BAB I
PENDAHULUAN
Tidak
sedikit ayat al-Qur’an yang berbicara tentang manusia. Bahkan manusia adalah
makhluk pertama yang disebut dua kali dalam rangkaian wahyu Tuhan pertama
(Q.S.96:1-5). Manusia dalam al-Qur’an sering mendapat pujian Tuhan, seperti pernyataan
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (Q.S. 95:5).
Kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan
kebanyakan makhluk-makhluk lain (Q.S. 17:70). Tetapi disamping itu, sering pula
manusia mendapat celaan Tuhan, seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat
(Q.S. 14:34), dan sangat banyak membantah (Q.S. 18:54), serta bersifat keluh
kesah lagi kikir (Q.S. 70:19).
Ini
bukan berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an bertentangan satu dengan lainnya.
Tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan kelemahan-kelemahan manusia agar
dihindarinya, di samping menunjukkan bahwa
makhluk ini mempunyai potensi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji atau di tempat rendah, sehingga tercela.
makhluk ini mempunyai potensi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji atau di tempat rendah, sehingga tercela.
Dalam
kesempatan ini penulis akan membahas tentang asal-muasal penciptaan manusia (Q.S.
23:12-14) dan kedudukannya (Q.S.95:1-6) di “mata” Tuhannya. Pembahasan tentang
manusia, asal kejadian, potensi dan keistimewaan yang dimilikinya, merupakan
pembahasan yang mungkin dapat mengantarkan kepada pengetahuan tentang hakikat
manusia dan fungsinya dalam kehidupan, Sehingga ia benar-benar bisa memperoleh
tempat tertinggi di sisi Tuhannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PROSES
PENCIPTAAN MANUSIA
1. Teks ayat dan terjemah
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين (12) ثم جعلنه نطفة في قرار مكين (13) ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسون العظام لحما ثم أنشأنه خلقا ءاخر فتبارك الله أحسن الخالقين (14)
Artinya:
12.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah.
13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah,
Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mukminun [23]:12-14)
2.
Tafsir
Mufrodat
الإنسان : para ulama berbeda-beda pendapat tentang
arti kata ini, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Adam. Ada
juga yang menyatakan bahwa kata tersebut
maknanya adalah jenis manusia. Al-Biqa’i misalnya menulis bahwa (سلالة من طين)
saripati dari tanah, merupakan tanah yang menjadi bahan penciptaan Adam.
Thabathaba’i juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-insan tidak mungkin
Adam as.
Thahir bin ‘Asyur, walaupun membuka
kemungkinan memahami kata al-insan dalam arti Adam, cenderung berpendapat
bahwa al-insan yang dimaksud adalah putra-putri adam as. Saripati
dari tanah itu menurutnya adalah apa yang diproduksi oleh alat pencernaan
dari bahan makanan yang kemudian menjadi darah, yang kemudian berproses hingga
akhirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan seks. Nah, inilah yang dimaksud
dengan saripati tanah karena ia berasal dari makanan manusia-baik tumbuhan
maupun hewan yang bersumber dari tanah.
سلالة : terambil dari kata سلّ yang antara lain
berarti mengambil, mencabut. Patron kata ini mengandung makna sedikit,
sehingga kata sulalah berarti mengambil sedikit dari tanah dan yang
diambil itu adalah saripatinya.
نطفة : dalam bahasa
Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Ada juga yang memahami kata
itu dalam arti hasil pertemuan sperma dan ovum. Penggunaan kata ini menyangkut
proses kejadian manusia sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan
bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria mengandung sekitar
dua ratus juta benih manusia, sedang yang berhasil bertemu dengan indung telur
wanita hanya satu saja.
علقة : terambil dari kata علق yang berarti a)
segumpal darah yang membeku, b) sesuatu yang seperti cacing, berwarna hitam,
terdapat dalam air, yang bila air itu diminum, cacing tersebut menyangkut di
kerongkongan, dan c) sesuatu yang bergantung atau berdempet.
مضغة
: terambil dari kata مضغ yang berarti mengunyah, mudhghah adalah
sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah.
كسونا : terambil dari kata كسى yang berarti membungkus.
Daging diibaratkan pakaian yang membungkus tulang.
خلق
: biasa diterjemahkan mencipta atau mengukur,
biasanya digunakan untuk menunjuk penciptaan baik dari bahan yang telah ada
sebelumnya maupun belum ada.
جعل : artinya menjadikan, digunakan untuk
menunjuk beralihnya sesuatu ke sesuatu yang lain, dan ini bararti bahwa
bahannya telah ada.
أنشأ : mengandung makna mewuudkan sesuatu serta
memelihara dan mendidiknya. Penggunaan kata tersebut dalam menjelaskan
proses terakhir dari kejadian manusia mengisyaratkan bahwa proses terakhir itu
benar-benar berbeda sepenuhnya dengan sifat, ciri dan keadaannya dengan apa
yang ditemukan dalam proses sebelumnya.
خلقا آخر : berarti makhuk lain, mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang
dianugerahkan kepada makhluk yang dibicarakan ini yang menjadikan ia berbeda
dengan makhluk-makhluk lain, karena Allah telah menganugerahkan makhluk ini ruh
ciptaan-Nya yang tidak Dia anugerahkan kepada siapapun termasuk kepada para
malaikat.
تبارك : terambil dari kata بركة yang bermakna sesuatu
yang mantab. Ia juga berarti kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam
serta bersinambung. Kolam dinamai birkah, karena air yang ditampung
dalam kolam itu menetap mantab di dalamnya tidak tercecer ke mana-mana.
الخالقين : adalah bentuk jama’ dari kata خالق.
Bentuk jama’ tersebut mengisyaratkan bahwa ada kholiq selain Allah,
tetapi Allah adalah yang terbaik. Khaliq dipahami dalam arti pencipta
atau pengukur.
3.
Analisa
Nahwu
Ayat di atas menggunakan kata penghubung yang berbeda. Sekali ثم/kemudian
dan kali lain ف/lalu atau maka. Keduanya digunakan untuk menunjuk
terjadinya sesuatu setelah sesuatu yang lain, atau adanya peringkat yang
berbeda antara apa yang disebut sebelumnya dibandingkan dengan apa yang disebut
sesudah salah satu dari kedua kata tersebut. Hanya saja kata ثم biasa digunakan
untuk menunjukkan jarak yang lebih panjang dibanding dengan bila kata yang
digunakan adalah ف .
Dalam konteks ayat di atas, sementara ulama memahami penekanan kata
ثم
dan ف
tersebut bukan pada jarak waktu, tetapi kedudukan dan keajaiban yang demikian
tinggi antara yang satu dengan yang lain. Ini berarti peralihan dari nuthfah
ke ‘alaqah serta dari tulang yang terbungkus daging menuju makhluk
lain merupakan peralihan yang sangat menakjubkan melebihi ketakjuban yang
muncul pada peralihan ‘alaqah ke mudhghah atau mudhghah ke
tulang, demikian juga dari tulang hingga terbungkus daging.
4.
Syarah
Penjelasan Ayat
Al-biqa’i menguraikan hubungan ayat-ayat di atas dengan menyatakan
bahwa, akhir ayat yang lalu, yang berbicara tentang pewarisan surga di hari
kemudian, mengandung makna seakan-akan Allah berfirman: Kami telah menetapkan
adanya kebangkitan bagi seluruh hamba Kami setelah kematian mereka. Ada
sekelompok menuju surga yang penuh kenikmatan dan ada juga kelompok yang menuju
ke neraka. Kami kuasa membangkitkanmu kembali, walau jasad kamu telah koyak dan
telah menjadi tanah. Karena tanah pernah menjadi sumber kehidupan. Sebagaimana
Kami kuasa memulai – dengan menciptakan orang tua kamu, Adam, dari tanah yang
ketika itu belum menjadi sumber kehidupan, maka kini Kami mampu menghidupkan
kamu semua kembali setelah kamu menjadi tanah yang sudah pernah hidup.
Ayat ini kurang lebih menyatakan: Dan sesungguhnya Kami
bersumpah bahwa Kami telah menciptakan manusia, yakni jenis manusia yang
kamu saksikan, bermula dari suatu saripati yang berasal dari
tanah. Kemudian kami menjadikannya yakni saripati itu nuthfah yang
disimpan dalam tempat yang kokoh, yaitu rahim ibu. Kemudian Kami
ciptakan yakni jadikan nuthfah itu ‘alaqah, lalu Kami ciptakan yakni
jadikan ‘alaqah itu mudhghahi yng merupakan sesuatu yang kecil sekerat
daging, lalu Kami ciptakan, yaitu jadikan mudhghah itu tulang
belulang, lalu Kami bungkus tulang belulang itu dengan daging. Kemudian Kami
mewujudkannya yaitu tulang yang terbungkus daging itu menjadi – setelah
Kami meniupkan ruh ciptaan Kami kepadanya – makhluk lain daripada yang
lain yang sepenuuhnya berbeda dengan unsure-unsur kejadiaannya yang tersebut di
atas bahkan berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Maka Maha banyak lagi
mantap keberkahan yang tercurah dari Allah, Pencipta Yang
Terbaik.
5.
Pokok
Kandungan Ayat
Nash ini mengisyaratkan tentang periode pertumbuhan manusia, namun
tidak membatasinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia melewati banyak fase yang
berturut-turut. Dari tanah kemudian menjadi manusia. Tanah merupakan fase
pertama atau sumber pertama, dan manusia merupakan fase terakhir.
Sesungguhnya al-Qur’an menetapkan hakikat itu agar dijadikan
sebagai bahan renungan tentang ciptaan Allah dan agar dipikirkan peralihan yang
panjang dari tanah menuju manusia yang berjenjang-jenjang dalam pertumbuhannya
dari tanah tersebut.
Sementara itu, bahasan tentang bagaimana manusia berjenjang-jenjang
dari tanah merupakan hal yang didiamkan oleh al-Qur’an. Karena, hal itu bukan
merupakan target al-Qur’an. Perbedaan yang paling mencolok antara bahasan
teori-teori ilmiah dengan bahasan yang ada dalam al-Qur’an adalah bahwa
al-Qur’an menghormati manusia dan menentukan bahwa di dalam diri manusia ada
roh dari Allah. Roh itulah yang menyebabkan “kerangka saripati dari tanah”
menjadi manusia. Roh itu juga yang
memberikan karakter-karakter yang menjadikannya layak sebagai manusia dan
membedakannya dari hewan. Di sinilah letak perbedaan yang sejauh-jauhnya antara
teori Islam dan teori ilmiah yang bersumber dari materi. Allah-lah Zat Yang
Maha Benar.
Janin manusia mirip dengan janin hewan dalam pertumbuhan
jasmaninya. Namun, janin manusia dijadikan makhluk yang berbentuk lain.
Kemudian beralih kepada bentuk penciptaan yang istimewa itu, yang siap untuk
tumbuh. Sedangkan, janin hewan tetap pada tingkat hewan, kosong dari
karakter-karakter kesempurnaan dan pertumbuhan yang dimiliki oleh janin
manusia. Sesungguhnya janin manusia dibekali dengan karakter-karakter khusus
agar mampu menempuh jalannya di kemudian hari. Dia diciptakan dalam bentuk
lain, pada akhir fase janin. Sementara janin hewan berhenti di jenjang
pertumbuhan hewan karena ia tidak memiliki karakter-karakter tersebut. Oleh
karena itu, hewan tidak mungkin melampaui batas tingkat kebinatangannya,
kemudian ia meningkat berangsur-angsur menjadi manusia, sebagaimana yang
dinyatakan oleh teori Darwin.
Manusia dan hewan adalah dua hakikat yang sangat berbeda. Keduanya
berbeda disebabkan oleh roh yang ditiupkan oleh Allah yang menyebabkan saripati
dari tanah itu menjadi manusia. Keduanya juga berbeda disebabkan oleh
karakter-karakter khusus yang tumbuh dari tiupan roh itu yang menyebabkan janin
manusia menjadi “ciptaan dalam bentuk lain”.
6.
Analisa
Ayat
Dalam ayat 14 dijelaskan bahwa segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Dalam
penelitian baru di bidang embriologi, tidak ditemukan sel-sel pembentuk daging
sebelum sel-sel pembentuk tulang ada. Maka dari itu para embriolog enggan
mengartikan علقة dengan segumpal darah, namun
mengartikannya sebagai suatu benda yang menggantung di rahim yang kemudian
menjadi sel-sel tulang. Setelah sel-sel tulang itu terbentuk menjadi susunan
tulang, baru sel-sel daging muncul untuk membungkus susunan tulang tersebut. Wallahu
a’lam.
7.
Hikmah/Pelajaran
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari tanah, dan setelah beberapa fase sehingga sempurna kejadiannya,
dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (Q.S. 38:71-72).
Dari sini jelas bahwa manusia
terdiri dari dua unsur pokok yaitu gumpalan tanah dan hembusan ruh. Ia adalah
kesatuan dari kedua unsur tersebut yang tidak dapat dipisahkan. Bila dipisah,
maka ia bukan lagi manusia, sebagaimana halnya air, yang merupakan perpaduan
antara oksigen dan hidrogen, dalam kadar-kadar tertentu bila salah satu di
antaranya terpisah, maka ia bukan lagi air.
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia
yang mempunyai tubuh sempurna berasal dari saripati tanah. Maka tidak
selayaknya bagi manusia untuk berbangga hati terhadap makhluk lainnya dengan
segala kelebihan dan kekurangannya.
B.
KEDUDUKAN
MANUSIA
1. Teks ayat dan terjemah
والتين و الزيتون (1) وطورسينين (2) وهذ البلد الأمين (3) لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقويم (4) ثم رددناه أسفل سافلين (5) إلا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات فلهم أجرغير ممنون (5)
Artinya:
1.
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun[1587],2. Dan demi bukit Sinai[1588],3. Dan
demi kota (Mekah) ini yang aman,4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya .5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka),6. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (Q.S. At-Tiin,
95:1-6)
2.
Tafsir
mufrodat/ kalimat kunci
والتين : “demi tiin,” Di
sini, para ahli tafsir masih berbeda pendapat dengan pendapat yang cukup
banyak. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan at-tiin di sini
adalah masjid Damaskus. Ada juga yang berpendapat, ia merupakan buah tin
itu sendiri. Juga ada yang menyatakan bahwa ia adalah gunung yang terdapat di
sana. Sedangkan al-Qurthubi mengatakan: "At-tiin adalah masjid
Ash-habul Kahfi." Dan diriwayatkan oleh al-'Aufi dari Ibnu 'Abbas bahwa at-tiin
adalah masjid Nuh yang terdapat di bukit al-Judi. Mujahid mengatakan: "la
adalah at-tiin kalian ini."
وَالزَّيْتُونِ "Dan
demi zaitun," Ka'ab
al-Ahbar, Qatadah, Ibnu Zaid, dan lain-lain mengatakan: "Yaitu masjid
Baitul Maqdis yang terdapat banyak tumbuhan Zaytun. Sementara Mujahid dan
'Ikrimah mengatakan: "Yaitu buah zaitun yang kalian peras."
وَطُورِ
سِينِينَ
"Dan demi bukit Sinai."
Ka'ab al-Ahbar dan lain-lain mengatakan: "Yaitu bukit di mana Allah
berbicara langsung dengan Nabi Musa as.
وَهَذَا
الْبَلَدِ الْأَمِينِ "Dan
demi kota ini yang aman."
Yakni, kota Mekkah. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu 'Abbas, Mujahid,
'Ikrimah, al-Hasan, Ibrahim an-Nakha'i, dan tidak ada perbedaan pendapat
mengenai masalah tersebut.
لَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya." Dan inilah yang menjadi obyek
sumpah, yaitu bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan manusia dalam wujud dan
bentuk yang sebaik-baiknya, dengan perawakan yang sempurna serta beranggotakan
badan yang normal sehingga bisa menempati posisi tertinggi dengan segala
potensi yang ia miliki.
ثُمَّ
رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ "Kemudian Kami kembalikan dia ke
tempat yang serendah-rendahnya." Yakni ke Neraka. Demikian yang
dikemukakan oleh Mujahid, Abul ‘Aliyah, al-Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lain.
Kemudian setelah penciptaan yang baik dan potensi yang menakjubkan itu, mereka
akan diseret ke Neraka jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti
para Rasul. Maka dari itu, Dia berfirman:
إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ "Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih." Dan firman-Nya, (فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ) "Maka bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya." Yakni, tiada putus-putusnya, selalu bersambung.
3.
Analisa
nahwu
Dalam awal ayat 1-3, Allah memulai dengan huruf و yang dinamakan wawu
qasam yang berfungsi sebagai sumpah, dalam hal ini untuk menunjukkan
keagungan penciptaan manusia.
Kemudian pada ayat keempat Allah memakai huruf lam qasam/taukid dan
huruf qad litahqiq yang berfaedah taukid sebagai kesungguhan dari
sumpah-Nya dalam menciptakan manusia dengan sebagus-bagus bentuk/rupa.
4.
Syarah
penjelasan ayat
Surah
At-Tiin adalah surah yang ke-95 di dalam mushaf Al-Qur’an. Surah ini
diwahyukan di Makkah, sebagai wahyu yang ke-28, turun sesudah Surah Al-Buruuj
dan sebelum Surah Al-Quraisy. Surah ini terdiri atas 8 ayat.
Gunung Sinai adalah gunung
tempat ketika nabi Musa as. berbicara kepada Allah. Sedangkan kota yang aman adalah
kota Mekkah Baytullah al-Haram. Hubungan antara gunung Sinai dan kota
Mekkah ini dengan urusan agama dan iman sangat jelas. Adapun hubungan dengan tiin
dan zaytun tidak jelas bagi kita bayangannya.
Mereka yang berpendapat bahwa ayat pertama bermakna tumbuhan atau
buah tertentu, cenderung mengaitkan sumpah ini dengan ayat keempat yang
menyatakan bahwa manusia telah diciptakan Allah dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Menurut mereka, Allah bersumpah dengan menggunakan nama
tumbuhan atau buah yang memiliki banyak manfaat, sebagai isyarat bahwa manusia
yang diciptakan Allah itu juga mempunyai potensi untuk dapat memberi manfaat
sebagaimana halnya dengan tumbuhan atau buah tersebut. Jika ia memanfaatkan
potensinya, maka tentulah ia akan memberikan banyak manfaat sebagai mana pohon tiin
dan zaitun.
5.
Pokok
kandungan ayat
Hakikat pokok yang dipaparkan surah
ini adalah hakikat fitrah yang lurus yang Allah menciptakan manusia atas fitrah
ini. Istiqomah tabiatnya bersama tabiat iman, dan sampainya fitrah itu bersama iman
kepada kesempuranaannya yang ditakdirkan untuknya. Hakikat tentang jatuhnya
manusia dan kerendahannya yaitu ketika ia menyimpang dari fitrah yang benar dan
iman yang lurus.
Allah swt. Bersumpah atas hakikat
ini dengan tiin dan zaitun, gunung Sinai, dan kota Mekkah yang aman.
Sumpah ini, sebagaimana banyak kita jumpai dalam juz ini (30) merupakan bingkai
yang memuat hakikat tersebut. Kita lihat dalam surah-surah yang serupa bahwa
bingkai ini selaras dengan hakikat yang dikandungnya.
6.
Analisa
ayat
Hubungan ayat pertama dengan ayat
keempat seperti dikemukakan di atas, walau kelihatannya dapat diterima tetap
tidak dapat memuaskan banyak pakar. Karena, kata mereka, apa hubungan antara
ayat pertama, kedua, dan ketiga? Apa hubungan antara buah tiin dan zaytun
dengan Sinai dan Mekkah? Hubungan tersebut baru nyata apabila
kata tiin dan zaytun dipahami sebagai tempat-tempat suci di mana
para utusan Tuhan memperoleh petunjuk-Nya.
7.
Hikmah/pelajaran
Di lain ayat, dijelaskan bahwa sebelum diciptakannya manusia, Tuhan
telah menyampaikan rencana penciptaan ini kepada malaikat, yaitu agar makhluk
ini menjadi khalifah (kuasa atau wakil) Tuhan di bumi (Q.S. 2:30). Dari
sini jelas pula bahwa hakikat wujud manusia dalam kehidupan ini adalah
melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu membangun dan mengolah dunia ini sesuai
dengan kehendak Ilahi. Karenanya, ditetapkanlah tujuan hidupnya, yaitu mengabdi
kepada Allah (Q.S. 51:56).
Manusia menurut al-Qur’an, memenuhi kebutuhan hidupnya yang
bersumber dari gumpalan darah tersebut, memenuhinya ala manusia, bukan ala
binatang. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhaniah pun ala
manusia bukan ala malaikat. Sebab kalau tidak, ia akan menjadi binatang atau
malaikat, yang keduanya akan membawa ia jauh dari hakikat kemanusiaannya.
Ketika manusia yang disebut sebagai makhluk yang sebagus-bagusnya
bentuk tetap berada pada garis aturan Ilahi, yaitu selalu melakukan semua
perintah Tuhannya dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Tuhannya, maka ia
akan memperoleh pahala yang tiada putus-putusnya.
Sebaliknya, ketika ia sudah melenceng keluar jalur dari garis
aturan Allah, yaitu tidak lagi mengindahkan segala perintah-Nya dan menjalani
semua larangan-Nya, maka ia akan direndahkan serendah-rendahnya tempat oleh
Allah swt., yaitu di neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
tulisan-tulisan yang dikemukakan di atas memberikan gambaran tentang sebagian
dari keistimewaan manusia, sebagaimana ia menggambarkan potensi dan kemampuan
yang dimilikinya. Berbarengan dengan kesanggupan atau kemampuan tersebut,
manusia menunjukkan dengan diakui maupun tidak, ketidakmampuannya yang berarti
keterbatasannya.
Keterbatasan
manusia ini memaksanya untuk berpikir tentang dirinya sendiri dalam berhadapan
dengan suatu kekuatan yang supernatural yang tak terbatas, yang mengatur
alam ini dengan segala isinya, termasuk manusia sendiri. Bahkan ia bukan saja
menghadapkan diri kepada superpower tersebut, tetapi juga menyerahkan
diri dan mengaguminya. Dengan demikian hidup manusia selalu diliputi oleh
suasana religius (suasana percaya) dan patuh kepada kekuatan supernatural
tersebut yang kita namakan Tuhan.
Dan
apabila manusia tersebut tidak patuh terhadap kekuatan supernatural itu,
maka ia akan ditempatkan di tempat yang paling rendah di kehidupan berikutnya. Bahkan
lebih rendah daripada binatang. Wallahu a’lam bish-showab.
DAFTAR
PUSTAKA
Katsir,
Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I,
2005.
Maraghi
al-, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Mesir: al-Halabiy, 1946.
Qur’an al-, dan terjemahannya, Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsir al-Qur’an, Departemen Agama
Republik Indonesia, 1967.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di
Bawah Naungan al-Qur’an Jilid 8, tim penerjemah,
Jakarta:Gema Insani Press,2004.
Shiddieqy ash-, T.M. Hasbi, Tafsir
al-Qur’anul Majid An-Nuur, Cet.ke-2, Semarang:Pustaka Rizki, 2000.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah volume
9, Jakarta: Lentera hati, 2002.
No comments:
Post a Comment