TAFSIR TARJUMAN AL-MUSTAFID
Karya Syaikh ‘Abd al- Rauf al-Singkili
Tafsir Lengkap Pertama di Indonesia
Berbahasa Melayu
Oleh Mat Husein
(Mahasiswa FUD IAIN Surakarta 2011)
Pendahuluan
Kajian tafsir tidak hanya diminati oleh para sarjana muslim.
Sarjana-sarjana Barat yang tergabung dalam wadah orientalis juga memiliki
perhatian yang cukup serius. Kajian tafsir juga tidak hanya difokuskan kepada
tafsir-tafsir berbahasa Arab, tafsir-tafsir Indonesia juga menarik perhatian
beberapa kalangan, tak terkecuali para orientalis. Salah satu tafsir Indonesia
adalah tafsir Tarjuman Mustafid, tafsir yang konon merupakan tafsir tertua di
negeri ini adalah merupakan karya ulama besar dari Aceh, yaitu Syeikh Abdurrauf
al-Singkeli.
Makalah pendek ini hendak mengetengahkan kajian tafsir
tersebut. Penulis akan mencoba mendeskripsikan karya tafsir itu sembari
mengurai beberapa hal yang terkait dengan kajian tafsir pertama terlengkap 30
juz yang dimiliki dunia Nusantara.
Pembahasan
a.
Biografi ‘Abd
al- Rauf al-Singkili
Sosok ini mempunyai nama lengkap ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali
Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili atau yang biasa disebut ‘Abd al-Rauf al-Singkili
(Al-Singkili) merupakan salah satu dari empat ulama masyhur dan berpengaruh
yang pernah muncul di Aceh pada abad 17 M. Tahun kelahiran al-Singkili tidak
diketahui secara pasti, namun seorang peneliti yakni Prof. Rinkes mengadakan
kalkulasi kebelakang di hitung dari saat kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh,
maka as-Singkili diperkirakan lahir sekitar tahun 1615 M (1024 H), di daerah
Singkel yang terletak diujung selatan pantai Barat Aceh. al-Singkili meninggal
sekitar tahun 1105/1693 dikuburkan di Kuala atau mulut sungai Aceh.[1]
b.
Perjalanan
Intelektual
Al-Singkili adalah seorang ulama yang cukup disegani pada
masanya. Karier Pendidikan al-Singkili ditanah airnya tidak begitu jelas
diketahui, tetapi menurut salah satu sumber yang mengkaji al-Singkili,
al-Singkili Memulai pendidikan awalnya ditanah kelahirannya, yakni di Singkel,
terutama dari ayahnya. Menurut Hasjmi, ayahnya adalah seorang alim dan juga
mendirikan sebuah madrasah yang menarik murid-murid dari berbagai tempat yang
berada di kesultanan Aceh. Besar kemungkinan juga beliau melanjutkan pendidikannya
di Barus atau biasa disebut dengan Fansur suatu daerah terpencil di pesisir
pantai barat Sumatera Utara. Seperti diungkap oleh seorang sejarawan bernama
Drakkard dalam bukunya History of Barus, mengatakan bahwa “negeri itu
(Barus) merupakan pusat Islam yang cukup penting sekaligus titik
penghubung antara orang melayu dengan kaum muslimin dari Asia Barat dan Asia
Selatan”. Selanjutnya, menurut sejarawan Indonesia A. H. Hasjimi, penulis
buku “Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, ulama Negarawan yang Bijaksana”,
al-Singkili kemudian melanjutkan pendidikannya ke Banda Aceh, ibukota
Kesultanan Aceh, untuk belajar dengan, antara lain, Hamzah Al-Fansuri dan Syams
Al-Din Al-Sumatrani. Namun anggapan tersebut dibantah oleh Azyumardi Azra,
penulis buku Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII yang terbit pada 1998. Menurutnya anggapan tersebut tidak masuk
akal.[2]
Menurut Azyumardi Azra, al-Singkili tidak mungkin berguru
(bertemu) dengan Hamzah Al-Fansuri, sebab menurutnya Hamzah meninggal sekitar
tahun 1016/1607, pada saat itu al-Singkili belum lahir. Mengenai bergurunya
Al-Singkili dengan Syams Al-Din Al-Sumtrani, Azyumardi Azra memperkirakan bahwa
kemungkinan al-Singkili pada waktu itu berada pada usia belasan tahun. Tetapi
menurutnya tidak ada indikasi untuk mendukung kemungkinan hal itu.[3]
Pada masa al-Singkili dilahirkan, tumbuh dan berkembang
sebagai calon ulama, kondisi Aceh pada masa itu berada dalam puncak kejayaan,
dibawah pimpinan sultannya yang terbesar, yakni Iskandar Muda. Seteleh
al-Singkili menempuh pendidikan di tanah kelahirannya, ia berangkat ke Negeri
Arab sekitar tahun 1643 (1064 H) dalam rangka memperdalam dan memperluas
pengetahuannya dalam bidang agama. Situasi dan kondisi tanah kelahirannya
ketika keberangkatan al-Singkili ke Arab berbeda ketika pada masa ia
dilahirkan, pada masa itu negeri Aceh teleh dipimpin oleh seorang wanita (Ratu)
bergelar Sultanah Safiyatuddin yang sedang berada dalam suasana kekacauan
politik dan pertentangan paham keagamaan. Besar
kemungkinan, faktor ini yang mendorongnya melanjutkan pendidikan ke tanah Arab.
Situasi ini berbeda ketika al-Singkili lahir dan mulai tumbuh di bumi rencong
di bawah kendali seorang sultan bergelar Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak
kejayaannya juga faktor-faktor lain yang telah disebutkan di atas.
c.
Karya-karyanya
‘Abd al-Rauf al-Singkili merupakan seorang ulama yang
produktif, terbukti lebih dari 21 karya dalam versi lain 22 karya telah
dihasilkannya baik itu yang ditulis dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab.
Dari karya yang ditulis olehnya mencakup berbagai macam disiplin ilmu yaitu
fiqih, tafsir, hadits, kalam, tasawuf dan lain-lain. Diantara karya-karya ‘Abd
al-Rauf al-Singkili adalah: Pertama, dalam bidang ilmu tafsir: Tarjuman
Al-Mustafid, (karya manumentalnya). Kedua, dalam bidang fikih: Mir’at
Al-Thullab fi Tasyil Ma’rifat Al-Ahkam Al-Syar’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab,
kitab ini merupakan kitab kajian fikih lebih khususnya adalah fikih mu’amalah
yang berisi saduran dari kitab Fath al-Wahhab karangan Zakariyya
al-Anshari dan merupakan kitab fikih mua’malah pertama di Nusantara
(Indonesia), Kitab Al-Fara’idh. Ketiga, dalam bidang hadits :
penafsiran mengenai Hadits Arba’in (empat puluh hadits) karya Imam
An-Nawawi kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakkiyyat Al-Din, Al-Mawa’izh
Al-Badi’ah; kitab ini merupakan kumpulan hadits qudsi. Keempat,
dalam bidang tasawuf : Kifayat Al-Muhtajin ila Masyrab Al-Muwahhidin
Al-Qa’ilin bi Wahdat Al-Wujud; kitab ini berisi ajaran-ajaran mistis yang
mencoba mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. beliau menolak pendapat
wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya, Kitab
tasawuf lainnya adalah Daqa’iq Al-Huruf; kitab ini merupakan
argumentasi pendek penafsiran atas apa yang dinamakan “empat baris ungkapan
panteistis” Ibn ‘Arabi. Adapaun dalam menafsirkan ungkapan Ibn ‘Arabi
sebagaimana diungkapkan oleh A.H. Johns bahwa Abd al-Rauf al-Singkili
menafsirkannya dengan pengertian ortodoks, yang membuktikan bahwa alam dan
Tuhan tidaklah dapat disamakan. Kitab tasawuf lainnya adalah ‘Umdat
al-Muhtajin,dan Bayan Tajalli, dan masih banyak karya tulis (tasawuf)
lainnya.[4]
d.
Kajian al-Qur’an dan Penulisan Tafsir di Nusantara
Sejak
pertama Islam masuk ke Aceh, tahun 1290 M, pengajaran Islam mulai lahir dan
tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Waktu itu, banyak ulama
yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplan, Teungku di Geureudog, dan
yang lain. Pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh, awal abad ke-17
M, surau-surau di Aceh menga-lami kemajuan. Muncul banyak ulama terkenal waktu
itu, seperti Nuruddin al-Raniri, Ahmad Khatib Langin, Syamsuddin al-Sumatrani,
Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, dan Burhanuddin.[5]
Analisis
Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia
memperlihat-kan bagaimana al-Quran telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak
kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian al-Quran” di surau, langgar, dan
masjid. Yunus berkesimpulan bahwa pendidikan al-Quran, pada waktu itu, adalah
pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum
diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (figh). Kesimpulan serupa juga
dikemuka-kan oleh Indonesianis terkemuka asala Belanda Karel A. Steenbrink.
Menurutnya, pengajaran al-Quran tersebut merupakan pelajaran membaca beberapa
bagian al-Quran. Untuk permulaan, anak diajari surah al-Fatihah dan kemudian
surat-surat pendek dalam juz ‘amma (terdiri dari surah ke 78 hingga dengan surah
ke 114). Dalam pengajian ini, para murid mempelajari huruf-huruf Arab dan
mengha-falkan teks-teks yang ada dalam al-Quran. Di samping itu, diajarkan pula
peraturan dan tata tertib shalat, wudlu, dan beberapa doa. Mata pelajaran yang
diajarkan semua tergantung pada kepandaian guru ngaji, yang juga mengajarkan
beberapa unsur ilmu tajwid yang bermanfaat untuk melafalkan ayat suci al-Quran
dengan baik.[6]
Sementara
itu, tradisi penulisan tafsir di Nusantara sebenarnya telah bergerak cukup
lama, dengan keragaman teknis penulisan, corak dan bahasa yang dipakai. Uraian
berikut ini akan mengungkap tentang perjalanan dan sejarah penulisan tafsir
yang pernah muncul di wilayah Nusantara dari masa ke masa.
Satu abad
kemudian, muncul karya tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd
al-Ra’uf al-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz. Tahun penulisan karya ini
tidak bisa diketahui dengan pasti. Namun Peter Riddel, setelah melihat
informasi dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan, bahwa karya
ini ditulis sekitar tahun 1675 M.[7]
e.
Contoh
Penafsirannya
Setelah kita amati dengan baik corak penafsiran yang
dilakukan oleh Syeh Abd. Ro’uf as-Singkili nampaknya lebih cendrung dalam
memahami teks al-Qur’an pada bentuk bacaan tepatnya bagaimana perbedaan dalam
khot Usmani dan khot Imla’i khususnya bagaimana ia memahami bacaan-bacaan yang
berbeda dikalangan para Imam ahli Qur’an bukan sub kebahasaannya. Dan ini
menarik sekali dan sangat penting untuk kita ketahui khusunya bagi para
mufassir untuk memahami tidak hanya sebatas unsur bahasa, asbabun nuzul dan
lain sebagainya, karena tidak semua rasm yang tertulis di dalam a-Qur’an itu
dibaca sebagaimana bentuk tulisan yang ada di dalamnya melainkan betapa banyak
bentuk rasm-rasm yang ada akan tetapi cara bacanya berbeda-beda, baik dalam
bentuk khot, harkat bagaimana cara waqof dan washal, perbedaan-perbadaan antara
imam. Hal semacam ini menunjukkan arti-arti tertentu khususnya dalam penafsiran
ayat al-Qur’an.
Pada mulanya tafsir Tarjuman Al-Mustafid dianggap
sebagai karya terjemahan dari sebuah karya tafsir Al-Qur’an yakni tafsir Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baidhawy (w. 1385). Keterangan
yang menyebutkan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan karya
terjemahan dari tafsir al-Baidhawy adalah datang dari seorang orientalis
berkebangsaan Belanda yakni Snouck Hurgronje dengan mengatakan bahwa: "Hasil
karya Abdurrauf yang terkenal lainnya adalah terjemahan tafsir Al-Qur’an
karangan Al-Baidhawy ke dalam bahasa Melayu”. Statemen Snouck Hurgronje di
atas kemudian diikuti oleh beberapa serjana Eropa yang menganalisa tafsir Tarjuman
al-Mustafid atau tafsir Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawy
diantaranya adalah Prof. Rinkers yang nota bene adalah murid Snouck Hurgronje
sendiri. Rinkers bahkan menambahkan bahwa “Tafsir Tarjuman al-Mustafid
disamping mencakup terjemahan dari tafsir Al-Baidhawy juga merupakan karya
terjemahan dari tafsir jalalayn”.
Terlepas dari perdebatan diatas, paling tidak kami telah
melakukan penyeleksian dan perbandingan antara tafsir Tarjuman al-Mustafid
dengan tafsir-tafsir lainnya yang telah manjadi perbincangan dikalangan umat
Islam. Menurut kami tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah sangat berbeda dengan
tafsi-tafsir lainnya termasuk sebagaimana dibanding dengan tafsir Anwaru
at-Tanzil wa Asraru at-Ta’wil (Al-Baidhawi), hanya sebagian saja yang ada
kesamaan karena dalam cara menafsirkan ayat ada dua metode yaitu bil-Ma’tsur
dan bil-Ra’yi. Adapun kesamaan yang terdapat dari sebagian kecil dari beberapa
ayat di dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid ketika penafsiran itu mengutip dari
beberapa riwayat dan pendapat baik dari sahabat, tabi’in dan ulama’-ulama’ ahli
tafsir lainnya, karena penafsiran bilma’tsur tidak mungkin berbeda ketika ia
merujuk pada ahli tafsir sebelumnya.
Oleh sebab itu kami menyimpulkan bahwa tafsir Tarjumun
al-Mustafid bukanlah terjamahan dari tafsir Al-Baidhawi akan tetapi tafsir
Tarjuman al-Mustafid lebih cenderung seperti terjamahan biasa hanya ada
beberapa ayat saja ketika As-Singkili menerjamahkan ayat apabila ada ayat yang harus
dijelaskan beliau menjelaskan menurut riwayat (bil-Ma’tsur) bukan penafsiran
secara rinci sebagaimana umumnya tafsir-tafsir lainnya. Untuk lebih jelasnya
kita lihat dan kita bandingkan corak penafsiran antara tafsir Tarjuman Mustafid
dan Al-Baidhawi. Ayat yang sama dalam tafsiran al-Baidhawi adalah;
Contoh Pertama (Tafsir al-Baidhawi)
)وَمَا أَرْسَلْنَا
مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ (
بسبب إذنه في طاعته وامره المبعوث اليهم بان يطيعوه, وكأنه احتج بذالك على ان الذي
لم يرض بحكمه وان اظهر الاسلام كان كافرا مستوجب القتل. وتقريره ان إرسال الرسول
لما ام يكن الا ليطاع كان من لم يطعه ولم يرض بجكمه لم يقبل رسالته ومن كان كذالك
كان كافرا مستوجب القتل. (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ)
بالنفاق اوالتحاكم الى الطاغوت (جَاءُوكَ) تائبين من ذلك وهو خبر أن واذا
متعلق به. (فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ)
بالتوبة والاخلاص. (وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ) واعتذروا اليك حتى
انتصبت لهم شفيعا, وانما عدل الخطاب تفخيما لشأنه وتنبيها على ان من احق الرسولان
يقبل اعتذارالتائب وان عظم جرمه ويشفع له, ومن منصبه ان يشفع في كبائرالذنوب. (لَوَجَدُوا
اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) لعلموه قابلا لتوبتهم متفضلا عليهم بالرحمة, وان
فسر وجد بصادف كان توبا حالا ورحيما بدلا منه اوحالا من الضمير.
[8]
Dalam tafsiran
al-Baidhawi seperti yang kita lihat diatas jelas beliau menjelaskan dengan
pendapatnya secara rinci, bahwa Pada bagian pertama dari ayat ini, Allah
menerangkan: bahwa setiap Rasul yang diutus Allah ke dunia ini semenjak dari
dahulu sampai kepada Nabi Muhammad saw wajib ditaati dengan izin (perintah)
Allah, karena tugas risalah mereka adalah sama, yaitu untuk menunjuki umat
manusia ke jalan yang benar dan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di
akhirat. Juga dalam ayat ini dikaitkan taat itu dengan izin Allah, maksudnya
ialah bahwa tidak ada sesuatu makhlukpun yang boleh ditaati melainkan dengan
izin Allah atau sesuai dengan perintah Nya, seperti menaati Rasul, ulil amri,
ibu bapak dan sebagainya, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Pada bagian kedua
sampai akhir ayat ini, Allah menerangkan: Andaikata orang-orang yang menganiaya
dirinya sendiri yaitu orang-orang yang bertahkim kepada Tagut seperti ayat tersebut,
datang kepada Nabi Muhammad ketika itu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah,
dan Rasulpun turut memohon supaya mereka diampuni, niscaya Allah akan
mengampuni mereka, karena Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Di dalam ayat ini
disebutkan orang-orang yang bertahkim kepada Tagut itu adalah orang-orang yang
menganiaya diri sendiri, karena mereka melakukan kesalahan besar dan
membangkang tidak: mau sadar.
Contoh Kedua (Tafsir Tarjuman al-Mustafid)
(وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ) دان تيادا كامي
سورهكن درفد فسوره ايت ملينكن سفاي دايكة اي فديأرغيغ دسورهكنث دان يغ دي حكمكن
دغن سوره الله تعالى. (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) دان جكلو
بهوسث مريكئيت تتكل دتيائي مريكئت اكند بري مريكئيت سبب فركي بر حكم كفدا يغ بايق
درهكاث ايت داتغ كيراث مريكئيت مك ممنتا امفون مريكئيت كفدا الله تعالى دان منتا
امفون بكي مريكئيترسول الله نسجاي دفراوله مريكئيت الله منريم توبة اتس مريكئيت
لاكي مغسهاني اكن مريكئيت.[9]
Dari contoh yang kedua
diatas kita lihat sangat berbeda dengan yang pertama corak penafsirannya, ia
lebih condong seperti terjamahan biasa meskipun ada beberapa ayat yang corak
penafsirannya Bil-Ma’tsur namun hanya sedikit saja. Contoh dalam surat
Al-Fatihah sebagai berikut;
ÉOó¡Î «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ دغن نام الله يغ أمة موره ددالم دنيا اني لاكي يغ أمة مغسهاني
همباث يغ مؤمن ددالم نكري اخرة ايت جوا كومغمبل بركة فدا ممباج فاتحة اني (ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ ) سكل فوجي ثابت بك الله توهن يغ ممفيائي سغل مخلق (Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÌÈ ) لاكي توهن يغ أمة موره ددالم دنيا اني لاكي يغ أمة مغسهاني
همباث يغ مؤمن ددالم نكري اخرة (Å7Î=»tB ÏQöqt ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ ) راج يغ
ممرنتهكن فدا هاري قيمة.
(فائدة) فدا ميتاكن اختلاف انتارا سكل قارئ يغ تيك فدا ممباج ملك
مك ابو عمر دان نافع اتفاق كدواث اتس ممباج ملك دغن تياد الف دان حفص دغن الف مك
ادله معناث تتكل دباج دغن الف توهن يغ ممفيائي سكل فكرجأن هاري قيمة. (برمول) جكلو
ترسبت فدايغ لاكي اكنداتغ بجأن دوري دمكينله مك يائت باج مريد نافع دان ابو عمر
كارن سكل امام قارئ يغ مشهور ايت توجه جوا مك تيف- تيف سؤرغ درفدا مريكئيت دوا
مريد ث يغ مشهور (فرتام) درفدا يغ توجه إيت (نافع) نماث مك مريد ث يغ مشهور قالون
دان وارش (كدوا) ابن كثير نماث مك مريدث بزي دان قنبل (كتيك) ابو عمر نماث مك
مريدث دوري دان سوسي (كأمفت) ابن عامر نماث مك مريدث هشام دان ابن زكوان (كليم)
عاصم نماث مك مريدث ابو بكر دان حفص (كأنم) حمزة نماث مك مريدث خلف دان خلاد
(كتوجه) كسائي نماث مك مريدث ابوالحارث دان دوري مك دنمائي دوري ابن دوري كسائي
دان يغ دهولو ايت دوري ابوعمرو. والله اعلم.. (x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur
ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ ) كامي تنتو كرنا اكنديكو عبادة دان كامي تنتوة درفدام تولغ اتس
بربوة عبادة دان يغ لاين ث($tRÏ÷d$#
xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$#
ÇÏÈ ) بري فرتنجؤ اولهم اكر كامي جالن يغ بتل (xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$#
|MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî
ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ ) جالن سكل مريكئيت يغ تله كو نكرهائي نعمة اتس مريكئيت لاين
درفدا جالن سكل يغ د مركائي اتس مريكئيت دان لاين درفدا جالن سكل اورغيغ سست
(برمول) دكهنداقي دغن جالن يغ دمركائي دسيني سكل جالن يهودي دان جالن سكل يغ سست
جالن سكل نصرني. والله اعلم..[10]
Kesimpulan
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid ini merupakan tafsir pertama
lengkap 30 juz di Indonesia, pengarang tafsir ini tidak hanya menyumbangkan
ilmu dibidang tafsir saja di negara tercinta ini melainkan juga dibidang ilmu
tashawuf, fiqih dan lain sebagainya. Corak penafsiran yang dilakukan oleh Syekh
Abd. Ro’uf lebih cendrung pada pembahasan mengenai perbedaan-perbedaan Qiro’ah
as-Sab’ah karena perbedaan tersebut tidak hanya sebatas memvareasi keindahan
lagu dibidang Qori’ khususnya akhir-akhir ini yang mana sering kali kita dengar
dilakukan oleh ahli-ahli Qur’an, tapi bagi beliau lebih mengacu untuk memahami
bagaimana yang sebenarnya perbedaan tersebut menunjukkan arti-arti tertentu
sebagaimana telah dilakukan dan dipahamai oleh para sahabat pada sejak turunnya
ayat pada Rasulullah SAW. Semoga dengan makalah singkat ini bermanfa’at bagi
kita semua. Amien...
Daftar Pustaka
Abd. Ro’uf
as-Singkili, Tarjuman Al-Mustafid,
Surah Al-fatihah. Th.1951/1370
Dhofier
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1994)
Gusmian Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta : Teraju, 2003)
Karel
A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta : LP3ES, l994)
Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta
: Hidakarya, 1984)
Yusuf M. Yunan, “Perkembangan Metode Tafsir
di Indonesia”, dalam jurnal Pesantren,1991.
[7] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 54.
[8]
Nashiruddin Abi
Sa’id Adbillah bin Umar bin Muhammad Asy-Syraziy Al-Baidhawi. (w. 791 H) Tafsir
Al-Baidhawi, Jilid I, hal.222, Cet. I DARUL KUTUB AL-ILMIYAH BAIRUT
LIBANON, 1408 H/1988 M.
[9]
Abd. Ro’uf as-Singkili, Tarjuman Al-Mustafid, Surah An-Nisa’ayat
64. Th.1951/1370
[10] Abd. Ro’uf as-Singkili, Tarjuman Al-Mustafid, Surah Al-fatihah.
Th.1951/1370
No comments:
Post a Comment