Labels

Tuesday, August 6, 2013

Kajian Kitab Tafsir di Indonesia (Tafsir al-Mishbah M.Quraish Shihab)

Tafsir al-Mishbah Karya M.Quraish Shihab
Oleh: Ahmad Ashabul Kahfi
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2011




BAB I
PENDAHULUAN
            Dinamika perkembangan ilmu tafsir dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti jejaknya. Meski lahirnya bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama kontemporer merumuskan dan mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan merevolusi tak pernah habis dimakan zaman. Sehingga karya-karya tafsir ulama era at-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari dan lainnya tersebut mengingspirasi para mufasir baru sebagai penerus untuk mengembangkan model dalam bentuk karya penafsiran, karena menjadi sebuah tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala permasalahan di waktu dan tempat mana pun (Shohih likulli zaman wal makan).
            Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tak luput dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula maka perlu ditarik sebuah garis panjang yang menghubungkan antara satu karya tafsir dari awal hingga karya tafsir kontemporer.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi.
Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, kabupaten Sidrap (sidenereng, Rappang), Sulawesi Selatan. Anak ke empat dari Prof. KH. Abdurrahman Sihab seorang ulama dan guru besar ilmu tafsir yang pernah menjadi Rektor Universitas Mulimin Indonesia (UMI) dan IAIN Alauddin Makasar.[1]
Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal dari al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar al-Qur’an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang membimbingnya.
Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya.[2]
Quraish Shihab berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Selama sepuluh tahun lebih dia belajar di negeri pyramid itu. Ia belajar di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir-Hadis. Pada tahun 1967 ia lulus Sarjana setingkat S1 bergelar Lc dan dua tahun kemudian lulus S2 bergelar MA dengan tesis berjudul Al-I’jaz at-Tasyri li al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan al-Quranul Karim dari segi Hukum).[3]
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur.
Pada tahun 1980, ia kembali ke Mesir untuk mengambil gelar doktor di almamaternya, Universitas al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus doktor untuk bidang ilmu tafsir al-Qur’an dengan disertasinya yang berjudul Namz ad-Dural li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian Terhadap Kitab Durar (Rangkuman Mutiara) Karya al-Biqa’i), serta predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syarif al-‘Ula (Summa Cum Laude prestasi istimewa).[4]
Selanjutnya berbagai amanah di embannya sekembalinya ke Indonesia sejak 1984 diantaranya:
a.         Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1993).
b.         Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII pada masa pemerintahan Presiden Suharto (1998).
c.         Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Arab Saudi pada masa pemerintahan Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid.
d.        Ketua MUI Pusat (1984)
e.         Lajnah Pentashih Departemen Agama (1989)
f.          Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989)
Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus Konsorsum Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim Indoneisa (ICMI).  Di sela-sela kesibukannya itu, dia juga terlibah dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.

B.       Karya-karya M Qurasih Shihab
Quraish Shihab dengan keilmuan yang dimilikinya telah menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun kumpulan artikel yang dihimpun menjadi buku. Tercatat sebanyak 51 karya ia tulis dan diterbitkan.[5] Namun diantara sekian karya tersebut penulis hanya mencantumkan beberapa karya dibidang ilmu Tafsir:
a.       Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN Alauddin, 1984)
b.      Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
c.       Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
d.      Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
e.       Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
f.       Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlili (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
g.      Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (15 jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003)
h.      Al Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: Lentera Hati)
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.[6]


C.       Latar Belakang.
Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab ditujukan agar tafsir tersebut berfungsi serupa dengan makna Misbah yang berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi sebagai penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Sehingga ia berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa.
Tafsir al-Misbah adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan selama kurang lebih empat tahun oleh penulisnya. M. Quraish Shihab memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423 H/5 September 2003.[7]
Niat awal menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan tidak lebih dari tiga volume, namun kenikmatan ruhani justru lebih dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca dan menulis tafsirnya hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume. Satu hal yang membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu surat yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami menunggu karya ilmiah pak Quraish yang lebih serius.”[8]
Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz lengkap. Keindonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah swt.[9]



D.      Metode dan Sistematika Penulisan.
Dalam sekapur sirih volume 1 Quraish Shihab menuturkan bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir Al Mishbah bukan sepenuhnya ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip dan menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas al-Azhar, Kairo dua puluh tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir Pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Tanthawi, Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi dan tidak ketinggalan Sayyid Quthb, Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lain.[10]
Quraish Shihab tidak hanya mengutip atau mengumpulkan buah pikir ulama-ulama yang disebutkan diatas, melainkan ia lebih mengarahkan kutipan tersebut sebagai apresiasi atas kekagumannya terhadap pemikiran ulama terdahulu yang dituangkan dalam karya tafsirnya ini. Bentuk apresiasi itu terwujud dalam komentar yang ia berikan setelah mengutip karya para ulama. Namun, tidak hanya memberikan apresiasi, ia juga memberikan pendapat yang kontradiktif dari para ulama, jika dalam prespektifnya pendapat tersebut tidak sesuai atau salah.
Sistematika penulisan tafsir al-Mishbah ini dimulai dari penulisan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Setelah itu menguraikan makna-makna penting dalam tiap kosa kata, makna kalimat, maksud ungkapan. Dalam hal ini sangat kelihatan kalau dia sangat menguasai bahasa arab. Keahlian bahasa tersebut bisa dilihat dalam surat Al Fatihah yang penulis kutip dibawah ini:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Ayat pertama Surah Al Fatihah adalah lafadz Basmalah seperti yang tertulis di atas,ini menurut pendapat Imam Syafi'i yang sudah masyhur di kalangan para Ulama'. Walaupun ada sebagian ulama' seperti Imam Malik yang berpendapat bahwa Basmalah bukan termasuk ayat pertama Surah Al Fatihah, sehingga tidak wajib dibaca ketika shalat saat membaca Surah Al Fatihah.
Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia, pesan agar manusia memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allah. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan huruf "ب" pada lafadz "بسم". Kata Isim terambil dari kata as-Summun yang berarti tinggi, atau as-Simah yang berarti tanda. Memang nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Kini timbul pertanyaan: “kalau kata isim demikian itu maknanya dan kata bismi seperti yang diuraikan diatas maksudnya, maka apa gunanya kat isim disebut disini. Tidak cukupkah bila langsung saja dikata Dengan Allah? Sementara Ulama secara filosofis menjawab bahwa nama menggambarkan substansi sesuatu, sehingga kalau disini dikatakan Dengan Nama Allah maksudnya adalah Dengan Allah. Kata isim menurut mereka digunakan disini sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah dari kata tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam syair-syair lama penyisipan kata Isim untuk tujuan tersebut.
Az-Zamakhsyari dan banyak ulama tafsir mengemukakan bahwa orang-orang Arab, sebelum kehadiran Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan mereka dengan menyebut nama Tuhan mereka, misalnya Bismi al-lata atau bismi al-‘uzza’, sementara bangsa-bangsa lain memulainya dengan menyebut nama raja atau penguasa mereka. Kalau demikian, memulai pekerjaan dengan nama Allah, berarti pekerjaan itu dilakukan atas perintah dan demi karena Allah, bukan atas dorongan hawa nafsu.
Kesimpulannya adalah, setiap hal yang diharapkan darinya keberkatan Allah atau dimaksudkan demi karena Allah, maka disisipkan kata Isim, sedang bila dimaksudkan demi permohonan kemudahan dan bantuan Allah maka kata yang digunakan langsung menyebut Allah / Tuhan tanpa menyisipkan kata Isim. Dalam hadis nabi saw pun demikian itu halnya. Salah satu do’a beliau adalah Allahuma bika nushbika wa numsi (Ya Allah dengan Engkau kami memasuki waktu pagi dan petang) yakni dengan kekuasaan dan iradat-Mu, kami memasukinya. Sebelum tidur beliau berdo’a Bismika Allahuma Ahya Wa Amut/dengan nama-Mu Ya Allah aku tidur dan bangun yakni demi karena Engkau aku hidup dan mati. Do’a ini sejalan dan semakna dengan perintah-Nya: katakanlah : “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan semesta Alam” (QS al-An’am :162).
Oleh karena itu, ketika kita memulai suatu pekerjaan dengan “nama” Allah, maka berdasarkan analisis diatas pekerjaan tersebut diharapkan kekal disisi-Nya. Disini yang diharapkan kekal bukan Allah-karena Dia adalah Maha Kekal, tetapi pekerjaan yang dilakukan itulah yang kekal, dalam arti ganjaran yang kekal sehingga dapat diraih kelak di hari kemudian. Memang banyak pekerjaan yang dilakukan seseorang, bahkan boleh jadi pekerjaan besar, tetapi tidak berbekas sedikit pun serta tidak ada manfaatnya bukan hanya diakhirat kelak, didunia pun dia tidak bermanfaat. Allah berfirman: “Kami hadapi hasil karya merekakemudian kamijadikan ia (bagaikan) debu yang berterbangan (sia-sia belaka)” (QS al-Furqan :23).
Penulisan kata “bismi” dalam basmalah tidak menggunakan huruf “alif”, berbeda dengan kata yang sama pada suroh Iqra’, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan huruf alif. Persoalan ini menjadi bahasan para pakar dan Ulama. Pakar tafsir al-qurthubi berpendapat bahwa penulisan tanpa huruf Alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat ini sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa Alif.
Rasyad Khalifah berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf “alif” pada Basmalah, agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Ini karena 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur’an.Lafadz Ar-Rahman ar-Rahim adalah dua sifat yang berakar dari kata yang sama. Agaknya kedua sifat ini dipilih karena sifat inilah yang paling dominan. Para ulama' memahami kata Ar-Rahman sebagai sifat Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالمِيْنَ
"Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."
Kata Hamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik walaupun ia tidak memberi sesuatu kepada yang memuji. Inilah bedanya antara hamd dengan syukur. Ada tiga unsure dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia wajar mendapat pujian, yaitu: indah(baik), dilakukan secara sadar, dan tidak terpaksa atau dipaksa. Kata al-hamdu, dalam surah al-Fatihah ini ditunjukkan kepada Allah. Ini berarti bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya telah memenuhi ketiga unsure tersebut di atas.
Kalimat Robbil 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala puji hanya bagi Allah. Betapa tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Al-hamdu lillahi robbil'alamin dalam surah al-Fatihah ini mempunyai dua sisi makna. Pertama berupa pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur kepada Allah dalam bentuk perbuatan.[11]

Jika melihat sistematika penulisan dari Tafsir al-Mishbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode yang dipakainya dalam menafsirkan adalah metode tahlily. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata.[12]
Menurut Quraish Shihab, ada beberapa prinsip yang dipeganginya dalam karya Tafsir Al-Mishbah, baik tahlily maupun maudhu’i, bahwa al-Qur’an merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka tidak luput pembahasan ilmu al-munasabat dalam karyanya ini.[13]

E.       Corak Penafsiran.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada Tafsir Al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Corak tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lainnya.
Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish Shihab menafsirkan kata هوناَ dalam surat al-Furqan ayat 63 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Arifin Jahari, Lc. Quraish Shihab menjelaskan:
“Kata (هوناَ) human berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan ( يَمشُونَ عَلىَ الأَرضِ هَوناً ) yamsyuuna ‘ala al-ardhi human/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi saw mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).
Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هوناَ) human, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad saw, dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.[14]
  
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Tafsir Al Mishbah secara lengkap memiliki judul Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz dalam 15 volume. Ditulis oleh seorang ulama’ Nusantara ahli Tafsir bernama Muhammad Quraish Shihab, berasal dari Rappang, Sulawesi Selatan 16 Februari 1944.
Pengarang Tafsir bercorak al-Adabi al-Ijtima’i ini menghabiskan waktunya selama 4 tahun dalam menyusun karya monumental ini. Kecondongannya terhadap metode penafsirnya mauhu’i memiliki kekurangan dan kelebihan yang bisa dilihat dalam karyanya diantaranya yaitu Quraish Shihab menjelaskan mufradat dari setiap ayat yang dikaji sehingga menghasilkan pemahaman yang mendalam terhadap ayat. Ia juga termasuk orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia menyebutkan pendapat orang yang berpendapat dalam karyanya.
Namun, menurut sebagian umat Islam di Indonesia menganggap bahwa beberapa penafsiran Quraish Shihab keluar batas kesepakatan pemahaman, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab dan isu-isu keagamaan lainnya.
Tafsir Quraish Shihab oleh sebagian pengamat dinilai tidak spesifik. Argumen ini dikuatkan dengan keraguan pengamat terhadap latar belakang penulisan tafsirnya yang berangkat dari kesadaran pribadi penulis atau memang karena pilihan yang didasari motivasi dari luar untuk mewujudkan karya tafsir ini.
Selain itu, kritik yang diberikan kepada karyanya ini juga menitik beratkan pemahaman tauhid Qurais Shihab yang bercorak syi’ah. Ketika menafsir ayat-ayat berkenaan tentang akidah syi’ah, Qurais Shihab banyak mengutip pendapat ulama-ulama Syi’ah seperti Thaba’ Thaba’i dan Zamakhsyari, yang olehnya pendapat tersebut disepakati oleh Qurais Shihab. poin terakhir kekurangan yang juga tak luput dari pengamat para kritikus, bahwa dalam mencantumkan hadis, Qurais Shihab kurang memperhatikan keshahihannya.











DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003. Vol. 1.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta; Lentera Hati. 2003. Vol. 15.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Suprapto, M. Bibit. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Galeri Media Indonesia. 2010.
Handoyo, Yusuf Muslim. Skripsi: Konsep Adil menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. Surakarta. 2011.
id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab




[1] M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Galeri Media Indonesia, 2010), h. 668
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 14
[3] M. Bibit Suprapto, Op.Cit, h. 669
[4] Ibid. h. 669
[5] id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses 23/Mei/2013, 11:05
[6] Ibid
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta; Lentera Hati, 2003) Vol. 15, h. penutup.
[8] Ibid.
[9] Yusuf Muslim Handoyo, Skripsi: Konsep Adil menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, (Surakarta, 2011), h. 19
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2003) Vol. 1, h. V
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 624.
[12]  id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, Op.Cit.,
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol 1, h. xxiii
[14] Op.Cit.,

No comments:

Post a Comment