A.
Pendahuluan
Melihat betapa penting dan sentralnya posisi sebuah penafsiran atas
kitab suci al-Qur’an, maka penafsiran terhadapnya perlu dilakukan secara
hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu dengan tetap berpegang pada “kaidah-kaidah
atau pedoman-pedoman serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah
penafsiran. Di dalam hal ini, salah satu kaidah itu adalah kaidah Ta’rif dan
Tankir.” Kaidah Ta’rif dan Tankir sangat penting dipelajari
dan dikuasai oleh seorang mufasir, karena pemahaman suatu ayat atau kalimat kadang
tergantung kepada penguasaan terhadap kedua komponen tersebut.
B.
Pembahasan
1. Pengertian
At-Ta’aarif dan at-Tanaakir adalah bentuk plural dari Ta’riif
dan Tankiir. Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab dan istilah ini
biasa disebut dengan Ma’rifah dan Nakirah. Kedua istilah ini adalah sebutan bagi al-Ism
(kata benda). Yang pertama menunjuk kepada sesuatu yang sudah jelas dan
terbatas; sementara yang kedua kebalikannya, yaitu menunjuk kepada suatu benda
secara umum tanpa memberikan batasan yang jelas dan tegas. Atau dengan ungkapan
lain, Ma’rifah menunjuk kepada individu secara khusus sedang Nakirah
menunjuk kepada jenis dari individu tersebut.[1]
Kata (محمد) misalnya, adalah ism ma’rifah karena ia menunjuk kepada
seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل) adalah ism nakirah
karena tidak menunjuk kepada seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan
jenis laki-laki.
a.
Ma’rifah
Yang dimaksud term Ma’rifah dalam sub bahasan ini, khusus
mengenai Ma’rifah yang menggunakan alif lam (ال), bukan kata-kata yang Ma’rifah secara umum. Untuk
kajian ulum al-Quran, maka yang akan dikaji dalam bahasan kali ini adalah
faedah-faedah atau tujuan pemakaian kata-kata yang ma’rifah dan nakirah
dalam al-Quran.
Adapun para pakar ulum al-Qur’an, seperti Imam al-Zarkasyi
dan al-Suyuthi menyimpulkan sejumlah dari faedah dari pemakaian kata-kata yang Ma’rifah
dalam al-Qur’an sebagai berikut:
1)
Menunjuk
kepada kata yang sudah disebut sebelumnya, yaitu faedah ال للعهد الخارجى/الذكرى seperti:
إنا أرسلنا إليكم رسولا شهيدا عليكم كما أرسلنا إلى فرعون رسولا (15) فعصى فرعون الرسول فأخذناه أخذا وبيلا (16)
Artinya:
15. “Sesungguhnya
Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang
menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang
Rasul kepada Fir'aun.
16. Maka
Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.” Q.S. al-Muzammil (73):15-16
Kata (الرسول) yang ketiga itu sama konotasinya dengan kata (رسولا) yang disebut sebelumnya. Yakni menunjuk kepada seseorang yang
sama, yaitu nabi Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat dipahami dari
penggunaan (ال) pada kata (الرسول) yang ketiga tersebut.
2)
Menunjuk
kepada sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara, yaitu faedah
ال للعهد الذهنى
seperti:
...إذ هما في الغار....
Artinya:
“… ketika keduanya
berada dalam gua….”.
Q.S. at-Taubah (09):40.
Kata (الغار) dalam ayat itu menunjuk kepada gua Hira, tempat Rasulullah
bersama Abu Bakar ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy sewaktu hijrah ke
Madinah. Itu sebabnya kata (الغار) diterjemahkan dengan gua Hira. [2]
3)
Menunjuk
kepada waktu (sekarang) ketika peristiwa yang dimaksud terjadi, yaitu faedah ال للعهد الحضرى seperti: (اليوم, الأن) dan lain
sebagainya. Sebagai contoh seperti dalam ayat ketiga surah al-Maidah (5):
...أليوم أكملت لكم دينكم ....
Artinya:
3. “…Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, ….”.
Kata hari yang
dimaksud dalam ayat ini ialah hari Arafah. Hal ini dipahami dari (ال) yang digunakan pada kata tersebut karena ayat tersebut memang
diturunkan pada hari Arafah ketika Nabi bersama para sahabatnya menunaikan
ibadah haji.
4)
Menunjukkan
kepada konotasi tertentu jika digunakan pada ism jenis. Artinya,
penggunaan ال
pada suatu ism jenis memberikan makna khusus antara lain:
a)
Untuk
menunjukkan suatu kelebihan yang tidak dipunyai oleh yang lain (mubalaghah)
seperti ungkapan زيد
الرجل
, artinya Zaid adalah seorang yang sempurna kelaki-lakiannya. Menurut Sibawayhi
semua ال yang dipakai dalam sifat-sifat Tuhan masuk
dalam kategori ini.
b)
Untuk
menegaskan hakikat keberadaan dari ism jenis tersebut seperti ال pada QS. Al-An’am 89:
...أولئك الذين ءاينهم الكتاب والحكم والنبوة....4
Adanya
tambahan ال pada kata-kata tersebut menyatakan bahwa
Tuhan benar-benar telah mendatangkan ketiga unsur tersebut, bukan mengandung
pengertian mubalaghah seperti yang pertama.
5)
Untuk
menyatakan bahwa makna dari kata yang memakai ال tersebut mencakup semua individu yang tergabung di dalamnya (إستغراقية). Di antara ciri ال ini adalah boleh diikuti oleh istitsna’ (pengecualian)
setelahnya seperti[3]:
...إن الأنسان لفي خسر(2) إلا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (3)
Dan
boleh pula disifati dengan jamak seperti ال yang terdapat pada kata الطفل dalam ayat 31 dari QS. An-Nuur:
...أوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء....
Kata
الذين yang berfungsi sebagai sifat bagi الطفل adalah jamak dari الذي. Namun, di sini hal itu boleh terjadi karena الطفل memakai ال istighraqiyyah tersebut.
Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa masuknya ال pada suatu kata memberikan pengertian tertentu yang tidak
dijumpai pada kata yang sama bila tidak memakai ال tersebut.
b.
Nakirah
Apabila pemakaian ال pada suatu kata (ism jenis) memberikan
pengaruh terhadap pengertian kata tersebut, maka tidak memakainya juga ada pengaruh terhadap konotasi kata itu.
Kata ism yang tidak memakai ال seperti itulah yang dimaksud dengan ism nakirah dalam
sub bahasan ini.[4]
Ism Nakirah adalah ism yang menunjukkan kepada benda yang tidak
tentu. Di dalam al-Quran pemakaian ism ini memiliki beberapa fungsi,
antara lain:
1)
Untuk
menunjukkan individu tertentu/ ism tunggal (إرادة الوحدة), seperti kata (رجل) dalam Q.S. al-Qashash (28):20 yang menunjuk kepada seorang
laki-laki.[5]
2)
Untuk
menunjukkan ragam atau macam (إرادة
النوع), seperti kata (دابة) dalam Q.S. an-Nuur (24):45 yang mengandung
pengertian beragam binatang dari air. Demikian juga kata (حياة) dalam al-Baqarah (2):96, pengertian hayat (kehidupan)
dalam ayat di atas adalah untuk mencari tambahan (bekal) di masa mendatang
sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3)
Untuk
mengagungkan atau memuliakan (التعظيم), seperti kata (حرب) dalam Q.S. al-Baqarah (2):279 yang berarti peperangan yang
dahsyat.
4)
Untuk
menunjukkan jumlah yang banyak (التكثير), seperti kata (أجرا) dalam Q.S. al-Syu’ara (26):42 yang berarti pahala yang banyak
(cukup).
5)
Untuk
menghinakan atau merendahkan (التحقير), seperti kata (شيء) dalam Q.S. ‘Abasa (80):19. Maksudnya adalah bahwa dalam ayat
tersebut bermakna manusia diciptakan Allah dari sesuatu yang hina.
6)
Untuk
menyatakan jumlah yng sedikit (التقليل), seperti kata (رضوان) dalam Q.S. at-Taubah (9):72. Maksudnya adalah ridha Allah yang
sedikit, itu lebih besar daripada surga-surga yang ada karena merupakan pangkal
kebahagiaan.[6]
2.
Contoh dan Analisisnya
Dalam konteks kaidah kebahasaan yang diadopsi oleh tafsir,
ditemukan misalnya kaidah yang menyatakan bahwa: “Pengulangan kata yang sama
dalam satu redaksi, bila ia berbentuk ma’rifat (definit), maka kata yang
pertama sama kandungan maknanya dengan kata
yang kedua; sedangkan bila ia berbentuk Nakirah (indefinit), maka
kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang pertama.[7]
Misalnya, kalam Allah dalam Q.S. al-Insyirah (94):5-6.
فإن مع العسر يسرا (5) إن مع العسر يسرا (6)
Artinya:
5.”Karena
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,
6.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Di sini kata (العسر) yang berarti kesulitan, berbentuk Ma’rifah
ditemukan dua kali. Masing-masing pada ayat 5 dan 6. Ini berarti keduanya
mengandung makna yang sama. Berbeda dengan (يسر) yang berbentuk Nakirah, sehingga (يسر) yang pertama berbeda dengan (يسر) yang kedua. Dari sini dipahami bahwa setiap ada satu kesulitan
dapat ditemukan dua kemudahan.[8]
Contoh lain terdapat dalam Q.S. ash-Shaaf (61):7 dan al-An’am
(6):21;
ومن أظلم ممن افترى على الله الكذب وهو يدعى إلى الإسلام , والله لا يهدى القوم الظالمين (7)
Artinya:
7. “Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan Dusta terhadap
Allah sedang Dia diajak kepada Islam? dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang zalim.”(QS.ash-Shaf
[61]:7)
(ومن أظلم ممن افترى على الله كذبا أو كذب بأياته, إنه لا يفلح الظالمون (21
(ومن أظلم ممن افترى على الله كذبا أو كذب بأياته, إنه لا يفلح الظالمون (21
Artinya:
21. “Dan siapakah yang lebih aniaya
daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau
mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak
mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-An’am
[6]:21)
Dalam kedua ayat di atas terdapat
kata (الكذب) dengan memakai (ال), kata ini disebut Ma’rifah dan kata (كذب) tanpa memakai (ال) disebut Nakirah. Setelah diteliti, ternyata perbedaan
itu disebabkan berbedanya konteks ayat-ayat tersebut. Ayat dalam Q.S. ash-Shaaf
tersebut, merupakan gambaran lebih lanjut dari sikap kaum Yahudi yang
mendustakan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah ayat tersebut membawa
kata (الكذب) dengan memakai (ال) sebagai isyarat dari Allah terhadap kedustaan yang telah
mereka lakukan sebelumnya, karena (ال) di dalam struktur bahasa Arab dapat berfungsi sebagai petunjuk
bahwa kata tersebut sudah disebut sebelumnya secara eksplisit (‘ahd dzikr),
atau sebagai petunjuk bahwa makna kata tersebut sudah disebut sebelumnya (‘ahd
dzihn).
Di dalam Q.S. ash-shaaf ayat 7
tersebut, (ال) yang dipakaikan pada awal (الكذب) tersebut berfungsi ‘ahd dzihn karena sebelum kata itu
disebutkan Allah secara eksplisit di dalam ayat tersebut, pada ayat sebelumnya
terdapat indikasi yang kuat bahwa mereka mendustakan al-Qur’an yang dibawa oleh
Rasulullah saw. sebagaimana tergambar dalam pernyataan mereka:
فلما جاءهم بالبينات قالوا هذا سحر مبين (6)
Artinya:
“…Maka tatkala Rasul itu (Muhammad) datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang
nyata." Q.S. ash-Shaaf
(61):6
Ucapan ini mengandung arti bahwa
mereka mendustakan agama Allah yang dibawa nabi Muhammad saw. Pendustaan yang
tersirat itulah, kemudian dinyatakan Allah secara eksplisit dengan menggunakan
(ال) pada kata (الكذب) sehingga kata itu menjadi Ma’rifah. Jadi seolah-olah kedustaan
mereka itu telah dikenal sebelumnya. Adapun hilangnya (ال) pada kata (الكذب) dalam ayat berikutnya (al-An’am), disebabkan
karena redaksi ayat-ayat tersebut berdiri sendiri, tidak seperti ayat yang
pertama itu. Selain itu ada pula faktor yang mendorong untuk mengungkapkan kata
tersebut dalam bentuk Nakirah, yaitu dipakainya kata penghubung (أو) yang berarti atau. Dengan demikian maka konotasi makna kalimat
itu ikut berubah sebab dengan masuknya (أو) redaksinya memberikan pengertian bahwa mereka tidak hanya
sekedar berbohong, melainkan juga berkata yang bukan-bukan terhadap Allah serta
mendustakan ayat-ayat-Nya. Jika memang begitu, mengapa ayat 144 dari al-An’am,
yaitu:
فمن أظلم ممن افترى على الله كذبا ليضل الناس بغير علم, إن الله لا يهدى القوم الظالمين (144)
Artinya:
“…Maka
siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”Q.S.
al-An’am (06):144
Pada ayat di atas juga terdapat kata
(كذبا) tanpa (أل), padahal di dalamnya tidak terdapat kata (أو). Akan tetapi, redaksi yang terletak setelahnya, berkonotasi
bahwa siapa saja yang sesat di antara mereka itu ialah sebagai akibat dari
pemalsuan mereka terhadap ayat-ayat Allah.[9]
Kendati banyak contoh yang
membuktikan kebenaran kaidah ini, namun tidak semuanya demikian. Dapat dilihat
dalam kalam Allah Q.S. az-Zukhruf (43):84 sebagaimana berikut:
وهوالذي في السماء إله وفي الأرض إله, وهو االحكيم العليم (84)
Artinya:
“Dan
Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan
Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.”
Q.S. az-Zukhruf (43):84
Kata (إله) pada ayat ini diulangi dua kali dan keduanya bersifat Nakirah,
sehingga sepintas terkesan ayat ini bermakna bahwa ada Tuhan di langit dan ada
lagi Tuhan yang berbeda di bumi. Ini tentu saja bukan makna yang lurus dan
benar. Dari sini ulama-ulama tafsir, tanpa mempersalahkan kaidah, menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan kaidah (إله) pada ayat tersebut bukan dalam arti dzat Allah, akan tetapi
ketuhanan-Nya. Dengan demikian, ayat di atas bermaksud menyatakan bahwa
ketuhanan Allah berlaku bukan hanya di langit saja atau di bumi saja, akan tetapi
juga pada keduanya.[10]Wallahu
a’lam
C.
Kesimpulan
Setelah dipaparkan isi makalah di atas, maka dapat disimpulkan
bahwasanya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah Ma’rifah-Nakirah,
sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka mengambil makna dari sebuah penafsiran
al-Qur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah bahasa Arab, secara umum juga berlaku
dalam al-Qur’an, karena ia sebagaimana kita ketahui memang diturunkan dalam
bahasa Arab. Jika tanpa menguasai bahasa Arab secara baik, seseorang akan sulit
dalam memahami al-Qur’an.
[2]Nashruddin Baidan, Ibid.,
h.298. Penulis tidak menemukan referensi yang menunjukkan keterangan bahwa gua
yang dimaksud adalah gua Hira, namun yang sudah diketahui secara umum bahwa
tempat Rasulullah saw. dan Abu Bakar melarikan diri dari kejaran orang-orang
Quraisy adalah gua Tsur yang berada di lereng gunung Tsur.
[3]
Al-Zarkasyi, al-Burhan
Fiy Ulum al-Quran-Jilid Empat, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h.
105.
[4]
Nashruddin Baidan, op.cit.,
h.300.
[5]
Al-Zarkasyi, op.cit., h.107.
[6] Usman, Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Teras, 2009) h.264.
[7] M. Quraysh Shihab, membumikan
al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010) h.636.
[8] Ibid., h.636.
[9] Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) h.234-236.
[10] M. Quraysh Shihab, Op.cit.,
h.637.
========================================================
Referensi:
========================================================
Referensi:
Al-Zarkasyi, al-Burhan Fiy Ulum
al-Quran-Jilid Empat, Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001
Baidan, Nashruddin, Metode
Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
________________,
Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Tim
Penyusun, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, Kudus: Menara, 1974.
Usman,
Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2009.
No comments:
Post a Comment