Labels

Monday, August 5, 2013

Kajian Tafsir di Indonesia [Tafsir MTA (Majlis Tafsir al-Qur'an)]

TAFSIR MTA
(Oleh: Abdul Azis)
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2010 
A.  Pendahuluan
Penyebaran Islam dari awal kemunculannya hingga saat ini, diyakini tidak lepas dari sumber primer ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga sejarah Islam juga merupakan sejarah al-Qur’an. Sejarah al-Qur’an dalam konteks yang paling sederhana di Indonesiea dapat ditelusuri sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Di Indonesia penulisan kitab tafsir telah dimulai sejak abad XVI dan masih berlanjut hingga sekarang, setiap penafsiran dalam abad yang berbeda akan menghasilkan corak penafsiran yang berbeda pula. Pada kesempatan ini, pemakalah akan mencoba memabahas tentang tafsir MTA yang mencakup tentang sejarah berdirinya MTA, latar belakang penulisan, dan sistematika, metode dan corak penafsiran.


B.  Pembahasan
1.    Sejarah Berdirinya MTA
Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.[1] MTA berpusat di kota Surakarta, tepatnya di jalan Serayu No. 12 Semanggi, RT. 06, RW. 15, Pasar Kliwon, Surakarta.
Almarhum Ust. Abdullah Thufail Saputra lahir sekitar tahun 1927 dan wafat ketika tahun 1992. Beliau adalah murid ulama dari Yaman. Dimasanya, beliau adalah mubaligh terkenal di Solo dan sekitarnya. Pada saat menghadapai terror dari sisa-sisa G30S/PKI pada 1966, beliau terpilih menjadi ketua KKPI (Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam) yang dibentuk oleh tujuh ormas pemuda Islam Surakarta waktu itu.[2]
Latar belakang pendirian Majlis Tafsir Al-Qur’an adalah didasarkan padakondisi umat Islam pada Akhir dekade tahun 1960-an dan awal dekade tahun1970-an. Sampai dengan saat itu, umat Islam yang telah berjuang sejak zamanBelanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupunkultural, justru semakin terpinggirkan. Ust. Abdullah Thufail Saputra,seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapatkesempatan untuk berkeliling hampir keseluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya (sekarang Papua).Melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang seperti itu, tidak lain disebabkanumat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena, sesuaidengan ucapan seorang ulama bahwa umat Islam tidak akan menjadi baikkecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaituAl-Qur’an. Ust. Abdullah Thufail Saputrayakin bahwa umat Islam Indonesiahanya akan dapat melakukan emansipasi di segala bidang apabila umat IslamIndonesia mau kembali ke Al-Qur’an. Demikian, maka Ust. Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islamkembali ke Al-Qur’an.
Berasal dari latar belakang pendirian sebagaimana di atas, maka tujuandidirikannya MTA adalah untuk mengajak umat Islam kembali ke al-Qur’an.Sesuai dengan nama dan tujuannya itu, maka pengkajian al-Qur’an dengantekanan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an menjadikegiatan utama MTA.[3]
Dalam rangka menghindari negative perception dari pihak lain, ,aka MTA tidak dikehendaki menjadi lembaga yang illegal, tidak dikehendaki menjadi ormas/parpol tersendiri ditengah-tengah ormah-ormas dan parpol-parpol tertentu. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badan hukum yang dipilih adalah yayasan. Oleh karena itu pada tanggal 24 januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodioejo. Dengan demikian dapat dipahami lebih jauh bahwa MTA bukan partai politik dan tidak akan menjadi partai politik, bukan suatu golongan dan tidak akan menjadi suatu golongan tersendiri dari umat Islam. Seluruh umat Islam digolongan dan partai manapun adalah saudara. MTA berhadap saudara-saudara yang aktif di golongan dan partai manapun hendaklah selalu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai way of life, selalu menyuarakan Islam kepada manusia, menjalin Ukhuwah Islamiyah, tanpa merasa lebih antara satu dengan yang lain. Kepada saudara-saudara kami yang non muslim, kita bisa berdampingan, saling hormat-menghormati tidak saling mencela dengan berbuat baik serta berlaku adil selama mereka tidak memusuhi kita karena agama.
Pada tahun 2008 yang bertepatan dengan usianya yang ke 35, MTA yang berpusat di Surakarta telah memiliki 29 perwakilan (tingkat kabupaten atau kota) dan 129 cabang (tingkat kecamatan) yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia. Sampai saat ini, dengan perkembangan MTA yang begitu pesat, pemakalah belum tahu tentang berapa jumlah perwakilan dan cabang yang dimiliki MTA diseluruh Indonesia.
2.    Latar Belakang Penulisan
Pada mulanya, Gelombang VII malam Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) Pusat Surakarta, menerbitkan catatan tafsir gelombang VII malam, yang akan disajikan secara bertahap. Sebagai tahap pertama dari penerbitan tersebut dapat disajikan catatan tafsir ayat 1 sampai dengan ayat 39 Surat al-Baqoroh, yang telah didektekan oleh al-Ustadz Abdullah Thufail Saputra sejak pertengahan tahun 1976.[4]
Catatan ini dimaksud untuk meningkatkan gairah belajar, mengkaji kembali ayat demi ayat yang sudah diberikan untuk selanjutnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Diterbitkan dalam jumlah yang sangat terbatas, karena memang hanya untuk mencukupi kebutuhan gelombang.[5]
Dengan latar belakang tersebut, dapat ketahui bahwa tafsir ini hanya untuk kalangan MTA sendiri, karena tidak diterbitkan dalam jumlah yang banyak. Meski demikian, untuk mendapatkan tafsir ini kita bisa memesan di toko-toko buku tertentu, terutama di daerah solo.
3.    Sistematika, Metode dan Corak Penafsiran
Pada cetakan kedua, yakni pada tahun 1981 tafsir ini diberi judul “Catatan Tafsir al-Qur’an: Gelombang VII Malam Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) Pusat di Surakarta”. Pada edisi ini tulisan ayat-ayatnya masih ditulismanual atau tulisan tangan. Dalam tafsir ini, hanya berisi tafsir surat al-Baqarah ayat 1-39 dimana telah disebutkan di atas bahwa tafsir ini merupakan rekaman ceramah Ust. Abdullah Thufail Saputra.
Dalam melakukan penjilidan tafsir MTA edisi ini menggunakan jilidan benang yang disusun berdasarkan satu kuras, satu kuras berisi sekitar 34 halaman. Dalam penyusunannya terdapat salah tempat, dapat dilihat setelah halaman 2 seharusnya adalah halaman 3 namun dalam edisi ini adalah halaman 25, yang seharusnya halaman 25 malah halaman 3. Entah karena faktor kecerobohan atau faktor kelalian, pemakalah belum menemukan jawabannya.
Kemudian, dari waktu kewaktu, terjadilah percetakan ulang terhadap karya tafsir ini. Dengan desain sampul baru dan model penjilidan baru. Pada cetakan yang baru ini ditambahkanal-Muyassardari masing-masing ayat yang diuraikan tafsirnya untuk lebih memudahkan bagi kita mengetahui arti perkalimat yang kita pelajari. Perbedaan selain adanya al-Muyassar, ditambahkan juga tafsir surat al-Fatihah pada jilid satu yang digabungkan dengan surat al-Baqarah ayat 1-39 yang termuat pada jilid I.
Adapun penafsiran MTA ini tidak terlepas dari ulama-ulama terdahulu, ini terlihat pada tafsirnyayang juga menukil dari pendapat-pendapat ulama’ terdahulu. Diantaranya, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Thantawi, ar-Razi, Fahrurroazi, Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhawi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, bukan berarti bahwa pemikiran Abdullah Thufail Saputra tidak ada dalam tafsirnya, ini membuktikan bahwa keluasan bacaan atau referensi yang dimiliki. Disisi lain, hal ini juga menyebabkan pemakalah kesulitan untuk melacak warna pemikiran yang terdapat dalam tafsir MTA ini.
Dalam penafsirannya, MTA terkadang melakukan penafisaran ayat satu menguatkannya dengan ayat lain, terkadang dengan menggunakan Hadits, dan terkadang pula menggunakan pendapat ulama.
Kitab tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sistem penulisannya adalah ayat al-Qur’an ditulis lengkap, kemudian dibawahnya ditulis terjemahan perkalimat dari ayat tersebut –penulisan dengan sistem ini ditemui pada cetakan yang terbaru, soalnya pada cetakan lama belum menggunkan sistem terjemahan perkata- kemudian dibawahnya dituliskan terjemahan secara keseluruhan ayat. Berikutnya kemudian dituliskan penafsirannya. Dalam penafsirannya, terdapat juga analisisqira’at untuk menjelaskan maksud ayat.[6]
Metode yang dipakai tafsir ini berbentuk tahlily. Menurut pemakalah, tafsir ini termasuk dalam corak bahasa, karena dari ayat-ayat yang ditafsirkan banyak teradapat menguraikan dari sisi bahasa.
Dalam menafsirkan, karya tafsir ini menggunakan metode ayat al-Qur’an dan ayat al-Qur’an lain untuk menjelaskan kandungan suatu ayat tertentu.
4.    Contoh Penafsiran[7]
Pemakalah akan memberi contoh surat al-Baqarah ayat 173 yang membahas tentang makanan yang diharamkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis makanan yang diharamkan menurut MTA. terjemahan:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (selain) nama Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpakasa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyanyang. (QS. Al-Baqarah: 173)
Uraian Tafsir surat al-Baqarah ayat 173:
Sebelum Allah menurunkan ayat tersebut yang teramasuk ayat Madaniyah (ayat yang turun di Madinah) terlebih dahulu telah diturunkan pula ayat yang semakna dengan ayat tersebut yakni di surat al-An’am ayat 145 dan surat al-Nahl ayat 115 yang terjemahannya sebagai berikut:

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An’am 145)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nahl 115)
Begitu pula Allah menurunkan ayat yang sama maksud dan golongannya dengan surat al-Baqarah 173 diatas yakni ayat 3 surat al-Maidah:

diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, (QS. Al-Maidah:  3)
dari ayat ayat diatas sangat jelas sekali apa-apa (makanan) yang diharamkan oleh Allah bagi manusia, yaitu:
1.    Bangkai binatang
2.    Darah (yang mengalir) bukan darah yang ada kulit atau daging binatang
3.    Babi (dagingnya, tulangnya, dan sebagainya)
4.    Bintatang yang halal diamakan, akan tetapi dismebelih bukan karena Allah.
Menilik ayat-ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang diharamkan oleh Allah jika manusia memakannya hanya 4 macam tersebut di atas.
Oleh sebab itu jangan ada manusia dimana saja dan kapan saja berani-berani menambah dari yang 4 tersebut. Karena dengan tandas pula Allah menjelaskan bahwa perincian itu adalah empat, seperti firman-Nya di surat al-Am’am ayat 119:

mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya? dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(QS. Al-An’am: 119)
Akal siapakah yang membenarkan penambahan dari yang 4 macam yang diaharamkan oleh Allah, bagi manusia memakannya? Padahal yang diharamkan oleh Allah itupun manusia boleh memakannya apabila dalam keadaaan terpaksa karena tiadanya makanan lain umpamanya.
Kemudian perlu diperhatikan pula ayat yang terjemahannya berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS. Al-Maidah: 87)
Begitu pula hendaknya diperhatikan firman Allah:
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.(QS. Al-Nahl: 116)

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah". (QS. Yunus: 59)
Dan perhatikan pula surat al-A’raf 32:

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raf: 32)
Dan masih beranikah manusia mengada-ngadakan atau berdusta atas nama Allah? Perhatikanlah firman-firman Allah di bawah ini.

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? (QS: al-A’raf 37)

dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan. (QS. Al-An’am: 21)
dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya,(QS. Al-An’am: 93)

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-An’am: 144)
Dan masih banyak ayat lain yang dikutip dalam tafsir MTA ini untuk mendukung/menjelaskan uraian diatas.
Ada juga sementara orang karena salah memahami ayat, hingga apa-apa yang dipandang oleh manusia menjijikkan itu pun termasuk yang diharamkan oleh Allah mereka ini mengetengahkan ayat 157 surat al-A’raf.4
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.(QS. Al-A’raf: 157)
Kalimat: “dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” mereka mengartikan dengan apa-apa yang dipandang buruk oleh manusia. Kalau orang Jawa Tengah ini umpamanya “Katak”. Karena katak itu menurut mereka adalah menjijikkan (jember bahasa Jawa), maka katak itu haram.
Padahal tidak demikian, yang dimaksud ath-Thoyyibat adalah barang-barang/makanan-makanan yang dihalalkan, sedang ­al-Khobaits ialah: makanan-makanan yang diharamkan.
Dan Allah telah memperinci yang haram bagi manusia makanannya adalah hanya empat. Lagi pula kalau orang Jateng menganggap katak itu haram karena menjijikkan. Mungkin, anggapan semacam itu hanya oleh sebagian saja dari penduduk Jateng dan sebagian yang lain mengatakan katak itu lebih enak daripada daging ayam. Sealin dari itu apa yang dianggap oleh sebagian orang di daerahnya sesuatu yang disukai. Sedang agama Islam ini adalah untuk segenap manusia di serata bumi raya. Maka kalau pendapat semacam itu diperturutkan. Mungkin akan terjadi demikian: katak di Jawa Tengah menjijikkan maka haram hukumnya, tetapi karena katak dinegeri Cina dianggap makanan enak, maka disana halal hukumnya. Jadi katak itu ya hala ya haram tergantung pada selera manusia. Yang demikian ini berarti agama yang tidak karu-karuan, bukan tuntunan Allah yang harus diikuti oleh manusia, tetapi selera manusia dimenangkan dari pada ketentuan Allah.
Wal hasil yang haram itu hanya empat macam. Apakah sesuai dengan selera manusia atau tidak, tetapi bagi konsekuensi logisnya seseorang yang beragama Islam, maka selera dirinya harus tunduk kepada tuntunan Allah dan bukan sebaliknya.
Dan yang lebih aneh lagi kalau orang kafir jahiliyyah dahulu merasa putus asa terhadap agama Islam mengaharamkan makanan yang dimakan manusia hanya 4 macam, tetapi orang-orang yang mengaku beragama Islam jaman sekarang ada yang naik pitam karena yang diharamkan oleh Allah hanya 4 macam.
Memang ada beberapa hadis yang sebagai berikut.
عن ابي هريرة عن النبي قال: كل ذى ناب من السباع فاكله حرام. مسلم
Dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas itu maka memakannya adalah haram”. (HR. Muslim, Juz 3, hal. 1534)
Dan ada pula yang berbunyi:
عن ابن عباس ان رسول الله ص نهى عن كل ذى ناب من السباع وعن كل ذى مخلب من الطير.مسلم
Dari Ibn Abbas bahwasanya Rasulullah saw melarang dari (memakan) tiap-tiap binatang buas yang bertaring dan melarang (memakan) tiap-tiap burung yang bercakar (alat pencengkeram). (HR. Muslim juz 3, hal, 1534)
Hadis-hadis tersebut tidak disangkal kesahihannya, tetapi karena al-Qur’an telah memberikan batasan hanya 4 macam, makanan yang haram manusia memakannya, mungkinkah Nabi menambahnya?
Lagi pula kalau dalam ayat 157 al-An’am Nabi diperintahkan untuk menyatakan bahwa Nabi tidak mendapatkan di dalam wahyu yang diterimanya dan mengharamkan makanan bagi manusia memakannya kecuali 4 macam (lihat kembali surat al-An’am 145), mungkinakah Nabi berani mengharamkannya dengan kehendak beliau sendiri? Dan bagaiamanakah pula kedudukan hadis yang berbunyi:
الحلا ل مااحل الله فى كتا به والحرام ما حرم الله فى كتا به.
Yang halal itu apa-apa yang diahalalkan oleh Allah di dalam kitan-Nya dan yang haram itu apa-apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya. (HR. Ibn Majah, jus 2, hal. 1117)
Perlu ditambahkan di sini bahwa untuk memahami tentang apa yang diharamkan yakni 4 macam tersebut pada lazimnya adalah mudah dan jelas, tetapi ada satu diantaranya yang 4 itu agaka sulit untuk memahaminya, yaitu:

“Dan apa-apa yang disebut dengannya untuk sealin Allah”
Sebagian ulama berpendapat yang dimaksudkan oleh ayat tersebut ialah: menyembelih binatang yang halal tanpa menyebut nama Allah.
Pendapat yang lain ialah: maksud ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak halal yang disembelih karena berhala, seperti yang diterangkan dalam surat al-Maidah ayat 3:3t
“...yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,...”
Ada pula yang berpendapat maksud ayat wa maa uhilla nihii lighoirillah ialah sembelihan yang disembelih untuk suatu tujuan yang tidak dituntunkan atau yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti: menyembelih untuk slametan yang berhubungan dengan kematian, kelahiran anak dan sebagainya (bukan aqiqah). Juga sesembelihan untuk mengingat Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, menghormat hari-hari yang dianggap bersejarah dan sebagainya. Karena semuanya itu tidak ada tuntunannya dan tidak ada pembenaran dari Allah dan Rasul-Nya.
Penyembelihan yang dituntunkan antara lain ialah:
1.    Sembelihan Udlhiyah atau yang biasa disebut Qurban di hari raya dan tasyriq (tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah)
2.    Aqiqah: sembelihan yang ada hubungannya dengan kelahiran bayi (perempuan atau laki-laki) pada hari ke-7 nya.
3.    Sembelihan-sembelihan yang ada hubungannya dengan ibadah haji.
Adapun penyembelihan yang dibenarkan antara lain:
1.    Menyembelih untuk dijual.
2.    Menyembelih untuk menghormati tamu atas dasar yang dibenarkan agama.
3.    Menyembelih untuk menyantuni fakir miskin secara mutlak (tidak ada kaitannya dengan kepercayaan yang salah).
4.    Menyembelih untuk dimakan sebagai lauk pauk.
Pendapat ini adalah yang sesuai dengan jiwa dan makna ayat tersebut, karena arti uhilla ialah: disuarakan, maksudnya: orang-orang jahiliyah dahulu apabila menyembelih sembelihan lebih dulu menyebut nama-nama berhala, karena berhala-hala itulah yang dipetaruhkan atau yang dianggap sebagai perantara, dengan kepercayaan supaya sembelihannya itu mendapat restu atau disukai oleh berhala-hala tersebut, maka kalau pada ayat disebutkam wa maa uhilla lighoirillaahii bihi, tentu pengertiannya bukan sekedar tidak menyebut nama Allah; tetapi yang dimaksud ialah sembelihan yang tidak dituntunkan atau dibenarkan oleh Allah.
Karena kalau sekedar demikian, bagaimana kalau ada orang yang menyembelih untuk berhala, sajen-sajen dan sebagaimana tetapi dalam penyembelihannya itu menyebut Bismillahirrohmannir rohim, apakah itu halal?
Pikirkan dan renungkan baik-baik!

“maka barangsiapa terpaksa memakannya dan tidak sengaja ingi dan tidak pula melampaui batas (kebutuhan) maka tiada dosanya”
Maksudnya: ayat tersebut menjelaskan bahwa sekalipun keempat macam makanan tersebut diharamkan, namun bagi siapa yang terpaksa harus memaknnya karena sebab-sebab yang dibenarkan syara’ dan tanpa adanya keinginan untuk memakannya dan tidak melampaui batas kebutuhan, maka tidak berdosalah orang yang memakan makanan yang diharamkan itu.
Yang perlu diperhatikan bagaimanakah keadaan seseorang dapat dikatakan terpaksa sehingga dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh Allah itu.
Pertama: dikarenakan ketiadaan makanan lain yang harus dimakan sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.
Kedua: untuk berobat, karena obat-obat yang halal sudah tidak menyembuhkan penyakitnya an menurut keterangan para ahli yang dipercaya, dimungkinkan sembuh penyakitnya itu dengan memakan makanan yang diaharamkan tersebut.
Dalam keadaaan semacam itu, orang Islam boleh memakan makanan yang diaharamkan oleh Allah.
Di dalam ayat tersebut ada suatu keterangan tentang yang dimaksud terpaksa yaitu:
غير باغ ولا عاد
(tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas)
Maksudnya, bukan karena ingin untuk memakannya dan  bukan karena melampaui batas kebutuhan memakan barang yang haram itu dalam keadaan terpaksa tersebut.
Dapat difahamkan yang dimaksud ingin atau berkeinginan termasuk termasuk orang yang belum semestinya dikatakan terpaksa,yakni belum menahan sampai batas maksimal sudah makan makanan yang haram itu dan juga yang melebihi kebutuhan yang diperlukan, karena dalam keadaan terpaksa, itupun tidak lepas dari keinginan yang didorong oleh hawa nafsu.
إن الله غفور رحيم
Sesungguhnya itu Allah Pengampun dan penyanyang
Akhir ayat tersebut bersifat umum, tetapi diakhirinya ayat tersebut dengan kalimat demikian, mengandung arti yang khusus. Hal tersebut bisa diterangkan sebagai berikut:
Karena Maha Pengampun dan Maha Penyanyangnya Allah kepada hamba-Nya, maka barang yang diharamkan-Nya pun boleh dimakan oleh hamb-Nya yang dalam keadaan terpaksa bukan karena ingin dan tidak melampaui batas keperluan. Dan seseorang yang yang benar-benar beriman jangankan barang-barang yang diharamkan, yang samar-samarpun akan dihindarinya, begitu pula ukuran terpaksa, termasuk relatif dan bersifar individual.
Oleh sebab itu bagi orang-orang yang benar-benar beriman tentu dia tidak suka cepat-cepat menganggap dirinya itu dalam keadann terpaksa, walaupun mungkin dirinya sudah dalam keadaan terpaksa.
Oleh sebab itulah dengan adanya akhir ayat tersebut bagi orang-orang yang benar-benar beriman akan dapat menundukkan dirinya sebagaimana mestinya hingga ia terselamat dari bahaya maut yang mengancamnya. Karena dengan akhir ayat tersebut akan hilanglah rasa keragu-raguan dalam dirinya antara sudah terpaksa atau belum terpaksa. Maka karena Allah itu Pengampun dan Penyanyang kalau ia berijtihad tentang keadaaan dirinya apakah sudah terpaksa ataukah belum akan cepat dipilihnya salah satu keadaan itu tanpa terancam bahaya maut.
C.  Penutup
Perkembangan tafsir al-Qur’an yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan Islam belahan bumi lain. Membaca Islam yang di Indonesia rasanya cukup penting. Sebab dari hasil bacaan itu kita sebagai umat Islam dapat mengetahui akan bagaimana perkembangan Islam di Indonesia setelah Islam mengalami beberapa fase perubahan dari waktu ke waktu.
Tafsir MTA ini merupakan salah satu hasil dari banyak karya tafsir di Indonesia, meski banyak orang yang menghujat tentang MTA, namun pemakalah mengapresiasi tentang hadirnya karya tafsir ini. Karena dengan karya tafsir ini turut menyumbang keilmuan khususnya dalam bidang tafsir di Indonesia.




[1]http://www.mta.or.id/sekilas-profil/, diakses pada senin 15 april 2013 pkl 11:30 WIB
[2] Yoyok Mugianto, Beda Boleh, Putus Silaturrahmi Jangan,Dimuat di OPINI Koran Jawa Pos (14-04-2011),sebagai jawaban atas OPINI berjudulMenyikapi Kegarangan Puritanisme”oleh Said Agiel Siradj di Jawa Pos (05-04-2011).
[3] Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, Laporan Penelitian Tentang Interaksi Sosial Kelompok Aliran Islam Minoritas Dalam Masyarakat di Berbagai Wilayah Jawa Tengah, 2008. Bentuk PDF, h. 25
[4] Sekapur Sirih Oleh Kiswanto dalam Catatan Tafsir al-Qur’an:Gelombang VII Malam Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) Pusat di Surakarta, Cet. Kedua (Surakarta: Gelombang VII Malam MTA, 1981), h. iii
[5]Ib.Id
[6] Pada penafsiran akhir ayat 144 surat al-Baqarah:
3$tBurª!$#@@Ïÿ»tóÎ/$£Jtãtbqè=yJ÷ètƒ
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yan mereke kerjakan.
Ada dua qira’at penting dalam akhir ayat ini, Ibn ‘Amir Hamzah dan al-Kisa’i membacanya dengan تعلون, yang artinya perkataan itu dihadapkan Tuhan kepada kaum Muslimin. Karena ayat ini mengatakan begini : Dan Allah tidak lalai dari apa-apa yang kamu amalkan dan Allah tidak menyia-nyiakan balasannya walaupun bagaimana juga fitnah yang dihidupkan oeh ahl kitab dengan kaum Musyrikin dan Munafiqin itu.
Dan menurut qiraat yang kedua dibaca dengan bqè=yJ÷ètƒ  maka perkataan itu dihadapkan Tuhan kepada orang-orang ahl Kitab dan orang munafiq yang telah menyiar-nyiarkan fitnah itu karena dengki hatinya.
Dan kedua qiraat tersebut dapat disesuaikan dengan kandungan dalam ayat 145. Abdullah Thufail Saputra, Tafsir al-Qur’an Surat al-Baqarah Jilid IV ayat 142-176, (Surakarta: Yayasan Majlis Tafsir al-Qur’an, 2008), h. 21-22
[7]Muhammad Abdul Thafail Saputra, tafsir jilid IV, 146-161

2 comments:

  1. MTA melalui ustad besarnya As syekh Asukino sesalu ngomong kalau MTA tidak pernah menghalalkan atau mengharamkan Anjing. Kenapa penjelasannya sumir atau tidak menjawab persoalan yang sebenarnya terjadi di MTA. Atau memang sengaja Si As syekh Asukino mau mengelabuhi, membohongi orang-orang yang masih awam dalam agama sehingga tetap menjadi pengikutnya yang aneh?

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo sepengetahuan saya, sudah diklarifikasi tentang pendapatnya yang awal tentang kehalalan anjing. ia yang tadinya menghalalkan jadinya mengharamkan. CMIIW

      Delete