TAFSIR
MTA
(Oleh: Abdul Azis)
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2010
A. Pendahuluan
Penyebaran Islam dari awal kemunculannya hingga saat ini, diyakini
tidak lepas dari sumber primer ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah,
sehingga sejarah Islam juga merupakan sejarah al-Qur’an. Sejarah al-Qur’an
dalam konteks yang paling sederhana di Indonesiea dapat ditelusuri sejarah
masuknya Islam di Indonesia.
Di Indonesia penulisan kitab tafsir telah dimulai sejak abad XVI
dan masih berlanjut hingga sekarang, setiap penafsiran dalam abad yang berbeda
akan menghasilkan corak penafsiran yang berbeda pula. Pada kesempatan ini,
pemakalah akan mencoba memabahas tentang tafsir MTA yang mencakup tentang
sejarah berdirinya MTA, latar belakang penulisan, dan sistematika, metode dan
corak penafsiran.
B. Pembahasan
1.
Sejarah Berdirinya MTA
Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan
dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum
Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972
dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan
nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.[1] MTA
berpusat di kota Surakarta, tepatnya di jalan Serayu No. 12 Semanggi, RT. 06,
RW. 15, Pasar Kliwon, Surakarta.
Almarhum Ust. Abdullah Thufail Saputra lahir sekitar tahun 1927 dan wafat
ketika tahun 1992. Beliau adalah murid ulama dari Yaman. Dimasanya, beliau
adalah mubaligh terkenal di Solo dan sekitarnya. Pada saat menghadapai
terror dari sisa-sisa G30S/PKI pada 1966, beliau terpilih menjadi ketua KKPI
(Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam) yang dibentuk oleh tujuh ormas pemuda Islam
Surakarta waktu itu.[2]
Latar belakang pendirian Majlis Tafsir Al-Qur’an adalah didasarkan
padakondisi umat Islam pada Akhir dekade tahun 1960-an dan awal dekade
tahun1970-an. Sampai dengan saat itu, umat Islam yang telah berjuang sejak
zamanBelanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi,
maupunkultural, justru semakin terpinggirkan. Ust. Abdullah Thufail Saputra,seorang
mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapatkesempatan untuk
berkeliling hampir keseluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya (sekarang
Papua).Melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang seperti itu, tidak lain
disebabkanumat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena,
sesuaidengan ucapan seorang ulama bahwa umat Islam tidak akan menjadi
baikkecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya,
yaituAl-Qur’an. Ust. Abdullah Thufail Saputrayakin bahwa umat
Islam Indonesiahanya akan dapat melakukan emansipasi di segala bidang apabila
umat IslamIndonesia mau kembali ke Al-Qur’an. Demikian, maka Ust. Abdullah
Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat
Islamkembali ke Al-Qur’an.
Berasal dari latar belakang pendirian sebagaimana di atas, maka tujuandidirikannya
MTA adalah untuk mengajak umat Islam kembali ke al-Qur’an.Sesuai dengan nama
dan tujuannya itu, maka pengkajian al-Qur’an dengantekanan pada pemahaman,
penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an menjadikegiatan utama MTA.[3]
Dalam rangka menghindari negative perception dari pihak
lain, ,aka MTA tidak dikehendaki menjadi lembaga yang illegal, tidak
dikehendaki menjadi ormas/parpol tersendiri ditengah-tengah ormah-ormas dan
parpol-parpol tertentu. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badan hukum yang
dipilih adalah yayasan. Oleh karena itu pada tanggal 24 januari tahun 1974, MTA
resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodioejo. Dengan
demikian dapat dipahami lebih jauh bahwa MTA bukan partai politik dan tidak
akan menjadi partai politik, bukan suatu golongan dan tidak akan menjadi suatu
golongan tersendiri dari umat Islam. Seluruh umat Islam digolongan dan partai
manapun adalah saudara. MTA berhadap saudara-saudara yang aktif di golongan dan
partai manapun hendaklah selalu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai way
of life, selalu menyuarakan Islam kepada manusia, menjalin Ukhuwah
Islamiyah, tanpa merasa lebih antara satu dengan yang lain. Kepada
saudara-saudara kami yang non muslim, kita bisa berdampingan, saling
hormat-menghormati tidak saling mencela dengan berbuat baik serta berlaku adil
selama mereka tidak memusuhi kita karena agama.
Pada tahun 2008 yang bertepatan dengan usianya yang ke 35, MTA yang berpusat di Surakarta telah
memiliki 29 perwakilan (tingkat kabupaten atau kota) dan 129 cabang (tingkat
kecamatan) yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia. Sampai saat ini, dengan
perkembangan MTA yang begitu pesat, pemakalah belum tahu tentang berapa jumlah
perwakilan dan cabang yang dimiliki MTA diseluruh Indonesia.
2.
Latar Belakang Penulisan
Pada mulanya, Gelombang VII malam Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA)
Pusat Surakarta, menerbitkan catatan tafsir gelombang VII malam, yang akan disajikan secara bertahap.
Sebagai tahap pertama dari penerbitan tersebut dapat disajikan catatan tafsir
ayat 1 sampai dengan ayat 39 Surat al-Baqoroh, yang telah didektekan oleh
al-Ustadz Abdullah Thufail Saputra sejak pertengahan tahun 1976.[4]
Catatan ini dimaksud untuk meningkatkan gairah belajar, mengkaji
kembali ayat demi ayat yang sudah diberikan untuk selanjutnya dapat diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Diterbitkan dalam jumlah yang sangat terbatas,
karena memang hanya untuk mencukupi kebutuhan gelombang.[5]
Dengan latar belakang tersebut, dapat ketahui bahwa tafsir ini hanya untuk kalangan MTA sendiri,
karena tidak diterbitkan dalam jumlah yang banyak. Meski demikian, untuk
mendapatkan tafsir ini kita bisa memesan di toko-toko buku tertentu, terutama
di daerah solo.
3.
Sistematika, Metode dan Corak Penafsiran
Pada cetakan kedua, yakni pada tahun 1981 tafsir ini diberi judul
“Catatan Tafsir al-Qur’an: Gelombang VII Malam Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) Pusat di Surakarta”. Pada
edisi ini tulisan ayat-ayatnya masih ditulismanual atau tulisan tangan. Dalam
tafsir ini, hanya berisi tafsir surat al-Baqarah ayat 1-39 dimana telah
disebutkan di atas bahwa tafsir ini merupakan rekaman ceramah Ust. Abdullah
Thufail Saputra.
Dalam melakukan penjilidan tafsir MTA edisi ini menggunakan jilidan
benang yang disusun berdasarkan satu kuras, satu kuras berisi sekitar 34 halaman. Dalam
penyusunannya terdapat salah tempat, dapat dilihat setelah halaman 2 seharusnya
adalah halaman 3 namun dalam edisi ini adalah halaman 25, yang seharusnya
halaman 25 malah halaman 3. Entah karena faktor kecerobohan atau faktor
kelalian, pemakalah belum menemukan jawabannya.
Kemudian, dari waktu kewaktu, terjadilah percetakan ulang terhadap
karya tafsir ini. Dengan desain sampul baru dan model penjilidan baru. Pada
cetakan yang baru ini ditambahkanal-Muyassardari
masing-masing ayat yang diuraikan tafsirnya untuk lebih memudahkan bagi kita
mengetahui arti perkalimat yang kita pelajari. Perbedaan selain adanya al-Muyassar,
ditambahkan juga tafsir surat al-Fatihah pada jilid satu yang digabungkan
dengan surat al-Baqarah ayat 1-39 yang termuat pada jilid I.
Adapun penafsiran MTA ini tidak terlepas dari ulama-ulama
terdahulu, ini terlihat pada tafsirnyayang juga menukil dari pendapat-pendapat ulama’ terdahulu. Diantaranya,
Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Thantawi, ar-Razi, Fahrurroazi, Tafsir Jalalain, Tafsir
Baidhawi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, bukan berarti bahwa pemikiran Abdullah Thufail
Saputra tidak ada dalam tafsirnya, ini membuktikan bahwa keluasan bacaan atau
referensi yang dimiliki. Disisi lain, hal ini juga menyebabkan pemakalah
kesulitan untuk melacak warna pemikiran yang terdapat dalam tafsir MTA ini.
Dalam penafsirannya, MTA terkadang melakukan penafisaran ayat satu
menguatkannya dengan ayat lain, terkadang dengan menggunakan Hadits, dan terkadang pula
menggunakan pendapat ulama.
Kitab tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sistem penulisannya adalah ayat
al-Qur’an ditulis lengkap, kemudian dibawahnya ditulis terjemahan perkalimat
dari ayat tersebut –penulisan dengan sistem ini ditemui pada cetakan yang
terbaru, soalnya pada cetakan lama belum menggunkan sistem terjemahan perkata-
kemudian dibawahnya dituliskan terjemahan secara keseluruhan ayat. Berikutnya
kemudian dituliskan penafsirannya. Dalam penafsirannya, terdapat juga analisisqira’at
untuk menjelaskan maksud ayat.[6]
Metode yang dipakai tafsir ini berbentuk tahlily. Menurut
pemakalah, tafsir ini termasuk dalam corak bahasa, karena dari ayat-ayat yang
ditafsirkan banyak teradapat menguraikan dari sisi bahasa.
Dalam menafsirkan, karya tafsir ini menggunakan metode ayat
al-Qur’an dan ayat al-Qur’an lain untuk menjelaskan kandungan suatu ayat
tertentu.
4.
Contoh Penafsiran[7]
Pemakalah akan memberi contoh surat al-Baqarah ayat 173 yang
membahas tentang makanan yang diharamkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
jenis makanan yang diharamkan menurut MTA. terjemahan:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (selain) nama Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpakasa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya, dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyanyang. (QS. Al-Baqarah: 173)
Uraian Tafsir surat al-Baqarah ayat 173:
Sebelum Allah menurunkan ayat tersebut yang teramasuk ayat
Madaniyah (ayat yang turun di Madinah) terlebih dahulu telah diturunkan pula
ayat yang semakna dengan ayat tersebut yakni di surat al-An’am ayat 145 dan
surat al-Nahl ayat 115 yang terjemahannya sebagai berikut:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An’am 145)
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa
memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nahl 115)
Begitu
pula Allah menurunkan ayat yang sama maksud dan golongannya dengan surat
al-Baqarah 173 diatas yakni ayat 3 surat al-Maidah:
diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah,
(QS. Al-Maidah: 3)
dari ayat ayat
diatas sangat jelas sekali apa-apa (makanan) yang diharamkan oleh Allah bagi
manusia, yaitu:
1.
Bangkai binatang
2.
Darah (yang mengalir) bukan darah yang ada kulit atau daging
binatang
3.
Babi (dagingnya, tulangnya, dan sebagainya)
4.
Bintatang yang halal diamakan, akan tetapi dismebelih bukan karena
Allah.
Menilik
ayat-ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang diharamkan oleh Allah
jika manusia memakannya hanya 4 macam tersebut di atas.
Oleh
sebab itu jangan ada manusia dimana saja dan kapan saja berani-berani menambah
dari yang 4 tersebut. Karena dengan tandas pula Allah menjelaskan bahwa
perincian itu adalah empat, seperti firman-Nya di surat al-Am’am ayat 119:
mengapa kamu
tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya? dan
Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan orang
lain dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(QS. Al-An’am: 119)
Akal
siapakah yang membenarkan penambahan dari yang 4 macam yang diaharamkan oleh
Allah, bagi manusia memakannya? Padahal yang diharamkan oleh Allah itupun
manusia boleh memakannya apabila dalam keadaaan terpaksa karena tiadanya
makanan lain umpamanya.
Kemudian perlu
diperhatikan pula ayat yang terjemahannya berikut ini:
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS. Al-Maidah: 87)
Begitu pula
hendaknya diperhatikan firman Allah:
dan janganlah
kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta
"Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
Tiadalah beruntung.(QS. Al-Nahl:
116)
Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah:
"Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan
saja terhadap Allah".
(QS. Yunus: 59)
Dan perhatikan
pula surat al-A’raf 32:
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang
yang mengetahui. (QS. Al-A’raf:
32)
Dan
masih beranikah manusia mengada-ngadakan atau berdusta atas nama Allah?
Perhatikanlah firman-firman Allah di bawah ini.
Maka siapakah
yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah atau
mendustakan ayat-ayat-Nya? (QS:
al-A’raf 37)
dan siapakah
yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap
Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu
tidak mendapat keberuntungan.
(QS. Al-An’am: 21)
dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah
atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada
diwahyukan sesuatupun kepadanya,(QS.
Al-An’am: 93)
Maka
siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap
Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-An’am: 144)
Dan
masih banyak ayat lain yang dikutip dalam tafsir MTA ini untuk
mendukung/menjelaskan uraian diatas.
Ada
juga sementara orang karena salah memahami ayat, hingga apa-apa yang dipandang
oleh manusia menjijikkan itu pun termasuk yang diharamkan oleh Allah mereka ini
mengetengahkan ayat 157 surat al-A’raf.4
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi
yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.(QS. Al-A’raf: 157)
Kalimat: “dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”
mereka mengartikan dengan apa-apa yang dipandang buruk oleh manusia. Kalau
orang Jawa Tengah ini umpamanya “Katak”. Karena katak itu menurut mereka adalah
menjijikkan (jember bahasa Jawa), maka katak itu haram.
Padahal tidak demikian, yang dimaksud ath-Thoyyibat adalah
barang-barang/makanan-makanan yang dihalalkan, sedang al-Khobaits
ialah: makanan-makanan yang diharamkan.
Dan Allah telah memperinci yang haram bagi manusia makanannya
adalah hanya empat. Lagi pula kalau orang Jateng menganggap katak itu haram
karena menjijikkan. Mungkin, anggapan semacam itu hanya oleh sebagian saja dari
penduduk Jateng dan sebagian yang lain mengatakan katak itu lebih enak daripada
daging ayam. Sealin dari itu apa yang dianggap oleh sebagian orang di daerahnya
sesuatu yang disukai. Sedang agama Islam ini adalah untuk segenap manusia di
serata bumi raya. Maka kalau pendapat semacam itu diperturutkan. Mungkin akan
terjadi demikian: katak di Jawa Tengah menjijikkan maka haram hukumnya, tetapi
karena katak dinegeri Cina dianggap makanan enak, maka disana halal hukumnya.
Jadi katak itu ya hala ya haram tergantung pada selera manusia. Yang demikian
ini berarti agama yang tidak karu-karuan, bukan tuntunan Allah yang harus
diikuti oleh manusia, tetapi selera manusia dimenangkan dari pada ketentuan
Allah.
Wal hasil yang haram itu hanya empat macam. Apakah sesuai dengan
selera manusia atau tidak, tetapi bagi konsekuensi logisnya seseorang yang
beragama Islam, maka selera dirinya harus tunduk kepada tuntunan Allah dan
bukan sebaliknya.
Dan yang lebih aneh lagi kalau orang kafir jahiliyyah dahulu merasa
putus asa terhadap agama Islam mengaharamkan makanan yang dimakan manusia hanya
4 macam, tetapi orang-orang yang mengaku beragama Islam jaman sekarang ada yang
naik pitam karena yang diharamkan oleh Allah hanya 4 macam.
Memang
ada beberapa hadis yang sebagai berikut.
عن ابي هريرة عن النبي قال: كل ذى ناب من السباع فاكله حرام. مسلم
Dari Abu
Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas itu maka memakannya adalah haram”. (HR. Muslim, Juz 3, hal. 1534)
Dan
ada pula yang berbunyi:
عن ابن عباس ان رسول الله ص نهى عن كل ذى ناب من السباع وعن كل ذى
مخلب من الطير.مسلم
Dari
Ibn Abbas bahwasanya
Rasulullah saw melarang dari (memakan) tiap-tiap binatang buas yang bertaring
dan melarang (memakan) tiap-tiap burung yang bercakar (alat pencengkeram).
(HR. Muslim juz 3, hal, 1534)
Hadis-hadis tersebut tidak disangkal kesahihannya, tetapi karena
al-Qur’an telah memberikan batasan hanya 4 macam, makanan yang haram manusia
memakannya, mungkinkah Nabi menambahnya?
Lagi pula kalau dalam ayat 157 al-An’am Nabi diperintahkan untuk
menyatakan bahwa Nabi tidak mendapatkan di dalam wahyu yang diterimanya dan
mengharamkan makanan bagi manusia memakannya kecuali 4 macam (lihat kembali
surat al-An’am 145), mungkinakah Nabi berani mengharamkannya dengan kehendak
beliau sendiri? Dan bagaiamanakah pula kedudukan hadis yang berbunyi:
الحلا ل مااحل الله فى كتا به والحرام ما حرم الله فى كتا به.
Yang
halal itu apa-apa yang diahalalkan oleh Allah di dalam kitan-Nya dan yang haram
itu apa-apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya. (HR. Ibn Majah, jus 2, hal. 1117)
Perlu ditambahkan di sini bahwa untuk memahami tentang apa yang
diharamkan yakni 4 macam tersebut pada lazimnya adalah mudah dan jelas, tetapi
ada satu diantaranya yang 4 itu agaka sulit untuk memahaminya, yaitu:
“Dan
apa-apa yang disebut dengannya untuk sealin Allah”
Sebagian ulama berpendapat yang dimaksudkan oleh ayat tersebut
ialah: menyembelih binatang yang halal tanpa menyebut nama Allah.
Pendapat yang lain ialah: maksud ayat tersebut menunjukkan bahwa
tidak halal yang disembelih karena berhala, seperti yang diterangkan dalam
surat al-Maidah ayat 3:3t
“...yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,...”
Ada pula yang berpendapat maksud ayat wa maa uhilla nihii
lighoirillah ialah sembelihan yang disembelih untuk suatu tujuan yang tidak
dituntunkan atau yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti:
menyembelih untuk slametan yang berhubungan dengan kematian, kelahiran anak dan
sebagainya (bukan aqiqah). Juga sesembelihan untuk mengingat Maulid, Isra’
Mi’raj, Nuzulul Qur’an, menghormat hari-hari yang dianggap bersejarah dan
sebagainya. Karena semuanya itu tidak ada tuntunannya dan tidak ada pembenaran
dari Allah dan Rasul-Nya.
Penyembelihan
yang dituntunkan antara lain ialah:
1.
Sembelihan Udlhiyah atau yang biasa disebut Qurban di hari raya
dan tasyriq (tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah)
2.
Aqiqah: sembelihan yang ada hubungannya dengan kelahiran bayi
(perempuan atau laki-laki) pada hari ke-7 nya.
3.
Sembelihan-sembelihan yang ada hubungannya dengan ibadah haji.
Adapun
penyembelihan yang dibenarkan antara lain:
1.
Menyembelih untuk dijual.
2.
Menyembelih untuk menghormati tamu atas dasar yang dibenarkan
agama.
3.
Menyembelih untuk menyantuni fakir miskin secara mutlak (tidak ada
kaitannya dengan kepercayaan yang salah).
4.
Menyembelih untuk dimakan sebagai lauk pauk.
Pendapat ini adalah yang sesuai dengan jiwa dan makna ayat
tersebut, karena arti uhilla ialah: disuarakan, maksudnya:
orang-orang jahiliyah dahulu apabila menyembelih sembelihan lebih dulu menyebut
nama-nama berhala, karena berhala-hala itulah yang dipetaruhkan atau yang
dianggap sebagai perantara, dengan kepercayaan supaya sembelihannya itu
mendapat restu atau disukai oleh berhala-hala tersebut, maka kalau pada ayat
disebutkam wa maa uhilla lighoirillaahii bihi, tentu
pengertiannya bukan sekedar tidak menyebut nama Allah; tetapi yang dimaksud
ialah sembelihan yang tidak dituntunkan atau dibenarkan oleh Allah.
Karena kalau sekedar demikian, bagaimana kalau ada orang yang
menyembelih untuk berhala, sajen-sajen dan sebagaimana tetapi dalam
penyembelihannya itu menyebut Bismillahirrohmannir rohim, apakah itu
halal?
Pikirkan dan
renungkan baik-baik!
“maka
barangsiapa terpaksa memakannya dan tidak sengaja ingi dan tidak pula melampaui
batas (kebutuhan) maka tiada dosanya”
Maksudnya: ayat tersebut menjelaskan bahwa sekalipun keempat macam
makanan tersebut diharamkan, namun bagi siapa yang terpaksa harus memaknnya
karena sebab-sebab yang dibenarkan syara’ dan tanpa adanya keinginan untuk
memakannya dan tidak melampaui batas kebutuhan, maka tidak berdosalah orang
yang memakan makanan yang diharamkan itu.
Yang perlu diperhatikan bagaimanakah keadaan seseorang dapat
dikatakan terpaksa sehingga dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh
Allah itu.
Pertama: dikarenakan
ketiadaan makanan lain yang harus dimakan sehingga dikhawatirkan akan
menyebabkan kematian.
Kedua: untuk berobat,
karena obat-obat yang halal sudah tidak menyembuhkan penyakitnya an menurut
keterangan para ahli yang dipercaya, dimungkinkan sembuh penyakitnya itu dengan
memakan makanan yang diaharamkan tersebut.
Dalam keadaaan semacam itu, orang Islam boleh memakan makanan yang
diaharamkan oleh Allah.
Di dalam ayat tersebut ada suatu keterangan tentang yang dimaksud
terpaksa yaitu:
غير باغ ولا عاد
(tidak menginginkannya dan tidak melampaui
batas)
Maksudnya, bukan karena ingin untuk memakannya dan bukan karena melampaui batas kebutuhan
memakan barang yang haram itu dalam keadaan terpaksa tersebut.
Dapat difahamkan yang dimaksud ingin atau berkeinginan termasuk
termasuk orang yang belum semestinya dikatakan terpaksa,yakni belum menahan
sampai batas maksimal sudah makan makanan yang haram itu dan juga yang melebihi
kebutuhan yang diperlukan, karena dalam keadaan terpaksa, itupun tidak lepas
dari keinginan yang didorong oleh hawa nafsu.
إن الله غفور رحيم
Sesungguhnya
itu Allah Pengampun dan penyanyang
Akhir ayat tersebut bersifat umum, tetapi diakhirinya ayat tersebut
dengan kalimat demikian, mengandung arti yang khusus. Hal tersebut bisa
diterangkan sebagai berikut:
Karena Maha Pengampun dan Maha Penyanyangnya Allah kepada
hamba-Nya, maka barang yang diharamkan-Nya pun boleh dimakan oleh hamb-Nya yang
dalam keadaan terpaksa bukan karena ingin dan tidak melampaui batas keperluan.
Dan seseorang yang yang benar-benar beriman jangankan barang-barang yang
diharamkan, yang samar-samarpun akan dihindarinya, begitu pula ukuran terpaksa,
termasuk relatif dan bersifar individual.
Oleh sebab itu bagi orang-orang yang benar-benar beriman tentu dia
tidak suka cepat-cepat menganggap dirinya itu dalam keadann terpaksa, walaupun
mungkin dirinya sudah dalam keadaan terpaksa.
Oleh sebab itulah dengan adanya akhir ayat tersebut bagi
orang-orang yang benar-benar beriman akan dapat menundukkan dirinya sebagaimana mestinya hingga ia terselamat dari bahaya maut
yang mengancamnya. Karena dengan akhir ayat tersebut akan hilanglah rasa
keragu-raguan dalam dirinya antara sudah terpaksa atau belum terpaksa. Maka
karena Allah itu Pengampun dan Penyanyang kalau ia berijtihad tentang keadaaan
dirinya apakah sudah terpaksa ataukah belum akan cepat dipilihnya salah satu
keadaan itu tanpa terancam bahaya maut.
C. Penutup
Perkembangan tafsir al-Qur’an yang ada di Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan Islam belahan bumi lain. Membaca Islam yang di
Indonesia rasanya cukup penting. Sebab dari hasil bacaan itu kita sebagai umat
Islam dapat mengetahui akan bagaimana perkembangan Islam di Indonesia setelah
Islam mengalami beberapa fase perubahan dari waktu ke waktu.
Tafsir MTA ini merupakan salah satu hasil dari banyak karya tafsir
di Indonesia, meski banyak orang yang menghujat tentang MTA, namun pemakalah
mengapresiasi tentang hadirnya karya tafsir ini. Karena dengan karya tafsir ini
turut menyumbang keilmuan khususnya dalam bidang tafsir di Indonesia.
[2] Yoyok
Mugianto, Beda Boleh, Putus Silaturrahmi Jangan,Dimuat di OPINI Koran Jawa Pos (14-04-2011),sebagai jawaban atas
OPINI berjudul “Menyikapi
Kegarangan Puritanisme”oleh Said Agiel Siradj di Jawa Pos (05-04-2011).
[3] Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, Laporan Penelitian Tentang
Interaksi Sosial Kelompok Aliran Islam Minoritas Dalam Masyarakat di Berbagai
Wilayah Jawa Tengah, 2008. Bentuk PDF, h. 25
[4] Sekapur Sirih
Oleh Kiswanto dalam Catatan Tafsir al-Qur’an:Gelombang VII Malam Majlis
Tafsir al-Qur’an (MTA) Pusat di Surakarta, Cet. Kedua (Surakarta: Gelombang
VII Malam MTA, 1981), h. iii
[6] Pada
penafsiran akhir ayat 144 surat al-Baqarah:
3$tBurª!$#@@Ïÿ»tóÎ/$£Jtãtbqè=yJ÷èt
Dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yan mereke kerjakan.
Ada dua qira’at
penting dalam akhir ayat ini, Ibn ‘Amir Hamzah dan al-Kisa’i membacanya dengan تعلون, yang artinya perkataan itu dihadapkan Tuhan
kepada kaum Muslimin. Karena ayat ini mengatakan begini : Dan Allah tidak lalai
dari apa-apa yang kamu amalkan dan Allah tidak menyia-nyiakan balasannya
walaupun bagaimana juga fitnah yang dihidupkan oeh ahl kitab dengan kaum
Musyrikin dan Munafiqin itu.
Dan menurut qiraat
yang kedua dibaca dengan bqè=yJ÷èt maka perkataan itu dihadapkan Tuhan kepada
orang-orang ahl Kitab dan orang munafiq yang telah menyiar-nyiarkan fitnah itu
karena dengki hatinya.
Dan kedua qiraat
tersebut dapat disesuaikan dengan kandungan dalam ayat 145. Abdullah Thufail
Saputra, Tafsir al-Qur’an Surat al-Baqarah Jilid IV ayat 142-176,
(Surakarta: Yayasan Majlis Tafsir al-Qur’an, 2008), h. 21-22
[7]Muhammad Abdul
Thafail Saputra, tafsir jilid IV, 146-161
MTA melalui ustad besarnya As syekh Asukino sesalu ngomong kalau MTA tidak pernah menghalalkan atau mengharamkan Anjing. Kenapa penjelasannya sumir atau tidak menjawab persoalan yang sebenarnya terjadi di MTA. Atau memang sengaja Si As syekh Asukino mau mengelabuhi, membohongi orang-orang yang masih awam dalam agama sehingga tetap menjadi pengikutnya yang aneh?
ReplyDeletekalo sepengetahuan saya, sudah diklarifikasi tentang pendapatnya yang awal tentang kehalalan anjing. ia yang tadinya menghalalkan jadinya mengharamkan. CMIIW
Delete