SEJARAH PENCINTA ALAM INDONESIA
Kapan kegiatan pencinta alam secara resmi mulai di
Indonesia? Benarkah perkumpulan pencinta alam pertama di Indonesia didirikan
pada tahun 1964 di Bandung dan Jakarta?
Pada
mulanya penulis mengira perkumpulan pencinta alam atau yang sekarang lebih
sering ditulis pecinta alam dengan menghilangkan tambahan huruf “n” (karena
makna pencinta dinilai negatif oleh sebagian kalangan) didirikan pertama kali
di Jakarta oleh MAPALA UI atas inisiatif Soe Hok Gie dan beberapa
teman-temannya sesama penggiat alam. Selang beberapa bulan kemudian, di Bandung
pun menyusul perkumpulan pencinta alam “WANADRI” pada tahun yang sama, 1964.
Namun
penulis tercengang ketika membaca buku “Norman Edwin (MAPALA UI), Catatan
Sahabat Sang Alam”. Sebuah buku yang berisi kumpulan artikel yang ditulis Norman
berdasarkan pengalamannya ketika beraktifitas di alam terbuka pada dekade ’80-an
sampai awal ’90-an. Di buku tersebut terdapat sebuah artikel yang dimuat di
majalah Mutiara edisi 323, 20 Juni – 3 Juli 1984 yang berjudul ‘Awibowo,
“Biang” Pencinta Alam Indonesia.’
Awibowo
adalah seorang pendiri dari suatu perkumpulan pencinta alam di negeri ini.
Ketika itu Norman beruntung bisa berkunjung ke kediaman kakek tersebut di
Yogyakarta dan mewawancarainya secara langsung. Awibowo pun sempat
memperlihatkan kepada Norman kartu anggota dan buku kecil Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga perkumpulannya. Perkumpulan “Pentjinta Alam” (PPA) demikian
nama organisasi ini, tepatnya didirikan tanggal 18 Oktober 1953. “Selesai
revolusi, kami ingin mengisi kemerdekaan ini dengan kecintaan terhadap negeri
ini, itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya” cerita Awibowo saat itu.
Waktu
itu, Awibowo baru saja menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia di
Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor). Bersama beberapa rekannya Awibowo berkumpul untuk
mendirikan suatu perkumpulan yang bergerak dengan kegiatan-kegiatan di alam
terbuka.
“Kami
ramai berdiskusi soal istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan
itu,” cerita Awibowo. Ada yang mengusulkan untuk memakai istilah “Penggemar
Alam” atau “Pesuka Alam”. “Tapi saya mengusulkan istilah “Pentjinta Alam”,
karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka,” tutur Awibowo
melanjutkan cerita kepada Norman. Menurut Awibowo gemar atau suka mengandung
makna eksploitasi belaka, tetapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah
kita dituntut untuk mengabdi negeri ini?” Tanya Awibowo.
Perkumpulan Pencinta Alam
Akhirnya
istilah “Pentjinta Alam” diterima. Dalam kartu anggota mereka tertulis: “PPA (Perkumpulan Pentjinta Alam) adalah perkumpulan kesukaan (hobby).”
Selanjutnya tertulis: “Hobby diartikan
suatu kesukaan jang positif serta
sutji, lepas dan sutji dari “sifat maniak” jang semata-mata melepaskan nafsunya dalam tjorak negatief.
Dalam
Anggaran Dasar perkumpulan tertua ini, dijelaskan bahwa tujuan mereka adalah: Memperluas serta mempertinggi rasa tjinta
terhadap alam seisinja dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat
oemoemnja. Untuk mencapai tujuan tersebut, perkumpulan ini mengadakan
beberapa usaha, yaitu ceramah-ceramah, penerbitan majalah, wisata alam, dan
pertunjukan film tentang lingkungan alam. Waktu itu mereka membuatnya dengan
iuran-iuran anggotanya tanpa sponsor seperti jaman sekarang.
Salah
satu kegiatan besar yang mengesankan bagi Awibowo yang pernah dilakukan PPA
adalah pameran pada tahun 1954 dalam rangka peringatan hari lahir kota
Yogyakarta dengan membuat taman dan memamerkan foto-foto kegiatan perkumpulan.
Perkumpulan
“Pentjinta Alam” berkembang pesat. Dari jumlah hanya berapa orang, tidak lama
kemudian anggota-anggota mereka bertambah. Bukan cuma dari Yogyakarta,
melainkan juga dari kota-kota lain, seperti Jakarta dan Padang. Hingga bubarnya
perkumpulan ini tercatat sekitar enam ratus orang.
Namun
sayang perkumpulan ini tidak berumur panjang karena suasana negeri yang tidak
mendukung pada saat itu. Situasi politik pada saat itu yang diwarnai oleh
komunis menjadi salah satu sebab tidak berjalannya roda organisasi. Akhir tahun
1950, perkumpulan “Pentjinta Alam” tak
terdengar lagi namanya.
Di
usianya yang lanjut, Awibowo ikut mengelola beberapa taman serta kursus-kursus
pertamanan dengan anak-anaknya. Kata-kata mutiara beliau yang terkenal: “Bila
ingin hidup senang sehari, makanlah. Bila ingin hidup senang sebulan,
menikahlah. Tapi, bila ingin hidup sejahtera selamanya….buatlah taman!”
Pesannya
untuk para pencinta alam muda, “Terima kasih, kalian telah ikut menyuburkan
benih-benih cinta alam yang kami taburkan dahulu. Jangan hanya berpartisipasi,
tetapi berikan dedikasi yang murni kepada alam!”.
Inilah
wawancara singkat antara Norman yang saat itu menjadi reporter majalah Mutiara
dengan Awibowo, perintis dari perkumpulan pencinta alam pertama di Indonesia.
Mereka telah menanamkan benih-benih cinta alam kepada bangsa Indonesia. Mereka
berdua sudah lama dipanggil oleh Tuhan semesta alam. Selayaknya kita sebagai
generasi penerus bangsa ikut serta dalam menyuburkan benih-benih cinta alam
yang sudah mereka tanam. (Anamko/SPECTA)
No comments:
Post a Comment