BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah kata yang
indah akan tampak lebih indah jika penggunaan kata tersebut menggunakan
permisalan, karena dengan permisalan seseorang dapat dengan mudah memahami arti
makna kalimat tersebut. Tamtsil merupakan kerangka yang dapat
menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantab di dalam pikiran.
Salah satu aspek
keindahan retorika al-Quran adalah amtsal (perumpamaan-perumpamaan)
al-Quran yang tidak hanya membicarakan kehidupan dunia yang dapat di indera, tetapi
juga memuat kehidupan akhirat dan hakikat lainnya yang memiliki makna dan
tujuan ideal yang tidak dapat di indera dan berada di luar pemikiran akal
manusia.
Pembicaraan yang
terakhir ini dituangkan dalam bentuk kata yang indah, mempesona dan mudah dipahami,
yang dirangkai dalam untaian perumpamaan dengan sesuatu yang telah diketahui
secara yakin yang dinamakan tamtsil itu. Oleh karena itu pada kesempatan
kali ini penulis akan mencoba membahas tentang amtsal al-Quran lebih
dalam pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Amtsal
2. Rukun Amtsal
3. Macam-macam Amtsal
4. Manfaat Amtsal
5. Tujuan Amtsal
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Amtsal
Kalam Allah:
وَلَقَدْ
ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ (٢٧)
Artinya:
“Dan
sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran segala macam
perumpamaan supaya mereka mendapatkan pelajaran.” (Q.S. 39: az-Zumar, 27).
وَتِلْكَ
الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ (٤٣)
Artinya:
“Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang
memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.” (Q.S. 29: al-Ankabut, 43).
Secara bahasa amtsal
adalah bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil, sama
dengan syabah, syibh, dan syabih, yang sering kita artikan
dengan “semakna” atau “perumpamaan”.
Matsal juga dimaknakan dengan keadaan, kisah yang
menarik perhatian, menakjubkan. Seperti kalam Allah[1]:
مَثَلُ
الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ .... (٣٥)
“yakni: kisah surga dan sifatnya
yang menakjubkan yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa….” (Q.S.
13:ar Ra’d, 35).
Sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat, yaitu:
1. Menurut ulama ahli Adab, amtsal
adalah suatu perkataan yang diceritakan/diriwayatkan dan sudah berkembang yang
dimaksudkan daripadanya , menyerupakan keadaan orang yang
diceritakan/diriwayatkan padanya dengan keadaan orang yang matsal itu
dikatakan karenanya (dituju)[2].
2. Menurut ulama ahli Bayan, amtsal
adalah ungkapan majaz yang disamakan dengan asalnya karena adanya persamaan
yang dalam ilmu-ilmu Balaghah disebut tasybih.
3. Menurut ulama ahli Tafsir,
adalah menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat, menarik,
yang mengena dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz
mursal.[3]
Al-Baihaqi
mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah. Ia mengatakan bahwa Rasulullah
pernah bersabda:
إِنَّ الْقرأن نُزِل على خمسةِ أوجهٍ :
حلال و حرام و محكم و متشابهٌ و أمثالٌ فاعلموا بالحلال واجتنبوا الحرام واتبعوا
المحكم وءامنوا بالمتشابه واعتبروا بالأمثال.
Artinya:
“sesungguhnya al-Quran
diturunkan dengan lima sisi. Halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.
Kerjakanlah yang halalnya, tinggalkanlah yang haramnya, ikutilah yang
muhkamnya, imanilah yang mutasyabihnya, dan ambilah pelajaran dari amtsalnya.”
Menurut
al-Mawardi, ilmu al-Quran yang paling agung adalah ilmu tentang
perumpamaan-perumpamaannya. Namun sayangnya, orang-orang lupa tentangnya karena
disibukkan oleh perumpamaannya sendiri. Mereka pun lupa terhadap yang
diumpamakannya. Padahal perumpamaan tanpa yang diumpamakan sama seperti kuda
tanpa tali kendali[4].
- Rukun Amtsal(Tasybih)
Ahli Balaghoh
mensyaratkan bahwa tamtsil itu harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
bentuk kalimatnya ringkas, isi maknanya mengena dengan tepat, perumpamaannya
baik, dan sampirannya harus indah.[5] Sebagian
ulama mengatakan bahwa amtsal memiliki empat unsur atau rukun, yaitu:
1. Wajah Syabbah (segi perumpamaan)
Yaitu pengertian yang bersama-sama
yang ada pada musyabbah dan musyabbah bih.
2. Adaat Tasybih (alat-alat yang digunakan untuk
tasybih)
Yaitu kaaf, mitsil, ka anna, dan
semua lafadz yang menunjukkan makna perumpamaan.
3. Musyabbah (yang
diperumpamakan)
Sesuatu yang diserupakan(menyerupai)
musyabbah bih.
4. Musyabbah Bih
Yaitu sesuatu yang diserupai oleh
musyabbah.
Sebagai contoh, kalam Allah:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٢٦١)
Artinya:
Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir
seratus biji. Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa aja yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Wajah Syabah yang terdapat pada ayat ini adalah pertumbuhan
yang berlipat-lipat. Adaat Tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya
adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan Musyabbah Bihnya
adalah benih.
- Macam-macam Amtsal
Orang yang
pertama kali menyusun ilmu Amtsal ialah Syaikh Abdur Rahman Muhammad bin Husain
an-Naisaburi. Kemudian Imam Abul Hasan bin Ali bin Muhammad al-Mawardi, Ibnul
Qayyim, dan Jalaluddin As-Suyuthi.[6]
Merka membagi amtsal menjadi tiga macam, yaitu:
1. Amtsal Musharrahah (yang tampak atau tegas)
Yaitu amtsal
yang jelas, yakni yang jelas menggunakan kata-kata perumpamaan atau kata yang
menunjukkan penyerupaan. Contohnya dalam surah al-Baqarah ayat 17-19:
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي
اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ
وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ (١٧)صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا
يَرْجِعُونَ (١٨)أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ
وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ (١٩)
Artinya:
“Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi
sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinarui) mereka dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat; mereka tuli, bisu, dan buta, maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) atau seperti (orang-orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruhj, dan kilat.
Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir,
sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (Q.S.
2:al-Baqarah, 17-19).
Pada ayat itu Allah
membuat dua perumpamaan bagi orang-orang munafik, yang pertama yaitu
berhubungan dengan api, dan yang kedua berhubungan dengan air hujan.
Dan Allah membuat dua perumpamaan
pula yang berhubungan dengan air dan api
dalam surah ar-Ra’ad ayat 17:
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا
وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ
زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا
الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي
الأرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ (١٧)
Artinya:
“Allah
telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya. Arus itu membuat buih yang mengembang. Dan dari logam yang
mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat mereka; ada
(pula) buihnya seperti arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi)
yang benar dan yang batil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak
ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi.
Demikanlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Q.S. 13:ar-Ra’ad,17).
a.
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Ali dari Ibnu Abbas. Ia
mengatakan bahwa perumpamaan pada ayat itu menggambarkan sesuatu yang tersirat
dalam hati, yaitu keyakinan atau keraguan.
b.
‘Atha’ mengeluarkan sebuah riwayat bahwa perumpamaan di atas ditujukan
bagi orang mukmin dan orang kafir.
c.
Qatadah berkata: “sebagaimana halnya buih yang mengambang itu tidak
bermanfaat dan tidak ada kebaikan yang diharapkan darinya, maka demikian pula
kebatilan bagi pelakunya. Sebagaimana pula halnya air yang meresap ke dalam
tanah, bermanfaat, dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, sebagaimana pula emas dan
perak ketika dimasukkan ke dalam api lalu hilang kotorannya, maka demikian pula
kebenaran akan bermanfaat bagi pelakunya. Sebagaimana pula halnya kotoran emas
itu sirna ketika dimasukkan ke dalam api, maka demikian pula kebatilan.[7]
2. Amtsal Kaminah (yang tersembunyi)
Yaitu amtsal
yang tidak menyebutkan dengan jelas kata-kata yang menunjukkan perumpamaan
tetapi kalimat itu mengandung pengertian mempesona, sebagaimana terkandung di
dalam ungkapan-ungkapan singkat para ulama.
Al-Mawardi menceritakan bahwa ia
pernah mendengar Abu Ishaq Ibrahim bin Mudharib bin Ibrahim mengatakan bahwa
bapaknya pernah bertanya kepada al-Hasan bin al-Fadhl.[8]
a. “Engkau banyak
mengeluarkan perumpamaan-perumpamaan Arab dan Ajam dari al-Quran. Apakah engkau
menemukan dalam al-Quran yang menyerupai ungkapan bahwa sebaik-baik urusan
adalah yang berada di tengah-tengah:
خَيْرُ
اْلأمُورِ أَوْسَطُهَا
Ia menjawab, “ya, pada empat
tempat, yaitu:
1.
...لاَ فَارِضٌ وَلاَ بِكْرٌ عَوَانٌ بَينَ ذَ لك....(البقرة: 67)
Artinya:
“…Sapi
betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu….” (Q.S.
2:al-Baqarah, 68).
2.
وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ
قَوَامًا (٦٧)
Artinya:
“Dan
orang-orang yang, apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.” (Q.S. 25:al-Furqan, 67).
3.
...وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ
بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا (١١٠)
Artinya:
“…dan
janganlah kamu mengeraskan suara dalam sholatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah antara keduanya.” (Q.S. 17:al-Isra’,
110).
4.
وَلا تَجْعَلْ
يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ .... (٢٩)
Artinya:
“Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya.” (Q.S. 17:al-Isra’, 29).
b. “Apakah engkau menemukan
dalam al-Quran yang semakna dengan ungkapan “siapa yang bodoh terhadap sesuatu,
pasti akan mengulanginya”
مَنْ جَهَلَ
شَيْئًا عَادَاهُ
Ia menjawab, “ya, pada dua tempat
yaitu:
1.
بَلْ
كَذَّبُوا بِمَا لَمْ يُحِيطُوا بِعِلْمِهِ .... (٣٩)
Artinya:
“yang
sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya.” (Q.S.
10:Yunus, 39).
2.
... وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ
قَدِيمٌ (١١)
Artinya:
“Dan
karena tidak mendapat petunjuk dengannya (al-Quran), maka mereka akan berkata,
“ini adalah dusta yang lama.” (Q.S. 46:al-Ahqaf, 11).
c. “apakah engkau menemukan
dalam al-Quran yang semakna dengan ungkapan “tidaklah berita itu sama dengan
menyaksikannya sendiri”
لَيْسَ
اْلخَبَرُ كَالعِيانِ
Ia menjawab, “ya, yaitu:
... قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ
قَلْبِي .... (٢٦٠)
Artinya:
“…
Allah bertanya, ‘Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “Saya telah
percaya, tetapi agar bertambah tetap hati saya….” (Q.S. 2:al-Baqarah, 260).
3. Amtsal Mursalah (yang terlepas)
Yaitu
kalimat-kalimat al-Quran yang disebut secara lepas tanpa ditegaskan redaksi
penyerupaan. Tetapi dapat digunakan untuk penyerupaan. Namun, khusus untuk amtsal
mursalah, para ulama berbeda pendapat dalam menanggapinya.
a. Sebagian ulama menganggap amtsal
mursalah telah keluar dari etika al-Quran. Menurut ar-Razi ada sebagian
orang-orang menjadikan ayat “lakum dinukum wa liyadin” sebagai perumpamaan
ketika mereka lalai dan tak mau menaati perintah Allah. Ar-Razi lebih lanjut
mengatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan sebab Allah tidak
menurunkan ayat ini untuk perumpamaan, tetapi untuk diteliti, direnungkan, dan
kemudian diamalkan.
b. Sebagian ulama lain
beranggapan bahwa mempergunakan amtsal mursalah itu boleh saja karena amtsal,
termasuk amtsal mursalah lebih berkesan dan dapat mempengaruhi jiwa
manusia. Seseorang boleh saja menggunakan amtsal dalam suasana tertentu.
Contoh dalam kalam Allah:
... أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ (٨١)
Artinya:
“…Bukankah
Subuh itu sudah dekat?”(Q.S. 11:hud,81).
Ayat di atas sebagai perumpamaan
waktu yang sudah dekat.
- Manfaat Amtsal[9]
Manna
al-Qaththan menjelaskan bahwa di antara manfaaat amtsal al-Quran adalah
sebagai berikut:
1. menampilkan sesuatu yang
abstrak (yang hanya ada dalam pikiran) ke dalam sesuatu yang konkrit-material
yang dapat di indera manusia.
2. Menyingkap makna yang
sebenarnya dan memperlihatkan hal yang gaib melalui paparan yang nyata.
3. Menghimpun arti yang indah
dalam ungkapan yang singkat sebagaimana terlihat dalam amtsal kaminah
dan amtsal mursalah.
4. Membuat si pelaku amtsal
menjadi senang dan bersemangat.
5. Menjauhkan seseorang dari
sesuatu yang tidak disenangi.
6. Memberikan pujian kepada
pelaku.
7. Mendorong giat beramal,
melakukan hal-hal yang menarik dalam al-Quran.
8. Pesan yang disampaikan
melalui amtsal lebih mengena di hati, lebih mantab dalam menyampaikan
nasehat dan lebih kuat pengaruhnya.
9. Menghindarkan dari
perbuatan tercela.
Allah banyak menyebut amtsal
dalam al-Quran untuk pengajaran dan peringatan.
- Tujuan Amtsal
Para ulama ahli
tafsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari amtsal al-Qur’an.
Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal al-Qur’an
maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya
pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai
teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari. Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surah az-Zumar ayat 27.
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي
هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٧)
Artinya:
“Dan
sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran segala macam
perumpamaan supaya mereka mendapatkan pelajaran.” (Q.S. 39: az-Zumar, 27).
Mengenai kedudukan amtsal dalam
al-Qur’an, Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إِنَّ الْقرأن نُزِل على خمسةِ أوجهٍ :
حلال و حرام و محكم و متشابهٌ و أمثالٌ فاعلموا بالحلال واجتنبوا الحرام واتبعوا
المحكم وءامنوا بالمتشابه واعتبروا بالأمثال.
Artinya:
“sesungguhnya al-Quran
diturunkan dengan lima sisi. Halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.
Kerjakanlah yang halalnya, tinggalkanlah yang haramnya, ikutilah yang
muhkamnya, imanilah yang mutasyabihnya, dan ambilah pelajaran dari amtsalnya.”
Dari dalil
al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal al-Qur’an
adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia terbimbing menuju
jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pengertian-pengertian di atas,
penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Amtsal adalah suatu
perumpamaan yang hanya ada dalam pikiran (abstrak) dengan diskripsi sesuatu
yang dapat di indera, melalui pengungkapan yang indah dan mempesona, baik
dengan jalan tasybih maupun majaz mursal.
2.
Amtsal dalam al-Quran
dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Amtsal musharrahah
b.
Amtsal kaminah
c.
Amtsal mursalah
3.
Amtsal mempunyai banyak
manfaat.
4.
Penggunaan amtsal dalam media dakwah lebih mudah diterima.
5.
Tujuan amtsal agar manusia mengambil pelajaran dari al-Qur’an dengan
mengambil hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk demi mendapatkan
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Akhdari, Imam, Ilmu Balaghoh,
terj. Moh.Anwar, Bandung:al-Ma’arif, 1989.
Al-Qaththan, Manna’, Mabaahits Fiy ‘Uluumil-Qur’an. Cet.III.
Riyadh: Mansyuurat al-Asri al-Hadits. 1973.
Al-Qur’an al-Karim, Kudus: Menara. 2000.
Al-Qur’an al-Karim, Terjemah, Kudus: Menara.2005.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Quran Media-media Pokok dalam
Menafsirkan Al-Quran, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993.
Muhammad, bin Alawi al-Maliki al-Husni, Zubdah al-Itqan fi Ulum
al-Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Syadali, Ahmad & A.Rofi’I, Ulumul
Quran II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
[1] M. Hasbi
ash shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Quran Media-media Pokok dalam Menafsirkan
Al-Quran, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h.174.
[2] Ibid.,
[3] Ahmad
Syadali & A.Rofi’I, Ulumul Quran II, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1997), h.35.
[4] Muhammad
bin Alawi al-Maliki al-Husni, Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Quran,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.330.
[5] Imam
Akhdari, Ilmu Balaghoh, terj. Moh.Anwar, (Bandung:al-Ma’arif, 1989),
h.124.
[6] Ahmad
Syadali & A.Rofi’I, Op.cit., h.35.
[7] Muhammad
bin Alawi al-Maliki, Op.cit.,h.332.
[8] Ibid.,
h.335.
[9] Ahmad
Syadali & A.Rofi’I, Op.cit., h.44.
No comments:
Post a Comment