Labels

Tuesday, September 22, 2015

TAFSIR AL-QUR’ANUL MAJID AN-NUUR KARYA (MUHAMMAD HASBI ASH-SHIDDIEQY)

Oleh : Lukluk il Maknun
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2010

PEMBAHASAN
A.    Biografi
Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, pada tanggal 10 Maret 1904. Meninggal di Jakarta pada tangal 1957. Seorang Ulama Indonesia , ahli ilmu fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, dan Ilmu Kalam. Ayahnya adalah Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Hesein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren(meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang qadhi kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama. Ia sebagai generasi yang ke-37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.[1]


B.     Pendidikan dan Sejarah Keilmuan.
Pendidikan agamanya di awali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota yang lain. Pengetahuan Bahasa Arabnya di peroleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang di dirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati, ulama yng berasal dari Sudan dan belajar dengannya selama 2 tahun.
Disitulah ia mengambil pelajaran takhassus(spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Karena belajar kepada Syekh Ahmad Soorkati yang mempunyai pemikiran modern ketika itu, maka Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga setelah kembali ke Aceh Hasbi langsung bergabung dengan keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili partai Masyumi dalam perdebatan ideologi di konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkosentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislmannya Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul sebagian besar karyanya adalah tentang fann ilmu fiqih . Bidang lainnya adalah hadits dan tauhid sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.[2]
Hasbi ash-Shiddieqy merupakan seorang ulama’ Indonesia yang terkenal. Beliau memiliki kepekaan dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits, dan ilmu kalam. Hasbi ash-Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelaran Doctor Honoris Cause sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperolehi dari Universiti Islam Bandung dan (UMSBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan KalijagaYogyakarta pada 29 Oktober 1975.[3]
Diantara karya-karya Hasbi adalah:
1.      Tafsir al-Qur’anul ajid an-Nur
2.      Ilmu-ilmu al-Qur’an
3.      Sejarah dan pengantar Ilmu al-Qur’an
4.      Tafsir al-Bayan
5.      Mutiara Hadits
6.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
7.      Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits
8.      Koleksi Hadits-hadits Hukum
9.      Hukum-hukum Fiqh Islam
10.  Pengantar Ilmu Fiqih
11.  Pengantar Hukum Islam
12.  Pengantar Fiqih Mu’amalah
13.  Fiqih Mawaris
14.  Pedoman Shalat
15.  Interaksi Fikih Islam dengan Syari’at Agama Lain (Hukum Antar Golongan)
16.  Pidana Mati Dalam Syari’at Islam. Dan masih ada karangan lainnya.

C.     Pemikiran.
            Diantara pemikirannya adalah mengenai ijtihad dalam ilmu fiqih. Seperti ulama’ lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakupi semua aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun hubungan dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumberkan wahyu Allah swt, difahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk diadaptasikan setiap perkembangan yang berlaku dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudiannya melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal.
            Menurut Hasbi ash Shiddieqy, kebanyakan umat Islam, khususnya di Indonesia tidak membedakan antara syariat asal dari Allah swt dan fiqh yang merupakan ijtihad ulama. Selama ini terdapat masyarakat Indonesia yang yang cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang bersifat absolut. Akibatnya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh imam-imam madzhab di pandang sebagai syari’at, walaupun terkadang relevansi pendapat imam madzhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkunga geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang.[4]
            Menurutnya, hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan keperibadian bangsa Indonesia. Terlalu cenderung mengikut mazhab imam-imam tersebut. Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, beliau memberika terobosan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang berkeperibadian Indonesia baik dari segi latar belakang sosiokultur maupun religi masyarakat Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia. Namun begitu begitu, tidak berarti ijtihad ulama terdahulu harus dibuang sama sekali, tetapi harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama’ dari mazhab manapun, asalkan sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia dapat diterima dan diterapkan.
            Dan untuk menuju hal yang demikian ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan:
Pertama ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama madzhab pada masa lalu supaya dapat dipilih manakah pendapat yang masih cocok untuk diterapkan di masyarakat.
Kedua ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adatkebiasaan dan suasana masyarakat dimana hukum itu berkembang. Hukum ini menurutnya berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti transplantasi organ tubuh, bank asuransi dan inseminasi buatan.[5]
Selain dari pemikirannya dalam hal fiqih kaitannya dengan ijtihad, hasbi juga memiliki beberapa pemikiran sendiri terkait dengan masalah hukum, zakat dan lainnya.[6]

D.    Tafsir an-Nur Karya Hasbi ash-Shiddieqy.
Karya tafsir pertama yang di hasilkan oleh Hasbi adalah tafsir an-Nur. Kitab ini disebut-sebut sebagai karya monumental, mulai di garap pada tahun 1952 hingga 1961 disela-sela kesibukannya mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota konstituate dan kegiatan yang lainnya. Penulisan kitab ini tidak seperti lazimnya penulisan karya ilmiah yang lain, mengingat tidak adanya peluang bagi Hasbi untuk mengikuti secara konsisten tahap-tahap kerja seperti pada umumnya penulis. Dengan bekal semangat dan pengetahuan dan dambaannya Hasbi berusaha menghadirkan sebuah kitab tafsir di Indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan.
Adapun alasan mengapa kitab ini di namakan dengan an-Nur, ia mengutip sebagimana yang dikatakan oleh al-Khazin dalam menanggapi karya-karya tafsir yang muncul dari kalangan orang Barat, bahwa Karya tafsir yang dihasilkan orang Barat tidak di sertai kebersihan dan kesesuaian jiwanya dengan ketinggian dan kemurnian jiwa Islam. Mereka menulisnya sebagi pengetahuan bukan sebagai suatu kaidah yang harus dipertahankan dan dikembangkan, maka mereka tidak menulis tafsir tersebut dibawah sinaran ilmu. Dan dengan disertai harapan taufik dan inayah dari Allah serta berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad dan kitab sirah yang terkenal Hasbi menyusun kitab tafsir ini.[7]
Karena terlalu akrab dengan sumber bacaan bahasa Arab maka struktur dan istilah bahasa Arab terbawa serta dalam karya tulisannya yang bisa berakibat menjadi sulit di pahami oleh pembaca yang tidak menguasai bahasa Arab, selain itu bahasa Indonesia tahun 1990-an sampai saat ini telah mengalami pengembangan dari bahasa yang dipakai pada tahun 1950-an ketika kitab ini dikerjakan.
Tafsir an-Nur pertama kali terbit pada tahun 1956 setelah tiga kali di terbitkan antara yang pertama kali hingga tahun 1976. Adapun kitab yang di maksud ini telah di sunting oleh dua putra Hasbi yakni Nourouzzaman dan Fuad Hasbi pada juli 1993, terbit pada tahun 2000 oleh percetakan Pustaka Rizki Putra Semarang.
Kitab Ini adalah kitab tafsir lengkap pertama karya ulama ahli tafsir Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Tafsir ini mudah dicerna oleh semua golongan masyarakat, dari para peneliti sampai para pemula.[8]Tafsir An-Nur menggunakan dua metode sekaligus, yaitu mudhi'i tahlili karena dibuat berdasarkan urutan dan susunan Al-Qur'an, ayat per ayat dan surah per surah, dengan bentuk penyajian yang rinci, dan juga metode maudhu'i (tematik) karena sebelum menjelaskan tafsir suatu surah terlebih dahulu dijelaskan gambaran umum surah tersebut.[9] Corak penafsiran dari kitab ini adalah umum,  dan bentuk penafsirannya adalah bil ma’tsur dan sebagian dengan ra’yu.[10]



Sistem yang di pakai dalam penyusunan tulisan kitab ini adalah sebagai berikut:
Sebagaimana telah diketahui bahwa ada tiga metode penafsiran yang disepakati oleh para ulama Salaf atau mutaqaddimin, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, disebut juga tafsir bi al-riwayat atau tafsir bi al-manqul (menafsirkan al-Qur’an berdasarkan riwayat dari Rasulallah, Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin), tafsir bi al-ra’yi was al-ijtihad, disebut juga tafsir bi al-dirayat atau tafsir bi al-ma’qul (menafsirkan al-Qur’an dengan bersandarkan kepada rasio dan olah piker serta penelitian terhadap kaidah-kaidah bahasa), dan tafsir bi al-isyarat atau tafsir isyari (disandarkan kepada tafsir sufiyah, yaitu menafsirkan al-Qur’an bukan dengan zahirnya, melainkan dengan suara hati nurani).[11]
 Sementara itu para ulama khalaf atau mutaakhkhirin kemudian mengembangkan metode tafsir menjadi tafsir tahlily (menafsirkan al-Qur’an dengan penguraian yang luas , dengan menyingkap seluruh maksudnya dan dan meneliti semua aspeknya), tafsir ijmaly (menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan global), tafsir maudlu’iy (menafsirkan al-Qur’an berdasarkan satu tema atau judul khusus), dan tafsir muqarin (menafsirkan dengan cara membandingkan suatu ayat dengan pendapat ulama).[12] 
Terdapat perbedaan diantara para ahli ilmu tafsir dalam menetapkan mana yang dimaksud dengan metode, corak, bentuk, dan sumber tafsir. Sebagian menjadikan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sebagai metode tafsir, ada yang memasukkannya dalam corak tafsir , namun ada yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk tafsir, sementara itu ada juga yang mengkatagorikan sebagai sumber tafsir. Selain dari yang di sebutkan, ada beberapa perubahan diantaranya  meninggalkan penafsiran yang tidak berhubungan langsung dengan ayat supaya pembahasan tidak terlalu melebar, membubuhkan note pada tiap-tiap ayat yang di terangkan dalam satu pembahasan, dan menyebutkan nomor surat dan ayat yang hendaknya di baca dan diperhatikan sebagai kelanjutan.[13]
Dalam penulisan kitab ini, Hasbi beepedoman kepada sejumlah kitab tafsir induk diantaranya adalah ‘Umdatut Tafsir ‘anil Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar, Tafsir al-Qasimy, Tafsir al-Maraghy, dan Tafsir al-Wadhih. Dalam menerjemahkan ayat ke bahasa Indonesia berpedoman pada tafsir Abu Su’ud, Tafsir as-Shiddiqi Hasan Khan dan Tafsir al-Qasimy. Mengenai materi tafsir di ambilkan dari inti sari tafsir yang di i’tibarkan kebanyakan dari al-Maraghi yang mengikhtisarkan uraian al-Manar begitu pula ayat dan hadits juga di bandingkan dari kitab induk al-Maraghi dan al-Qasimy.[14]

E.     Metode Penafsiran.
Sistem yang dipakai dalam penafsiran kitab ini adalah:
1.        Menyebut satu, dua atau tiga ayat yang difirmankan Allah untuk membawa suatu maksud, menurut tertib mushaf.
2.        Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal. 
3.        Dalam menafsirkan ayat-ayat dengan menunjuk kapada sari patinya.
4.        Menerangkan ayat-ayat yang terdapat di lain surat, atau tempat yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan, atau yang sepokok, supaya pembaca mudah  mengumpulkan, ayat-ayat yang sepokok dan ayat-ayat itu dapat ditafsirkan oleh ayat-ayat sendiri.
5.        Menerangkan sebab-sebab turun ayat, jika diperoleh atsar yang shahih yang diakui shahihnya oleh ahli-ahli atsar (ahli-ahli hadits).

           Jika di tela’ah metode penyusunan tafsir an-Nuur ini, maka dapat dikatakan bahwa tafsir an-Nuur menggunakan metode ijmaliy sebagaimana sering ditemui dalam karya-karya tafsir dari mufassir Indonesia. Metode ijmali merupakan suatu metode yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan uraian yang singkat dan dalam bentuk global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat sebatas artinya dan tidak menyinggung hal-hal lain selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan mufassir ayat demi ayat dan surat demi surat al-Qur’an, sesuai dengan urutannya dalam mushaf Utsmaniy. Kadangkala pada ayat-ayat tertentu mufassir menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulullah atau pendapat ulama yang saleh.
 
Tafsir an-Nuur umumnya mengawali tafsir suatu surat dengan menyebutkan nama-nama lain dari surat tersebut, tempat turunnya, jumlah ayat, dan sejarah turunnya jika ada. Kemudian disebutkan kandungan isi dari surat tersebut dan mengaitkan surat tersebut dengan surat sebelumnya. Setelah itu, baru masuk kepada penafsiran ayat ayat dengan mengetengahkan pandangan penulis terhadap pemahaman ayat-ayat tersebut, dan juga mengutip pandangan para ulama tafsir lainnya, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, di seputar masalah itu. Di samping itu penulis juga menuliskan hadits-hadits yang yang memiliki relevansi dengan suatu ayat sebagai bentuk penjelasan terhadap maksud ayat tersebut, atau pendapat seorang ulama tentang masalah tersebut. Hasbi kemudian mengakhiri penafsirannya dengan suatu kesimpulan terhadap kandungan ayat-ayat yang telah ditafsirkan. Namun sebelum memberi kesimpulan akhir terhadap penafsiran satu atau beberapa ayat, penulis ada kalanya menyertakan asbab al-nuzul ayat jika memang dijumpai ada riwayat yang menyebutkan sebab turunnya.
Sebagian para pembaca tafsir ini menyatakan bahwa tafsir an-Nuur memiliki kemiripan dengan tafsir Al-Maraghi. Hal ini dijawab oleh Ash-Shiddieqy dalam muqaddimah tafsirnya bahwa memang ia merujuk kepada kitab tafsir al-Maraghi, disamping kitab-kitab tafsir lain seperti al-Manar, Tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Qasimy, dan tafsir al-Wadhih Ash-Shiddieqy merasa perlu untuk menyebutkan bagaimana sistematika yang dipergunakannya dalam penafsirkan untuk menolak anggapan bahwa karya tafsirnya ini merupakan jiplakan dari karya tafsir lain.[15]

F.      Contoh Dalam Penafsiran.
Alif Lam Miim: di baca dengan mematikan bunyi masing-masing hurufnya (konsonan).[16]
Sebagian ahli tafsir berpendapat, ada yang mengetahui dengan pasti apa makna alif laam miim. Ayat ini termasuk dalam ayat-ayat hanya Allah sendiri yang mengetahuinya maknanya. Oleh karenanya, mereka menerjemahkan dengan: Allah yang lebih mengetahui apa yang di maksud dengan rangkaian huruf-huruf tersebut.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa semua huruf pembuka surat adalah huruf-huruf terpotong yang dimaksudkan untuk memperingatkan atau menarik perhatian manusia agar mau mendengarkan atau membaca ayat-ayat selanjutnya. Juga member petunjuk bahwa al-Qur’an yang menghimpun segala pokok petunjuk tentang kehidupan, tersusun dari huruf-huruf yang kemudian membentuk kalimat-kalimat bahasa Arab yang indah dan bermakna amat dalam, yang tidak tertandingi  oleh siapapun, baik sendiri-sendiri  maupun berkelompok. Selain itu, huruf-huruf pembuka itu akan menggugah pendengar dan pembaca untuk memperhatikan hujjah-hujjah yang ditegakkan al-Qur’an guna mematahkan sanggahan ahlul Kitab yang lain, yang akan disebutkan dalam pertengahan surat.[17]
Dari 114 surat yang ada di dalam al-Qur’an terdapat 29 surat yang dibuka dengan huruf atau huruf-huruf hijaiyyah, dari satu huruf sampai lima huruf.[18]
Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an Hasbi juga merujuk kepada pendapat-pendapat Ulama yang lain.

KESIMPULAN

Segala bentuk tafsir yang ada, sesungguhnya adalah kontribusi yang sangat besar manfaatnya. Begitu pula dengan kitab tafsir karya Hasbi ash-Shiddieqy ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya  tafsir ini sangat membantu bagi seluruh kalangan masyarakat baik dari kalangan akademisi maupun non akademisi. Dengan menggunakan bahasa lokal yang bersumber dari kitab-kitab tafsir berbahasa Arab usaha ini bukanlah pekerjan yang mudah mengingat banyaknya kegiatan di sela-sela kesibukannya dalam menulis. Sedangkan bagi kalangan awam kadang kala akan merasa kesulitan dalam memahami istilah-istilah yang kerap menggunakan bahasa Arab.

DAFTAR PUSTAKA


ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, Pustaka Rizki Putra: Semarang. 2000
Baidan, Nasruddin. Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri: Solo. 2003
T.Np. Jurnal Studi al-Qur’an. Pusat Studi al-Qur’an: Ciputat. 2006
/disertasi-ilmiah-4-tafsir-al-bayan-oleh.html. Diakses 20 desember 2012
http://bintusahaly.blogspot.com/2010/12/tafsir-al-quranul-majid-nuur-sebuah.html. Diakses pada Tanggal 10 Juli 2013 Pukul 06.24


[1] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, (Pustaka Rizki Putra: Semarang. 2000) h.  xvii

[2] Ibid., xviii
[3] /disertasi-ilmiah-4-tafsir-al-bayan-oleh.html. Diakses 20 desember 2012
[4]  Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy . Op. Cit., xviii
[5] Ibid., xix
[6] Ibid., xix-xx
[7] Ibid., xii
[8] Jurnal Studi al-Qur’an. (Pusat Studi al-Qur’an: Ciputat. 2006) h. 639
[9] Ibid.,
[10] Nasruddin Baidan, Op, Cit.  h. 106
[11] Ibid.,
[13] Ibid., xiii
[14]  Ibid.,  xv
[15] Ibid.,
[16] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy . Op. Cit.,  h. 31
[17] Ibid, h. 31.
[18] Ibid., h. 32

No comments:

Post a Comment