Oleh: Arif Purnama Putra
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2011
KH. Misbah
adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren al-Balagh, Bangilan, Tuban, Jatim. Ia
dilahirkan di pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di kampung Sawahan, Gang
Palem, Rembang tahun 1916 dengan nama Masruh. Ia lahir dari pasangan keluarga
H. Zaenal Musthafa dan Khadijah. Ayahnya dikenal masyarakat sebagai orang yang
taat beragama, di samping sebagai pedagang yang sukses dalam usaha menjual
batik-batik yang berkualitas. Oleh karena itu, keluarga Masruh dikenal sebagai
keluarga yang cukup berada secara ekonomi untuk ukuran saat itu, di saat
ekonomi Indonesia umumnya sangat memperihatinkan sebagai dampak adanya
imperialisme politik dan ekonomi pihak penjajah. Keberangkatan Masruh bersama
orangtua dan seluruh anggota keluarga menunaikan ibadah haji merupakan
Indikator yang menunjukkan kemampuan ekonomi orangtuanya. Sepulangnya dari
menunaikan ibadah haji tersebut, Masruh kemudian mengganti namanya dengan
Misbah Musthafa.[1]
Misbah memiliki 4 saudara, yaitu Zuhdi, Maskanah, Bisri dan terakhir Misbah sendiri. Zuhdi dan Maskanah adalah putra dariistri H. Zaenal yang pertama bernama Dakilah. Dengan kata lain Ibu Misbah yang bernama Khadidjah adalah istri kedua dari H.Zaenal.[2]
Saat ayahnya
meninggal, usia Misbah terhitung masih remaja. Misbah bersama
saudara-saudaranya yang lain kemudian diasuh oleh kakak tirinya yang bernama
Zuhdi. Oleh karena itu, meskipun orangtua Misbah “berada” tetapi Misbah sudah mengalami
hidup yang memprihatinkan sejak ditinggal ayahnya. Inilah salah satu motivasi
Misbah untuk selalu menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kuning bahkan sejak
dia masih berada di Pondok Pesantren. Hasil karangan dan terjemahannya kemudian
ia jual untuk memenuhi kebutuhan atau biaya hidup selama belajar di Pondok
Pesantren. Tradisi inilah kemudian ia kembangkan hingga wafatnya. Tidak ada
waktu luang bagi Misbah kecuali ia manfaatkan untuk menulis dari tangannya
kemudian lahir karyakarya tulisan dan terjemahan kitab klasik yang sangat
banyak. Tradisi menulis ini yang dikembangkan oleh kakak kandungannya bernama
Bisri yang lebih dikenal dengan nama lengkap Bisri Musthafa pengarang Kitab Tafsir
al-Ibriz li Ma’rifati al-Qur'an al-Aziz.[3]
Meskipun
Misbah dan Bisri dilahirkan di daerah yang sama namun setelah menikah mereka
berpisah dan bertempat tinggal di daerah yang berbeda. Misbah pindah ke daerah
Bangilan, Tuban, Jatim. Setelah menikah pada usia 31 tahun dengan Masruhah
Putri dari KH. Ridhwan, seorang pengasuh Pondok Pesantren al-Balagh. Dari
hasil pernikahannya Misbah di karuniai 5 orang anak, yaitu Syamsiah, Hamnah,
Abdullah Badik, Muhammad Nafis, dan Ahmad Rofiq. Sementara itu Bisri
pindah ke Rembang setelah menikah dengan Marfu’ah putri dari KH. Kholil
Harun. Baik Misbah maupun Bisri kemudian diberi kepercayaan yang mengelola
Pondok Pesantren milik mertuanya karena kecerdasan dan kemampuan yang ia
miliki. Sebagai menantu dari seorang pengasuh Pondok Pesantren, Misbah
mula-mula hanya ikut membantu mengajar murid-murid di Pondok Pesantern itu, khususnya
mengajar kitab kuning dalam bidang kaedah bahasa Arab, tafsir hadits, fiqh dan
bidang-bidang yang lain. Namun setelah KH. Ridhwan meninggal semua kegiatan
Pondok Pesantren diserahkan kepada Misbah.[4]
Selain kegiatan mengajar, menulis dan
menerjemah kitab kuning Misbah juga aktif dalam kegiatan politik, motivasi
Misbah dalam berpolitik adalah untuk berdakwah melalui partai atau ormas.
Pertama Misbah aktif di Partai NU yang saat itu masih aktif dalam kegiatan
politik. Namun karena perbedaan persepsi tentang suatu masalah keagamaan atau
bukan masalah politik akhirnya Misbah keluar. Masalah tersebut terletak pada
perbedaan pandangan mengenai boleh tidaknya mendirikan BPR (Bank Perkreditan
Rakyat). Misbah menganggap BPR sebagai lembaga ekonomi yang mempraktekkan
institusi riba, sehingga Misbah menganggapnya haram. Sementara NU menganggap
bunga bank bukan sebagai riba sehingga tidak masalah seandainya NU mendirikannya.
Perbedaan pandangan ini merupakan salah satu pemicu keluarnya Misbah dari
Partai NU. (Misbah Musthafa, BPR NU dalam Tinjauan Al-Qur'an ,Tuban:
t.p., 1990, hlm. 12).[5]
Setelah keluar
dari Partai NU Misbah kemudian masuk lagi di Partai Masyumi, meskipun tidak
lama. Ia kemudian keluar dan masuk Partai PII (Partai Persatuan Indonesia).
Keikutsertaan Misbah di Partai PII juga tidak berlangsung lama karena Misbah kemudian
masuk Partai Golkar. Sebagaimana sebelumnya, partisipasi Misbah di partai itu
pun tidak berlangsung lama. Kemudian ia keluar dan berhenti dari kegiatan
berpolitik. Masuknya Misbah ke dalam beberapa partai bertujuan untuk berdakwah.
Oleh karena itu, Misbah sering berdiskusi dengan teman-teman dalam partainya
terutama masalah yang sedang tren di masyarakat. Masuknya Misbah dari satu
partai ke partai lain karena Misbah merasa bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan
pendapat yang dianut oleh orang-orang yang duduk di masingmasing partai.
Sebagai seorang yang kuat pendiriannya dalam menghadapi perbedaan pendapat,
lebih baik Misbah keluar dari satu partai dan memilih mempertahankan
pendapatnya itu. Setelah pensiun dari parpol, Misbah kemudian banyak menghabiskan
untuk mengarang dan menerjemahkan kitab-kitab ulama salaf karena menurutnya
bahwa dakwah yang paling efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan apapun
adalah dengan menulis, mengarang, dan menerjemah kitab.[6]
Latar belakang
intelektual Misbah dimulai ketika ia mengikuti pendidikan sekolah dasar yang
saat itu diberi nama SR (Sekolah Rakyat) pada usianya yang baru menginjak 6
tahun. Setelah menyelesaikan studinya Misbah kemudian melanjutkan pendidikan di
PonPes Kasingan Rembang pimpinan KH. Khalil bin Harun pada tahun 1928 M.
Orientasi pendidikan Misbah difokuskan untuk mempelajari ilmu gramatika bahasa
Arab yang lebih dikenal dengan nama nahwu sharaf, buku-buku yang cukup familier
bagi Misbah antara lain; Kitab al-Jurumiyah. Al-Imriti dan alfiyah. Bahkan pada
usianya yang muda Misbah berhasil mengkhatamkan alfiyah sebanyak 17 kali. Hal
ini menunjukkan keseriusan dan ketekunan Misbah dalam mempelajari nahwu sharaf.
Setelah merasa paham dan matang Misbah kemudian mengkaji “Kitab Kuning” dalam
berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, hadits,
tafsir, dan lain-lain.[7]
Selain menimba ilmu pada KH Kholil, ia juga mengkaji
ilmu-ilmu agama kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk mempelajari kitab kuning.
Kemudian pada tahun 1948, Misbah menikah dengan Masruhah dan pindah ke Bangilan
Tuban, sekaligus membantu mengajar di Ponpes yang dipimpin mertuanya itu. Sudah
menjadi sebuah tradisi saat itu, ketika santri (siswa PonPes) yang cukup
menonjol secara intelektual akan “diperebutkan” untuk dinikahkan dengan putri
kyai pengasuh PonPes. Motivasi ini pula yang melatarbelakangi keinginan KH. Ridhwan
untuk menikahkan anaknya dengan Misbah. KH. Ridhwan telah melihat potensi
Misbah dalam bidang akademik selain kecerdasan yang dimilikinya. Oleh karena
itu, setiap ilmu yang diajarkan dengan cepat ia serap. Karena potensinya itu,
KH. Ridhwan mengharapkan Misbah untuk mengurus PonPes “al-Balagh” yang ia
pimpin manakala ia belum meninggal dunia. Pada awalnya Misbah merasa keberatan
atas tawaran yang diberikan KH. Ridhwan untuk mengelola PonPes al-Balagh, namun
karena keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya, Misbah akhirnya terpacu untuk
mempelajari kitab kuning sendiri dengan bekal yang diperoleh ketika belajar di
PonPes Kasingan bersama KH. Kholil maupun PonPes Jombang bersama KH. Hasyim
Asy’ari.[8]
Semua materi pelajaran yang diterima
Misbah, dipelajari dengan sungguh-sungguh sampai memahaminya. Motivasi Misbah dalam
mempelajari ilmu-ilmu keagamaan berdasarkan pemahamannya terhadap salah satu
ayat al-Qur'an yang mengatakan bahwa setiap orang yang menginginkan sesuatu di dunia,
maka Allah akan memberikannya dan begitu pula apabila orang menginginkan
akhirat pasti Allah akan memberinya. Dengan semangat tersebut Misbah merasa
yakin bahwa dengan mempelajari ilmu dunia secara sunggun-sungguh maka Allah
akan memberi kemudahan kepadanya. Setelah mempelajari aneka ragam disiplin
ilmu-ilmu keagamaan melalui sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning,
Misbah pun kemudian bermaksud mempelajari ilmu-ilmu agama melalui penelaahan
langsung terhadap sumber primer yang berupa al-Qur'an. Dengan memahami langsung
ayat-ayat al-Qur'an Misbah semakin yakin terhadap pengetahuan yang dimilikinya.
Kemudian pengetahuan tentang berbagai aspek ajaran Islam ini mendorongnya untuk
hidup sesuai dengan ajaran tersebut. Dari situ kemudian Misbah sering berdakwah
dalam satu kampung ke kampung lain untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan
kata lain Misbah adalah seorang mubaligh yang cukup populer saat itu. [9]
Bukan hanya itu, Misbah juga seorang
qori yang pandai dalam melagukan bacaan al-Qur'an. Sebelum Misbah tampil untuk berdakwah
dan berceramah seringkali Misbah tampil sebagai qori, dengan kata lain dalam
satu acara tertentu seringkali Misbah tampil sebagai qori sekaligus sebagai
mubaligh. Dari hasil pengamatan dan perjalanannya dari kampung ke kampung,
Misbah melihat banyak sekali perilaku masyarakat yang menyimpang dari
ajaran-ajaran al-Qur'an dan hadits. Hal ini mendorong Misbah untuk memberikan
bimbingan kepada masyarakat tentang pemahaman ayat-ayat al-Qur'an agar mereka mengerti
ajaran al-Qur'an sehingga perilaku mereka tidak menyimpang. Latar belakang ini
kemudian memotivasi Misbah untuk menafsirkan al-Qur'an dalam sebuah kitab yang
kemudian diberi nama Taj al-Muslim dalam kitab tafsir ini kita dapat
melihat bahwa Misbah memiliki kepribadian yang sangat kuat dalam memegang
sebuah pendapat berdasarkan pemahamannya terhadap al-Qur'an. Meskipun pendapat
yang ia kemukakan tidak sejalan dengan pandangan umum, ia tetap berpegang pada
pendiriannya karena ia berkeyakinan bahwa pendapat yang ia kemukakan sesuai dengan
al-Qur'an dan hadits.
B.
Karya-karya KH. Misbah bin Zaenal Musthafa
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Misbah Musthafa memiliki
kualitas keilmuan yang sangat meonjol karena ingatannya yang cukup tajam,
ditunjang dengan keseriusan dalam mempelajari kitab-kitab klasik serta memahami
dan menghafal al-Qur'an dan hadits. Dari hasil kajiannya Misbah memperoleh landasan
intelektual untuk menyelesaikan masalah berdasarkan sumber yang ia peroleh dari
al-Qur'an, hadits, dan pendapat ulama 1 Wawancara dengan Putra ke-4 KH. Misbah
tanggal 11 Mei 2006 di Bangilan Tuban. salaf. Bagaimanapun kesimpulannya Misbah
tidak memperdulikan apakah orang-orang akan mendukung atau menolaknya. Keseriusan
Misbah dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan kemudian diwujudkan dengan banyak menerjemahkan
kitab-kitab klasik atau kitab-kitab keagamaan. Sekitar puluhan atau bahkan
ratusan yang ditulisnya, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqh, akhlak,
balaghah, kaidah bahasa Arab, dan lain-lain antara lain:[10]
1.
Dalam bidang fiqh
a.
Al-Muhadzab terjemahan
dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya.
b.
Minhajul Abidin terjemahan
dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya,
c.
Masail al-Faraid dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya.
2.
Dalam bidang kaidah bahasa
Arab (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah)
a.
Alfiyah Kubra dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya.
b.
Nadham Maksud dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya.
c.
Nadham Imrithi dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya.
3.
Dalam bidang tafsir
a.
Taj al-Muslimin Juz
I, II, III dan IV penerbit Majlis Ta’lif wa al-Khatath, Bangilan Tuban.
b.
Tafsir Jalalain terjemahan
bahasa Indonesia penerbit Assegaf Surabaya.
c.
Tafsir Jalalain terjemahan
bahasa Jawa penerbit Assegaf Surabaya.
d.
Tafsir al-Iklil fi
Ma’ani al-Tanzil dalam bahasa Jawa dengan penerbit al Ihsan Surabaya.
e.
Tafsir surat Yasin yang
ditulis dengan bahasa Jawa.
4.
Dalam bidang hadits
a.
Al-Jami al-Saghir terjemahan
dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya.
b.
Al-Jami al-Saghir terjemahan
dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya.
c.
Tiga Ratus Hadits dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Bina Ilmu Surabaya.
5.
Dalam bidang akhlak-tasawuf
a.
Al-Hikam terjemahan
bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya.
b.
Adzkiya dalam bahasa
Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya.
c.
Adzkiya dalam bahasa
Indonesia dengan penerbit Assegaf Surabaya.
6.
Dalam bidang kalam (Teologi)
a.
Tijan al-Darori terjemahan
dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya.
b.
Syu’b al-Imam dalam
bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya.
7.
Dalam bidang yang lain
a.
Nur al-Yaqin terjemahan
dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya.
b.
Minhat al-Rahman dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Menara Kudus.
c.
Khutbah Jumat dalam
bahasa Jawa dengan penerbit Karya Abadi Surabaya.
C.
Latar Belakang Penulisan
KH. Misbah
bin Zainil Musthafa menulis kitab tafsir al-Iklil menerangkan setiap orang
Islam wajib mengakui bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci dari Allah
yang wajib dijadikan tuntunan hidup oleh setiap hamba-Nya yang ada di bumi ini,
dengan artian al-Qur’an menjadi imamnya (pembimbing). Orang Islam tidak boleh hidup
sebagaimana hidupnya orang Kafir, Hindu, Budha atau Agama-agama lainnya. Akan
tetapi harus hidup dengan tuntunan al-Qur’an, karenahal yang demikian sangat sulit
mendapatkan satu dari sejuta orang yang menjadikan al-Qur’an sebagai tuntunan hidupnya
secara utuh.
D.
Metode penulisan
Terdapat 3 bentuk sistematika penulisan tafsir
al-Iklil diantaranya:
1.
Penulisan Ayat al qur’an dengan
tarjemahan bahasa jawa menggunakan aksara pegon.
2.
Menerangkan setiap detail
makna yang dikandung sebuahayat.
3.
Mengulang penjelasan makna penting
yang terkandung oleh ayat di akhir pembahasan.
E.
Metodologi penafsiran dan coraknya
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an KH. Misbah bin Zainil Musthafa menerangkan
ayat demi ayat secara terperinci, lugas dan
tidak bertele-tele sehingga sangat tepat di konsumsi untuk kalangan awam
padaumumnya dan kalangan pesantren khususnya. Melihat cara penafsiran yang
dugunakan penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Iklil menggunakan metode penafsiran
secara tahlili. Kemudian dalam menafsirkan ayat penulis menilai penguasaan
bahasa Arab yang cukup baik, hal ini di dukung dengan uraian makna kata pada aspek
nahwu dan shorof, sehingga baik terjemah maupun penafsiran yang diberikan tidak
keluar jauh dari makna sesungguhnya.
Buku ini terdiri dari 30 jilid, pemisahannya berbatas pada jus
dalamal-Qur’an. Mengawali penjelasan dalam setiap surat pengarang tidak memberikan
sebuah pengantar yang berisigambaransecaraumumsuatuayattersebut.
Penguasaan bahasa yang menonjol pada penafsiran ayat, disamping terkait dengan
fikih, dan corak adabi al-Istima’I, lebih didominasi pada bahasa.
F.
Contoh penafsiran
الم (1) ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين
(2)
Utawi kitab qur’an iku kitab kang penting, Tur ora’
ono’ mamang ing dalem qur’an tur dadi pitutuh marang wong kang arep ati-ati kabeh
الذين
يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقناهم ينفقون (3)
Wong kang podo percoyo, sopo alladzina kelawan kahenan
samar lan podo jenengake sopo alladzina, ingsholat lan saking opo wae, kang maringi
ingsun ing alladzinat
podo miwaheake.
يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالأخرة هم يوقنون (4)
Sopo alladzina lan wong, kang podo percoyo
sopo alladzina kelawan opo, kang diturunake maring sira lan opo, kang di
turunakiopo ma indelem sadurungi siro
Lan kelawan akherat öUtawi alladzina, iku podo
ngyakinake sopo alladzina.
أولىئك على هدى من ربهم و أولىئك هم المفلحون (5)
Utawi alladzina, iku tetepi ngatasi pitutuh, kang tetep
saking pangeran ialladzina, lan utawi alladzina, iyo alladzina, iku wong kang bejjo-bejj
okabeh.
a.
Dalam menafsirkan 5 ayat pertama
surat al baqarah.
Kyai Misbah memulainya dengan menafsirkan aya
muqata’ah “الم”. Beliau menafsirkan ayat ini dengan menggunakan perumpamaan kode
yang berada dalam surat pemerintahan (No. 10/A/II/C), yang konon menurut beliau
merupakan kode rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dalam dunia
tulis menulis surat dalam dunia pemerintahan. Selain itu maksud dari kode tersebut
juga dilarang untuk di sebarluaskan. Ayat muqoto’ah di atas, mempunyai filosofi
yang sama dengan dengan kode di atas, sehingga menurut kyai Misbah ayat-ayat tersebut
hanya akan diketahui oleh allah, nabi Muhammad dan para kekasih Allah.
b.
Tafsir Ayat ke dua,
Bagi orang yang ingin hidup hati-hati Kitab
al qur’an adalah kitab yang penting dan sempurna. Selain itu al qur’an merupakan
petunjuk bagi jalan hidup mereka. Ada yang menarik ketika kyai Misbah menafsirkan
kalimat “al muttaqin” dalam ayat kedua ini, yang mana beliau mempunyai pengertian
berbeda dengan ulama’ tafsir Indonesia berbahasa jawa sebelumnya tentang kalimat
ini. Seperti tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa bahwa “al muttaqin” di
artikan “semua orang hendak bertaqwa”.[11] Sebagaimana
disebutkan di awal paragraph beliau menafsirkan kata “al muttaqin” dengan arti
“orang yang ingin hidup berhati-hati (taqwa). Beliau menghindari mengartikan kalimat
tersebut dengan menggunakan arti “wong kang wis ngati-ngati” yang
artinya orang yang telah berhati-hati (orang yang telah bertaqwa) dengan alasan
bahwa orang yang demikian telah menjadikan al qur’an sebagai petunjuk dalam amaliyahnya
untuk itu secara otomatis tidak perlu untuk dibimbing oleh al qur’an lagi. Sebagai
penguat dari hujjah beliau, beliau mencantumkan sebuah kaedah “تحصيل الحاصل” yang artinya menghasilkan sesuatu yang telah
dihasilkan, penafsiran seperti ini menurut kyai Misbah tidak pantas untuk di jadikan
makna dari kalimat “al muttaqin” .[12]
c.
Tafsir ayat ketiga,
ciri-ciri orang yang bertaqwa.
Orang yang bertakwa ialah orang-orang
yang percaya kepada hal-hal yang samar, yang tidak bisa dilihat oleh mata
manusia. Seperti adanya surga, neraka dan lain-lainnya, selain itu mereka juga melaksakan
sholat sesuai dengan syarat, rukun dan etika shalat. Serta menafkahkan sebagian
harta yang telah aku(Allah) berikan kepada mereka.
d.
Ayat ke empat,
Dan mereka beriman (percaya)
kepada kitab yang diturunkan kepadamu Muhammad (Al qur’an) dan kitab-kitab yang
diturunkan sebelummu, seperti injil dan taurat, dan beriman (percaya) akan adanya
hari akhir atau kiamat.
Huruf wawu pada kalimat “والذين”
dalam ayat keempat di atas menunjukkan bahwa orang yang ingin hidup hati-hati
(bertaqwa) itu ada dua golongan. Pertama, orang yang awalnya musyrik kemudian
ia beriman kepada hal yang ghaib, dan seterusnya. Kedua, orang yahudi dan
nasrani yang awalnya beriman kepada taurat dan injil kemudian ia beriman kepada
al qur’an.
e.
Ayat ke lima,
Orang yang demikian itu, adalah
orang-orang yang dapat petunjuk dari tuhannya dan termasuk orang-orang
yang beruntung serta akan masuk surge dan selamat dari neraka.
Hudan artinya petunjuk, sebagaimana
dalam lafal hudan lilmuttaqien dan juga yang berarti pertolongan di mudahkan
dalam melakukan kebaikan dan perintah Allah ta’ala, seperti dalam firman ini‘alahudan
min robbihim.
DAFTAR PUSTAKA
Misbah Bin Zain Mustofa, Al
Iqlil Fi Ma’ani At Tanzil, (Surabaya : Al Ihsan, 1986), juz I, hal. 10
Mustofa, Bisri. Tafsir al-Ibriz fi Tafsir al-ur’an
al-Aziz. Kudus: Menara Kudus, jilid 1.
Ahmad
Syarofi, Penafsiran Sufi Surat al-Fatihah
Dalam Tafsir Tāj al-Muslimîn dan Tafsir al-Iklîl Karya kh. Misbah Musthofa,
(Skripsi) Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2008
[1] Ahmad
Syarofi, Penafsiran Sufi Surat al-Fatihah
Dalam Tafsir Tāj al-Muslimîn dan Tafsir al-Iklîl Karya kh. Misbah Musthofa,
(Skripsi) Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2008. Bab III..
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Mustofa,
Bisri. Tafsir al-Ibriz fi Tafsir al-ur’an al-Aziz. Kudus: Menara Kudus,
jilid 1.
[12] Misbah
Bin Zain Mustofa, Al Iqlil Fi Ma’ani At Tanzil, (Surabaya : Al Ihsan, 1986),
juz I, hal. 10
mencari kitab tafsirnya itu sendiri dimana ya?
ReplyDeletebanyak mas kalo untuk kitab tafsir al-Iklil dan al-Ibriz.,, kalo saya sendiri di Solo nyari di toko Dian, pasar Klewer...
ReplyDeletedi toko2 kitab pantura juga banyak, kendal=kaliwungu, pekalongan=asco, dll
assalamualaikum,, kitab taj al muslimin itu terjemahan tafsir apakah karya sendiri dari KH Misbah..?
ReplyDeletekitab taj al-muslimin itu terjemahan kitab apa karya sendiri dari KH Misbah,,?
ReplyDeletekarya sendiri dengan mengambil sumber dari penafsiran kitab-kitab timur tengah.
ReplyDeleteKarya dari KH. Misbah Musthofa dengan sumber kitab-kitab tafsir timur tengah..
ReplyDelete