Labels

Friday, November 30, 2012

Macam dan Sumber Penafsiran


oleh : Khoerul Anam
BAB I
PENDAHULUAN
Tidaklah Allah menurunkan al-Qur`an al-Karim kepada manusia melainkan agar mereka memahami, memikirkan dan mengamalkannya. Kalam Allah Ta'ala:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shad: 29)
Apabila kita mengamati literatur tafsir yang perkembangannya telah sampai pada apa yang dinamakan dengan kekayaan produktif, maka cukup sulit bagi kita pada awal mulanya untuk mengkaji dan mendalami lebih lanjut tentang kekayaan khazanah Islam yang satu ini.[1]
Namun pada akhirnya ulama kontemporer seperti adz-Dzahabi membaginya menjadi beberapa periode masa dalam penafsiran al-qur`an. Pada kesempatan ini kami membatasi pada macam-macam dan sumber penafsiran yang akan dijelaskan lebih lanjut pada makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
  A.    Macam dan Sumber Penafsiran
Berbagai macam penafsiran yang terdapat dalam literatur Islam membuat para ulama membagi-baginya dalam Sumber penafsiran, Metode penafsiran yang dipakai dan Corak penafsiran hasil karya mufassir-mufassir dari zaman awal Islam sampai masa kontemporer.
Macam-macam penafsiran jika dilihat dari sumbernya maka terbagi menjadi dua, pertama  Tafsir bi al-Ma’tsur dan kedua tafsir bi al-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkan tiga macam dengan menambah Tafsir bi al-Isyarah, yaitu penafsiran dengan firasat atau kekuatan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi sehingga sering juga disebut dengan tafsir shufi.
Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan naqli yang shahih, dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para sahabat yang merupakan orang- orang yang paling tahu tentang kitabullah, atau dengan perkataan tabi'in yang belajar tafsir langsung dari para sahabat.
Cara Tafsir bil Ma'tsur adalah dengan memakai atsar-atsar yang menjelaskan tentang makna suatu ayat, dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya, selama tidak ada riwayat yang shahih tentang itu.[2]
Dan jika kita tidak menjumpai tafsir dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kita merujuk kepada perkataan para sahabat. Karena mereka lebih tahu tentang tafsir dengan apa-apa yang mereka persaksikan dari al-Qur’an dan keadaan-keadaan khusus bagi mereka. Juga apa yang dimiliki mereka dari pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shahih. Dan jika kita tidak mendapatkan tafsir dalam al-Qur’an dan tidak juga dalam as-Sunnah dan tidak juga dari perkataan para sahabat, maka banyak para imam yang merujuk kepada perkataan tabi'in seperti Mujahid bin Jabr, Sa'id bin Jubair, Ikrimah, Atha' bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajda', Sa'in bin al-Musayyib, Abul 'Aliyah, Robi' bin Anas, Qotadah, adh-Dhahak bin Muzaahim dan yang selain mereka dari tabi'in.
Sedang Tafsir bi al-Ra’yi awalnya dari kata al-ra’yu, secara etimologis bermakna keyakinan, qiyas dan ijtihad. Jadi Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijtihad, yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran.[3]
Tafsir bir Ra’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istinbatnya dengan akal semata. [4]
Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafadz-lafadz al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat mereka dan tidak pula dari tafsir mereka.
Seperti kelompok Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali al-Juba'i, Tafsir al-Kabir oleh Abdul Sabban dan al-Kasysyaf yang ditulis oleh az-Zamakhsyari.
Dalam corak penafsiran, yang dimaksud adalh bidang keilmua yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corak penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi menjadi beberapa macam. Di antaranya sebagai berikut:
1.         Tafsir shufi/isyari, corak penafsiran ilmu tashawuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyari.
2.         Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fikih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk kategori tafsir bi al-Ma’tsur.
3.         Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat. Termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi.
4.         Tafsir Ilmi yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ilmi ini juga termasuk tafsir bi al-Ra’yi.
5.         Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang yang mengkategorikannya sebagai tafsir bi al-izdiwaq (tafsir campuran), karena prosentasi atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.

Sedangkan jika macam-macam penafsiran dilihat dari metodenya, maka para ulama tafsir membaginya ke dalam empat metode.
1.      Metode Ijmali
Biasa disebut juga metode Global, yaitu penafsiran al-Qur`an secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
2.      Metode Tahlili
Biasa juga disebut  metode Analisis. Yaitu metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sesuai dengan bidang keahlian mufassir yang menafsirkan.
3.      Metode Muqarran
Disebut juga dengan metode Komparasi/Perbandingan. Yaitu menafsirkan al-Qur`an dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur`an, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.
4.      Metode Mawdhu’i
Metode ini biasa disebut metode Tematik. Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep al-Qur`an tentanng suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur`an yang membicarakan tema tersebut.

   B.     Pendapat Para Ulama
Adapun menafsirkan al-Qur’an dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram. Sebagaimana kalam Allah, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. al-Isro': 36).
Rasulullah bersabda: "…Barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka. (diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi, beliau mengomentarinya sebagai hadits hasan)
Karena inilah, banyak ulama salaf yang merasa berat menafsirkan suatu ayat al-Qur`an tanpa ilmu, sebagaimana dinukil dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwa ia berkata,”Bumi manakah yang bisa membawaku, dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu tentang al-Qur`an yang aku tidak punya ilmunya?” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya jil.1 dengan sanad yang shahih).
Berkata Ubaidullah bin Umar: "Telah aku jumpai para fuqoha Madinah, dan sesungguhnya mereka menganggap besar bicara dalam hal tafsir. Di antara mereka adalah Salim bin Abdullah, al-Qasim bin Muhammad, dan Sain bin Musayyib. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, jil.1 dengan sanad yang shahih).
Masyruq berkata, "Hati-hatilah kalian dari tafsir, karena dia adalah riwayat dari Allah." (Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dengan sanad yang hasan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, jil.1).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Secara umum, barangsiapa yang berpaling dari madzhab sahabat dan tabi'in dan tafsir mereka kepada tafsir yang menyelisihinya, maka telah berbuat kesalahan, bahkan berbuat bid'ah (sesuatu hal yang baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah) dalam agama. (Majmu' Fatawa, jil.13).

   C.     Syarat Diterimanya Sebuah Penafsiran
Secara umum dari kesimpulan penulis makalah setelah membaca berbagai referensi yang berkenaan dengan tafsir, syarat diterimanya sebuah penafsiran secara garis besar adalah :
a.    Jika pada Tafsir bil Ma’tsur maka ia (penafsiran) harus terambil dari riwayat-riwayat yang shahih.
b.    Jika pada Tafsir bir Ra’yi maka penafsiran itu harus sesuai dalam artian tidak kontradiktif dengan Tafsir bil Ma’tsur yang shahih.
c.    Maknanya itu sendiri harus shahih.
    Tidak bertentangan dengan dengan makna lahir ayat.[5]

BAB III
PENUTUP
Tidaklah Allah menurunkan al-Qur`an al-Karim kepada manusia melainkan agar mereka memahaminya, memikirkan dan mengamalkannya. Secara umum tafsir dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Tafsir bil Ma'tsur dan Tafsir bir Ra’yi.
Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan naqli yang shahih, dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para sahabat yang merupakan orang-orang yang paling tahu tentang kitabullah, atau dengan perkataan tabi'in yang belajar tafsir langsung dari para sahabat.
Tafsir bir Ra’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istinbatnya dengan akal semata. Adapun menafsirkan al-Qur’an dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram. Karena inilah, banyak ulama salaf yang merasa berat menafsirkan suatu ayat al-Qur`an tanpa ilmu, sebagaimana dinukil dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwa ia berkata,”Bumi manakah yang bisa membawaku, dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu tentang al-Qur`an yang aku tidak punya ilmunya?”.

Daftar Pustaka
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Dosen Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004
adz-Dzahabi, Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassirun, Program Maktabah Syamilah
al-Khaththan, Syaikh Manna’, Mabahits Fi Ulumil Qur`an, Cet. Ke-7, Kairo: Maktabah Wahbah, 1995
___________,_____________, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, Cet. Ke-4, Jakarta: al-Kautsar, 2009
Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
ash-Shiddiqy, T.M. Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, Semarang: Rizki Putra, 2002
Shihab, M. Quraysh, Membumikan al-Qur`an, Cet. Ke-31, Bandung: Mizan, 2007
Suryadilaga, al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,Yogyakarta: Teras, 2010
as-Suyuthi, al-Imam Jalaluddin, Al-Ithqan Fiy ‘Ulum al-Qur’an, Program Maktabah Syamilah
_________,__________________, Studi al-Qur’an Komprehensif, Cet. I, Solo: Indiva :. 2009
al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Ushul Fi Tafsir, Progarm Maktabah Syamilah




[1] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islamy, terj: M.alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), h.77-79.
[2] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur`an, Terj: Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h.358.
[3] Suryadilaga, al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), h.306.
[4] Manna’ al-Qaththan, Op.cit., h.362.
[5] Manna’ al-Qaththan, Op.cit., h.448.

No comments:

Post a Comment