Tafsir al-Mishbah Karya M.Quraish Shihab
Oleh: Ahmad Ashabul Kahfi
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2011
BAB
I
PENDAHULUAN
Dinamika perkembangan ilmu tafsir
dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti jejaknya. Meski lahirnya
bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama kontemporer merumuskan dan
mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan merevolusi tak pernah habis
dimakan zaman. Sehingga karya-karya tafsir ulama era at-Thabari, Ibn Katsir,
Zamakhsyari dan lainnya tersebut mengingspirasi para mufasir baru sebagai
penerus untuk mengembangkan model dalam bentuk karya penafsiran, karena menjadi
sebuah tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber jawaban atas segala
permasalahan di waktu dan tempat mana pun (Shohih likulli zaman wal makan).
Indonesia sebagai salah satu bagian
terpenting dalam sejarah perkembangan Islam, tak luput dari sentuhan tafsir.
Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir dalam kurun waktu yang berbeda dengan
corak, metode, dan subtansinya juga berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh
atau penciptanya serta diwarnai dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang
beragam pula maka perlu ditarik sebuah garis panjang yang menghubungkan antara
satu karya tafsir dari awal hingga karya tafsir kontemporer.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi.
Muhammad Quraish
Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, kabupaten Sidrap (sidenereng,
Rappang), Sulawesi Selatan. Anak ke empat dari Prof. KH. Abdurrahman Sihab
seorang ulama dan guru besar ilmu tafsir yang pernah menjadi Rektor Universitas
Mulimin Indonesia (UMI) dan IAIN Alauddin Makasar.[1]
Prof. KH.
Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan putra-putrinya
tentang islam, yaitu beliau sering sekali mengajak anak-anaknya duduk bersama.
Pada saat inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah
yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah
itu berasal dari al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar al-Qur’an yang sampai saat
ini menjadi sesuatu yang membimbingnya.
Petuah-petuah
tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika
belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun
guna mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun
kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya.[2]
Quraish Shihab
berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958, dan diterima di kelas II Tsanawiyah
al-Azhar. Selama sepuluh tahun lebih dia belajar di negeri pyramid itu. Ia
belajar di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dengan mengambil jurusan
Tafsir-Hadis. Pada tahun 1967 ia lulus Sarjana setingkat S1 bergelar Lc dan dua
tahun kemudian lulus S2 bergelar MA dengan tesis berjudul Al-I’jaz at-Tasyri
li al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan al-Quranul Karim dari segi Hukum).[3]
Kepulangannya ke
Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh ayahnya Quraish Shihab
ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian mendampingi ayahnya
sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi ayahnya yang berusia
lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta
(Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur.
Pada tahun 1980,
ia kembali ke Mesir untuk mengambil gelar doktor di almamaternya, Universitas
al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus doktor untuk bidang ilmu tafsir
al-Qur’an dengan disertasinya yang berjudul Namz ad-Dural li al-Biqa’i
Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian Terhadap Kitab Durar (Rangkuman Mutiara)
Karya al-Biqa’i), serta predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syarif al-‘Ula
(Summa Cum Laude prestasi istimewa).[4]
Selanjutnya
berbagai amanah di embannya sekembalinya ke Indonesia sejak 1984 diantaranya:
a.
Guru Besar Ilmu
Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta (1993).
b.
Menteri Agama
Kabinet Pembangunan VII pada masa pemerintahan Presiden Suharto (1998).
c.
Duta Besar
Republik Indonesia untuk Republik Arab Saudi pada masa pemerintahan Presiden
Habibie dan Abdurrahman Wahid.
d.
Ketua MUI Pusat
(1984)
e.
Lajnah Pentashih
Departemen Agama (1989)
f.
Anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989)
Keilmuan
yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam beberapa organisasi
profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus
Konsorsum Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim Indoneisa (ICMI). Di sela-sela kesibukannya itu, dia juga
terlibah dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
B. Karya-karya
M Qurasih Shihab
Quraish Shihab
dengan keilmuan yang dimilikinya telah menghasilkan banyak karya ilmiah berupa
buku, artikel, maupun kumpulan artikel yang dihimpun menjadi buku. Tercatat
sebanyak 51 karya ia tulis dan diterbitkan.[5]
Namun diantara sekian karya tersebut penulis hanya mencantumkan beberapa karya
dibidang ilmu Tafsir:
a. Tafsir
al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN Alauddin, 1984)
b. Membumikan
al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
c. Studi
Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
d. Wawasan
al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994)
e. Tafsir
al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
f. Hidangan
Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlili (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
g. Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (15 jilid, Jakarta: Lentera
Hati, 2003)
h. Al
Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta:
Lentera Hati)
Dalam hal
penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i
(tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang
tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya
menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an
tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat
al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.[6]
C. Latar
Belakang.
Pengambilan nama
Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab ditujukan agar
tafsir tersebut berfungsi serupa dengan makna Misbah yang berarti lampu, pelita,
lentera atau benda lain yang berfungsi sebagai penerangan bagi mereka yang
berada dalam kegelapan. Sehingga ia berharap tafsir yang ditulisnya dapat
memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi
mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung
karena kendala bahasa.
Tafsir al-Misbah
adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab dan diterbitkan oleh Lentera
Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan selama kurang lebih empat tahun oleh
penulisnya. M. Quraish Shihab memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at
4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423
H/5 September 2003.[7]
Niat awal
menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan tidak lebih dari tiga volume, namun
kenikmatan ruhani justru lebih dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca
dan menulis tafsirnya hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume.
Satu hal yang membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam
penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu surat
yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami menunggu karya
ilmiah pak Quraish yang lebih serius.”[8]
Tafsir
al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz lengkap. Keindonesiaan
penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk
memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna
ayat Allah swt.[9]
D. Metode
dan Sistematika Penulisan.
Dalam sekapur
sirih volume 1 Quraish Shihab menuturkan bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir
Al Mishbah bukan sepenuhnya ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil
karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir
Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk
manuskrip dan menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas al-Azhar,
Kairo dua puluh tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir Pemimpin
tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Tanthawi, Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi
dan tidak ketinggalan Sayyid Quthb, Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad
Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lain.[10]
Quraish Shihab
tidak hanya mengutip atau mengumpulkan buah pikir ulama-ulama yang disebutkan
diatas, melainkan ia lebih mengarahkan kutipan tersebut sebagai apresiasi atas
kekagumannya terhadap pemikiran ulama terdahulu yang dituangkan dalam karya
tafsirnya ini. Bentuk apresiasi itu terwujud dalam komentar yang ia berikan
setelah mengutip karya para ulama. Namun, tidak hanya memberikan apresiasi, ia
juga memberikan pendapat yang kontradiktif dari para ulama, jika dalam
prespektifnya pendapat tersebut tidak sesuai atau salah.
Sistematika
penulisan tafsir al-Mishbah ini dimulai dari penulisan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Setelah itu menguraikan makna-makna
penting dalam tiap kosa kata, makna kalimat, maksud ungkapan. Dalam hal ini
sangat kelihatan kalau dia sangat menguasai bahasa arab. Keahlian bahasa
tersebut bisa dilihat dalam surat Al Fatihah yang penulis kutip dibawah ini:
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
"Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Ayat
pertama Surah Al Fatihah adalah lafadz Basmalah seperti yang tertulis di
atas,ini menurut pendapat Imam Syafi'i yang sudah masyhur di kalangan para
Ulama'. Walaupun ada sebagian ulama' seperti Imam Malik yang berpendapat bahwa
Basmalah bukan termasuk ayat pertama Surah Al Fatihah, sehingga tidak wajib
dibaca ketika shalat saat membaca Surah Al Fatihah.
Basmalah
merupakan pesan pertama Allah kepada manusia, pesan agar manusia memulai setiap
aktivitasnya dengan nama Allah. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan huruf
"ب"
pada lafadz "بسم". Kata Isim terambil dari kata as-Summun yang berarti
tinggi, atau as-Simah yang berarti tanda. Memang nama menjadi tanda bagi
sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Kini timbul pertanyaan: “kalau kata isim
demikian itu maknanya dan kata bismi seperti yang diuraikan diatas maksudnya,
maka apa gunanya kat isim disebut disini. Tidak cukupkah bila langsung saja
dikata Dengan Allah? Sementara Ulama secara filosofis menjawab bahwa nama
menggambarkan substansi sesuatu, sehingga kalau disini dikatakan Dengan Nama
Allah maksudnya adalah Dengan Allah. Kata isim menurut mereka digunakan disini
sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah dari kata tersebut tidak
dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam syair-syair lama penyisipan kata Isim
untuk tujuan tersebut.
Az-Zamakhsyari
dan banyak ulama tafsir mengemukakan bahwa orang-orang Arab, sebelum kehadiran
Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan mereka dengan menyebut nama Tuhan mereka,
misalnya Bismi al-lata atau bismi al-‘uzza’, sementara bangsa-bangsa lain
memulainya dengan menyebut nama raja atau penguasa mereka. Kalau demikian,
memulai pekerjaan dengan nama Allah, berarti pekerjaan itu dilakukan atas
perintah dan demi karena Allah, bukan atas dorongan hawa nafsu.
Kesimpulannya
adalah, setiap hal yang diharapkan darinya keberkatan Allah atau dimaksudkan
demi karena Allah, maka disisipkan kata Isim, sedang bila dimaksudkan demi
permohonan kemudahan dan bantuan Allah maka kata yang digunakan langsung
menyebut Allah / Tuhan tanpa menyisipkan kata Isim. Dalam hadis nabi saw pun
demikian itu halnya. Salah satu do’a beliau adalah Allahuma bika nushbika wa
numsi (Ya Allah dengan Engkau kami memasuki waktu pagi dan petang) yakni dengan
kekuasaan dan iradat-Mu, kami memasukinya. Sebelum tidur beliau berdo’a Bismika
Allahuma Ahya Wa Amut/dengan nama-Mu Ya Allah aku tidur dan bangun yakni demi
karena Engkau aku hidup dan mati. Do’a ini sejalan dan semakna dengan
perintah-Nya: katakanlah : “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, tuhan semesta Alam” (QS al-An’am :162).
Oleh
karena itu, ketika kita memulai suatu pekerjaan dengan “nama” Allah, maka
berdasarkan analisis diatas pekerjaan tersebut diharapkan kekal disisi-Nya.
Disini yang diharapkan kekal bukan Allah-karena Dia adalah Maha Kekal, tetapi
pekerjaan yang dilakukan itulah yang kekal, dalam arti ganjaran yang kekal
sehingga dapat diraih kelak di hari kemudian. Memang banyak pekerjaan yang
dilakukan seseorang, bahkan boleh jadi pekerjaan besar, tetapi tidak berbekas
sedikit pun serta tidak ada manfaatnya bukan hanya diakhirat kelak, didunia pun
dia tidak bermanfaat. Allah berfirman: “Kami hadapi hasil karya merekakemudian
kamijadikan ia (bagaikan) debu yang berterbangan (sia-sia belaka)” (QS
al-Furqan :23).
Penulisan
kata “bismi” dalam basmalah tidak menggunakan huruf “alif”, berbeda dengan kata
yang sama pada suroh Iqra’, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni
menggunakan huruf alif. Persoalan ini menjadi bahasan para pakar dan Ulama.
Pakar tafsir al-qurthubi berpendapat bahwa penulisan tanpa huruf Alif pada
Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat ini sering
ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa
Alif.
Rasyad Khalifah berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf
“alif” pada Basmalah, agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas
huruf, tidak dua puluh. Ini karena 19 mempunyai rahasia yang
berkaitan dengan al-Qur’an.Lafadz Ar-Rahman ar-Rahim adalah dua sifat yang
berakar dari kata yang sama. Agaknya kedua sifat ini dipilih karena sifat
inilah yang paling dominan. Para ulama' memahami kata Ar-Rahman sebagai sifat
Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang
ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang
sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan
antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di
akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh
makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.
الْحَمْدُ
لله رَبِّ الْعَالمِيْنَ
"Segala
puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."
Kata
Hamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap
atau perbuatannya yang baik walaupun ia tidak memberi sesuatu kepada yang
memuji. Inilah bedanya antara hamd dengan syukur. Ada tiga unsure dalam
perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia wajar mendapat pujian,
yaitu: indah(baik), dilakukan secara sadar, dan tidak terpaksa atau dipaksa.
Kata al-hamdu, dalam surah al-Fatihah ini ditunjukkan kepada Allah. Ini berarti
bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya telah memenuhi ketiga unsure tersebut di
atas.
Kalimat
Robbil 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala puji
hanya bagi Allah. Betapa tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Al-hamdu
lillahi robbil'alamin dalam surah al-Fatihah ini mempunyai dua sisi makna.
Pertama berupa pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur
kepada Allah dalam bentuk perbuatan.[11]
Jika melihat
sistematika penulisan dari Tafsir al-Mishbah yang terperinci, maka dapat
dikatakan bahwa metode yang dipakainya dalam menafsirkan adalah metode tahlily.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara
kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan
yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata.[12]
Menurut Quraish
Shihab, ada beberapa prinsip yang dipeganginya dalam karya Tafsir Al-Mishbah,
baik tahlily maupun maudhu’i, bahwa al-Qur’an merupakan suatu
kesatuan yang tak terpisahkan. Maka tidak luput pembahasan ilmu al-munasabat
dalam karyanya ini.[13]
E. Corak
Penafsiran.
Berdasarkan
hasil pengamatan penulis pada Tafsir Al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak
tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Corak tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan
balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai
hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lainnya.
Corak tersebut
sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish Shihab menafsirkan kata هوناَ dalam surat al-Furqan ayat 63
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Arifin Jahari, Lc. Quraish Shihab
menjelaskan:
“Kata (هوناَ)
human berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah
masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian,
maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan.
Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan ( يَمشُونَ
عَلىَ الأَرضِ هَوناً ) yamsyuuna ‘ala al-ardhi
human/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam
arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi
saw mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan
dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang
dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan
ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).
Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas,
kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هوناَ)
human, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada
yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh
atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan
perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad saw, dilukiskan
sebagai yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran
tinggi.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Tafsir Al Mishbah secara lengkap memiliki judul Tafsir Al
Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz dalam 15
volume. Ditulis oleh seorang ulama’ Nusantara ahli Tafsir bernama Muhammad
Quraish Shihab, berasal dari Rappang, Sulawesi Selatan 16 Februari 1944.
Pengarang Tafsir bercorak al-Adabi al-Ijtima’i ini
menghabiskan waktunya selama 4 tahun dalam menyusun karya monumental ini.
Kecondongannya terhadap metode penafsirnya mauhu’i memiliki kekurangan
dan kelebihan yang bisa dilihat dalam karyanya diantaranya yaitu Quraish Shihab
menjelaskan mufradat dari setiap ayat yang dikaji sehingga menghasilkan
pemahaman yang mendalam terhadap ayat. Ia juga termasuk orang yang jujur dalam
menukil pendapat orang lain, ia menyebutkan pendapat orang yang berpendapat
dalam karyanya.
Namun, menurut sebagian umat Islam di Indonesia
menganggap bahwa beberapa penafsiran Quraish Shihab keluar batas kesepakatan
pemahaman, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir
liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab dan isu-isu
keagamaan lainnya.
Tafsir Quraish Shihab oleh sebagian pengamat dinilai
tidak spesifik. Argumen ini dikuatkan dengan keraguan pengamat terhadap latar
belakang penulisan tafsirnya yang berangkat dari kesadaran pribadi penulis atau
memang karena pilihan yang didasari motivasi dari luar untuk mewujudkan karya
tafsir ini.
Selain itu, kritik yang diberikan kepada karyanya ini
juga menitik beratkan pemahaman tauhid Qurais Shihab yang bercorak syi’ah. Ketika
menafsir ayat-ayat berkenaan tentang akidah syi’ah, Qurais Shihab banyak
mengutip pendapat ulama-ulama Syi’ah seperti Thaba’ Thaba’i dan Zamakhsyari,
yang olehnya pendapat tersebut disepakati oleh Qurais Shihab. poin terakhir
kekurangan yang juga tak luput dari pengamat para kritikus, bahwa dalam
mencantumkan hadis, Qurais Shihab kurang memperhatikan keshahihannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003. Vol. 1.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta; Lentera Hati. 2003. Vol. 15.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an:
Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan, 1994.
Suprapto, M. Bibit. Ensiklopedia
Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara.
Jakarta: Galeri Media Indonesia. 2010.
Handoyo, Yusuf Muslim. Skripsi: Konsep Adil menurut Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. Surakarta. 2011.
id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab
[1] M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia
Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara, (Jakarta: Galeri Media Indonesia, 2010), h. 668
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1994), h. 14
[3] M. Bibit Suprapto, Op.Cit,
h. 669
[4] Ibid. h. 669
[5]
id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses 23/Mei/2013, 11:05
[6] Ibid.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta; Lentera Hati,
2003) Vol. 15, h. penutup.
[8] Ibid.
[9] Yusuf Muslim Handoyo, Skripsi:
Konsep Adil menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, (Surakarta,
2011), h. 19
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2003) Vol. 1, h. V
[12] id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab,
Op.Cit.,
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Vol 1, h. xxiii
No comments:
Post a Comment