyu’ terhadap siapa yang dia
khusyu’ kepadanya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepada
siapa yang dia khusyu’ kepadanya sambil mengabaikan selainnya. Patron kata yang
digunakan ayat ini menunjuk kepada pelaku yang mantap melakukan kekhusyu’an
itu. Rasulullah saw. menjadikan gerakan anggota badan, di luar gerak shalat,
sebagai pertanda lahiriah dari ketiadaan khusyu’. Suatu ketika beliau
berkomentar ketika melihat seorang yang shalat sambil memegang-megang jenggotnya bahwa: “Seandainya hatinya
khusyu’, niscaya tangannya pun khusyu’ (tidak bergerak-gerak)” HR.
an-Nasa’I dan Ibnu Majah melalui Abu Sa’id al-Khudhri.
Ayat 3 (dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna,)
Selanjutnya, karena shalat
yang benar dan baik menjauhkan pelakunya
dari hal-hal yang buruk bahkan yang mestinya ditiadakan, maka sifat
selanjutnya yang disebut adalah tidak memberi perhatian kepada hal-hal yang
tidak bermanfaat.
Thahir bin ‘Asyuur
berpendapat bahwa persoalan al-Laghw yang disebut setelah kekhusyu’an
dalam shalat, karena kekhusyu’an bertolak belakang dengan al-laghw, dan
demikian mengabaikannya merupakan kekhusyu’an dalam shalat. Karena siapa yang
terbiasa dengan ucapan yang baik dia akan menjauhi ucapan yang buruk. Siapa
yang terbiasa khusyu’ kepada Allah tentulah dia akan meninggalkan kebohongan.
Demikian Ibnu ‘Asyuur.
Kata (اللغو)
terambil dari kata (لغى) yang berarti batal, yakni
sesuatu yang seharusnya tidak ada / ditiadakan. Ini dapat berbeda antara
satu waktu, hal dan situasi dengan lainnya, sehingga bisa saja satu ketika ia
dinilai tidak berfaedah sehingga menjadi laghw, dan di kali lain
ia berfaedah. Menegur kekeliruan adalah baik, tetapi menegur kekeliruan saat
khatib Jum’at menyampaikan seluruh khutbahnya dinilai oleh Rasulullah saw.
sebagai sesuatu yang laghw. Beliau bersabda: “Apabila anda berkata
kepada teman anda pada hari Jum’at saat imam berkhutbah: Diamlah (dengarkan
khutbah)!, maka anda telah melakukan laghw (sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan)” (HR. Keenam Imam Hadits Standar).
Kata (معرضون) terambil dari kata (العرض) yang
berarti samping. Seorang yang tidak memberi perhatian kepada sesuatu,
maka dia tidak akan melihat dan menghadapkan wajah kepadanya, atau dengan kata
lain dia mengenyampingkannya. Dari sini kata mu’ridhuun dipahami dalam
arti tidak memberi perhatian kepadanya. Dengan demikian ayat di atas bukannya
melarang orang-orang mukmin, tetapi menyatakan bahwa perhatian mereka tidak
tertuju kepadanya. Memang tidak mudah meninggalkan sepenuhnya al-laghw,
apalagi ia begitu banyak, tetapi yang dituntut adalah ketika seseorang
menghadapinya, maka ia hendaknya memikirkan apakah hal tersebut membawa
keuntungan ukhrawi, atau keuntungan duniawi yang melahirkan manfaat ukhrawi,
untuk kemudian mengambil sikap, apakah memberinya perhatian atau tidak.
Ayat 4 (dan orang-orang yang menyangkut
zakat adalah pelaksana-pelaksana,)
Ayat ini menyatakan: Dan di
samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu yang akan memperoleh
kebahagiaan, termasuk juga yang akan memperolehnya adalah mereka yang
menunaikan zakat yakni sedekah atau penyucian jiwa adalah
pelaksana-pelaksana yakni yang melakukannya dengan sempurna lagi tulus.
Hal ini mereka tunaikan
setelah mereka menghadap Allah dan berpalingnya mereka daari hal-hal yang tidak
bermanfaat dalam kehidupan. Zakat itu merupakan kesucian bagi hati dan haarta
benda. Ia menyucikan hati dari sifat bakhil, sifat cinta yang dominan terhadap
harta benda, mengalahkan bisikan-bisikan setan tentang kefakiran, dan beralih
kepada keyakinan akan apa yang ada di sisi Allah dari balasan dan ganti (yang
lebih baik).
Zakat itu juga merupakan
langkah-langkah pemeliharaan jamaah dari ketimpangan-ketimpangan diciptakan
kemiskinan di satu sisi dan pemborosan di sisi lain. Oleh karena itu, ia menjadi asuransi sosial
bagi seluruh individu dalam jamaah. Ia juga merupakan jaminan sosial bagi para
dhuafa dan orang-orang lemah.
Ayat 5-7 (5. dan orang-orang yang menyangkut kemaluan mereka adalah
pemelihara-pemelihara, 6. kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah pelampau-pelampau
batas.)
Ayat sebelumnya menyebut
tentang penunaian zakat atau pengeluaran harta benda yang fungsinya antara lain
adalah penyucian harta dari kekotoran. Kini ayat-ayat di atas menyebutkan
penyucian diri manusia dan yang pertama serta terutama disucikan adalah alat
kelamin, karena perzinahan adalah puncak kebejatan moral serta perusakan
generasi dan masyarakat. Ayat di atas melanjutkan penjelasannya tentang orang
mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan, yaitu bahwa: Dan di samping
mereka yang telah disebut pada ayat-ayat yang lalu, termasuk juga yang akan
memperoleh kebahagiaan, adalah mereka yang selalu menyangkut kemaluan
mereka adalah pemelihara-pemelihara, yakni tidak menyalurkan kebutuhan
biologisnya melalui hal-hal dan cara-cara yang tidak dibenarkan atau direstui
agama, kecuali terbatas dalam melakukannya terhadap pasangan-pasangan
mereka atau budak wanita yang mereka yakni para pria miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal menyalurkan kebutuhan biologis melalui
pasangan dan budak mereka itu tidaklah dicela selam ketentuan yang
ditetapkan agama tidak mereka langgar. Misalnya, tidak bercampur saat istri
haid, atau melakukan hubungan pada tempat yang dilarang agama. Barang siapa
mencari pelampiasan hawa nafsu di balik itu yakni selain yang
disebut itu, maka mereka itulah pelampau-pelampau batas ajaran agama dan
moral, sehingga wajar dicela atau disiksa.
Kalam-Nya:
(إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم
) kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita
yang mereka miliki, dijadikan
sementara oleh para ulama sebagai salah satu alas an menetapkan haramnya onani,
karena penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan pasangan hidup dan
atau bagi pria dengan budak-budak wanita, ketika yang terakhir ini masih ada.
Demikian pendapat banyak ulama.
Ayat 8 (dan orang-orang yang terhadap amanat-amanat mereka dan
perjanjian mereka adalah pemelihara-pemelihara.)
Perkawinan
adalah amanat manusia antara sesamanya, pemeliharaan kelangsungannya pun
menuntut amanat dan kepercayaan dari masing-masing. Setelahnya ayat sebelumnya
berbicara tentang perkawinan yang merupakan salah satu bagian amanat, maka kini
digaris bawahi amanat secara umum. Ayat di atas menegaskan bahwa: Dan di
samping mereka yang telah disebut pada ayat lalu, termasuk juga yang akan
memperoleh kebahagiaan adalah mereka yang terhadap amanat-amanat yang
dipikulkan atas mereka dan juga perjanjian yang mereka jalin
dengan pihak lain adalah pemelihara-pemelihara.
Kata
(أماناتهم) adalah bentuk jama’
dari (أمانة) , ia adalah sesuatu
yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan bila tiba saatnya atau
bila diminta oleh pemiliknya ia dikembalikan oleh si penerima dengan baik serta
lapang dada. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan, dan kepercayaan itu
melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan dan
kepercayaan.
Amanah
yang berada dalam pundak manusia mencakup empat aspek. Pertama, antara
manusia dengan Allah, seperti aneka ibadah, misalnya nazar. Kedua,
antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lain-lain. Ketiga,
antara seseorang dengan lingkungan, antara lain menyangkut pemeliharaannya agar
dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Dan keempat, amanah dengan
dirinya sendiri, antara lain menyangkut kesehatannya, karena seperti sabda
Rasulullah saw. “Sesungguhnya badanmu mempunya hak atas dirimu” (HR. al-Bukhari
melalui Abu Juhaifah).
Kata
(عهد) antara lain berarti wasiat
atau janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara dua orang atau lebih
untuk sesuatu yang disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Misalnya berjanji
untuk bertemu di tempat dan waktu tertentu. Janji semacam ini adalah salah satu
yang paling sering dilanggar oleh umat manusia termasuk kaum muslimin, padahal
ia termasuk ciri orang beriman.
Kata
(راعون) terambil dari kata (راعى) yaitu memperhatikan
sesuatu sehingga tidak rusak, sia-sia atau terbengkalai, dengan jalan
memelihara membimbing dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan. Dari akar
kata yang sama, lahir kata ra’iy, yakni penggembala, karena yang
bersangkutan memberi perhatian kepada gembalaannya, memelihara dan
membimbingnya sehingga tidak mengalami bencana. Kata itu yang dikaitkan oleh
ayat ini dengan amanah dan janji berarti bahwa pelakunya memberi
perhatian terhadap kedua hal tersebut.
Ayat 9 (dan orang-orang yang menyangkut shalat-shalat mereka
selalu memelihara(nya).)
Salah
satu yang terpenting menyangkut amanah dan janji adalah shalat. Karena itu di
sini ibadah tersebut ditekankan lagi, antara lain dalam konteks memelihara
pelaksanaannya pada waktu yang ditetapkan. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dan
di samping mereka yang telah disebut
pada ayat-ayat sebelumnya, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan
adalah mereka juga menyangkut shalat-shalat mereka selalu memelihara-nya
yakni antara lain memeihara waktunya sehingga terlaksana pada waktu yang
ditetapkan serta memelihara pula rukun, wajib, dan sunnah-sunnahnya.
Kata
(صلواتهم) yang digunakan ayat
di atas berbentuk jamak, tetapi ada juga bacaan dalam bentuk tunggal yakni (صلاتهم). Penggunaan bentuk
jamak mengisyaratkan bahwa mereka benar-benar memperhatikan dan memelihara
semua shalat, bukan hanya shalat-shalat tertentu, bahkan tidak mustahil mereka
itu memperhatikan juga shalat-shalat sunnah, paling tidak yang bersifat
muakkadah, yakni shalat sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah
saw. bahwa pada ayat pertama kata shalat berbentuk tunggal, karena yang dibicarakan
di sana adalah tentang kekhusyu’annya, dan ini mereka wujudkan dalam setiap
shalat.
Ayat
ini merupakan penutup sifat-sifat terpuji bagi seorang mukmin yang
penyandangnya masing-masing dapat meraih kebahagiaan. Memang pada ayat kedua
telah disebutkan juga shalat, tetapi dalam konteks yang berbeda. Di sana
tentang kekhusyu’an dan di sini tentang pemeliharaannya secara keseluruhan dan
untuk tiap-tiap shalat. Walaupun pelakunya di sini tidak mencapai kekhusyu’an
sempurna sebagaimana mereka yang dibicarakan ayat kedua.
TAFSIR SURAH AL-ISRA’ AYAT 32
ولا تقربوا
الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا (32)
32. dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Terdapat
korelasi antara perbuatan membunuh anak di ayat sebelumnya dengan perbuatan
zina. Pelarangan berbuat zina ini pun berada di antara larangan membunuh anak
dan larangan membunuh jiwa tanpa hak. Dan itu pun karena adanya korelasi dan
hubungan yang sama.
Sayyid
Quthub menulis bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam beberapa segi. Pertama,
menumpahkan materi asal kehidupan (sperma) tidak pada tempatnya yang sah. Ini
biasanya disusul dengan keinginan untuk menggugurkan, yaitu membunuh janin yang
dikandungnya. Kalau ia dilahirkan hidup, maka ia dibiarkan begitu saja tanpa
ada yang memelihara dan mendidiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk
pembunuhan. Perzinahan juga merupakan pembunuhan terhadap masyarakat yang
merajalela di tengah-tengahnya keburukan ini, karena di sini menjadi tidak
jelas atau bercampur baur keturunan seseorang serta menjadi hilang kepercayaan
menyangkut kehormatan dan anak, sehingga hubungan antar masyarakat melemah yang
akhirnya mengantar kepada kematian umat. Di sisi lain juga membunuh masyarakat
dari segi kemudahan melampiaskan nafsu sehingga kehidupan rumah tangga menjadi
sangat rapuh bahkan tidak dibutuhkan lagi. Padahal keluarga merupakan wadah
terbaik untuk mendidik dan mempersiapkan generasi muda memikul tnggung jawabnya.
Ayat
ini menegaskan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati zina dengan
melakukan hal-hal – walau dalam bentuk menghayalkannya sehingga dapat mengantar
kamu terjerumus dalam keburukan itu; sesungguhnya ia, yaitu zina itu
adalah suatu perbuatan amat keji yang melampaui batas dalam ukuran
apa pun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis.
Dalam
pengamatan sejumlah ulama al-Qur an, ayat-ayat yang menggunakan kata “jangan
mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan larangan mendekati
sesuatu yang dapat merangsang jiwa / nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian,
larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam
rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya.
Kalam-Nya:
(ساء سبيلا) dipahami oleh sementara ulama dalam arti
jalan buruk karena ia mengantar menuju neraka. Ibn ‘Asyuur memahami kata sabiila
dalam arti perbuatan yang menjadi kebiasaan seseorang. Thabaathabaa’I
memahaminya dalam arti jalan untuk mempertahankan kehidupan. Ulama ini
menghungkan pemahamannya itu dengan QS. Al-Ankabut [29]: 29, yang menyifati
kebiasaan buruk kaum nabi Luth as., yakni melakukan homoseksual sebagai (تقطعون السيبل) memutus jalan.
Jalan yang mereka putus itu adalah jalan kelanjutan keturunan, karena kelakuan
tersebut tidak menghasilkan keturunan, dan kelanjutan jenis manusia. Berbeda
dengan perzinahan, yang melakukannya dapat memperoleh anak dan kelanjutan jenis
pun dapat terlaksana tetapi cara dan jalan itu adalah jalan yang sangat buruk.
DAFTAR
PUSTAKA
Katsir,
Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I,
2005.
Maraghi
al-, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Mesir: al-Halabiy, 1946.
Qur’an al-, dan terjemahannya, Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsir al-Qur’an, Departemen Agama
Republik Indonesia, 1967.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an Jilid 8, tim penerjemah, Jakarta:Gema Insani Press,2004.
Shiddieqy
ash-, T.M. Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, Cet.ke-2, Semarang:Pustaka
Rizki, 2000.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah volume 9, Jakarta: Lentera
hati, 2002.
No comments:
Post a Comment