Labels

Wednesday, June 6, 2012

Proses dan Problematika Nuzulul Qur'an

NUZULUL QUR'AN
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Allah telah menurunkan al-Qur’an kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sebagai petunjuk hidup bagi umatnya. Semua manusia akan senantiasa bahagia hidupnya di dunia dan akhirat jika mengamalkan apapun yang ada di dalam al-Qur’an. Namun kebanyakan dari mereka berpaling dari al-Qur’an disebabkan keraguan mereka atas keotentikan al-Qur’an bahwa ia adalah kalamullah atau hanya karangan Muhammad.
Dari masalah di atas maka harus ditelusuri apakah al-Qur’an itu kalamullah atau karangan nabi Muhammad dengan mengetahui cara-cara dan proses al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi. Sehingga menjadi jelas bagi manusia bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk bagi manusia seluruh alam.
B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membatasi pada masalah:
1.         Pengertian proses turunnya al-Qur’an
2.         Problematika turunnya al-Qur’an
3.         Ayat-ayat yang awal diturunkan dan yang akhir diturunkan
4.         Hikmah diturunkannya al-Qur’an
C.      Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk mengetahui tentang proses turunnya al-Qur’an beserta dalil-dalilnya, ayat-ayat yang awal diturunkan, ayat-ayat yang terakhir diturunkan serta hikmah di balik nuzul al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Nuzul al-Qur’an dan Fase Turunnya
1.    Pengertian nuzul al-Qur’an[1]
Kata nuzul al-Qur’an dalam bahasa arab adalah gabungan dari dua kata yang disebut dengan istilah tarkib idhafi  yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan, turunnya al-Qur’an.
Kata Nuzul adalah akar kata dari nazala, berasal dari bahasa Arab yang berarti: الهبوت من علو إلى سفل  yakni; “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”. Seperti dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَقُلْ رَبِّ أَنْزِلْنِي مُنْزَلا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ (٢٩(
Dan berdo’alah; Ya Tuhanku, turunkanlah aku pada tempat yang diberkahi, karena Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.Q.S.(23):29.
Secara bahasa kata nuzul juga berarti “singgah” atau “tiba di tempat tertentu”. Pengertian ini dalam kebiasaan orang Arab menurut ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqaniy adalah sebagai makna hakiki. Seperti ungkapan orang Arab: نزل الأمير المدينة  , yang dalam bahasa Indonesia menjadi “seorang penguasa singgah atau tiba di suatu tempat”.[2]
Ahmad Sayyid al-Kumi dan Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim mengemukakan; setidak-tidaknya, ada lima makna nuzul, dua diantaranya yang telah disebutkan di atas, sedangkan makna lainnya berarti; الترتيب “tertib, teratur” dan الإجتماع  yang berarti “perkumpulan”. Lalu yang terakhir dapat berarti “turun secara berangsur-angsur dan terkadang sekaligus”.[3] 
Dalam kaitannya dengan makna nuzul yang pertama di atas, ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqaniy menegaskan bahwa pengertian nuzul semacam itu tidak layak diberikan untuk maksud diturunkannya al-Qur’an oleh Allah, karena pengertian tersebut lebih tepat digunakan untuk hal-hal yang berkenaan dengan tempat dan benda atau materi yang memiliki berat jenis tertentu. Sedang al-Qur’an bukanlah semacam benda yang memiliki tempat perpindahan dari atas ke bawah, jadi penggunaan kata nuzul al-Qur’an dimaksudkan dalam pengertian yang majazi, yaitu, sebagai ungkapan yang tidak harus dipahami secara harfiah.[4]
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengertian nuzul al-Qur’an bukanlah tergambar dalam wujud berpindah atau turunnya al-Qur’an dari atas ke bawah, tetapi haruslah dipahami bahwa segenap penghuni langit dan bumi telah dii’lamkan (diberitahukan) oleh Allah mengenai al-Qur’an dengan segala aspeknya. Sehingga jika kata nuzul dita’wilkan dengan kata i’lam, maka akan hilanglah image tentang interpretasi nuzul dalam arti “perpindahan sesuatu dari atas ke bawah”. Sebab pemberitahuan Allah mengenai apapun kepada siapa saja tidak terikat oleh arah tertentu ataupun tempat tertentu. Karena bila Allah hendak mengi’lamkan (memberitahukan) kalam-Nya tidak harus dari atas, sebab Allah tidak mempunyai tempat-tempat tertentu sebagaimana makhluk-Nya. Atas dasar itulah pena’wilan kata nuzul dengan kata i’lam menurut al-Zarqaniy lebih relevan dengan kedudukan dan eksistensi serta didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut;[5]
a.       Sesuatu yang pasti, bahwa al-Qur’an ialah kalam Allah, karena itu, kalam Allah tersebut sangat terkait dengan dalalah dan pemahaman. Dengan demikian, pena’wilan terhadap kata nuzul dangan arti i’lam berarti kembali kepada suatu yang telah diketahui dan dipahami dari apa yang telah terkait tadi (dalalah dan pemahaman).
b.   Bahwa yang dimaksud al-Qur’an yang berada di Lauh al-Mahfuzh dan di langit dunia (bayt al-‘Izzah) serta di dalam hati nabi Muhammad, juga dalam arti bahwasanya al-Qur’an itu telah dii’lamkan oleh Allah kepada makhluk-Nya di bumi sesuai dengan kehendak Allah, sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebenaran.
c.   Bahwa ditafsirkannya lafal inzal, nuzul dengan lafal i’lam dalam konteks ini, hanyalah tertuju kepada al-Qur’an dengan segala yang dikandungnya.
Sedangkan Ibnu Taymiyah, sebagaimana dikutip oleh Kamaluddin Marzuki, ia menyatakan; “baik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ada kata nuzul melainkan dalam pengertian yang lazim, ‘turun dari atas ke bawah’, alasannya ialah karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan bahasa Arab tidak mengenal kata nuzul kecuali dengan makna ini”.[6]
2.    Proses Penurunan al-Qur’an dan Masa Turunnya
Telah diketahui bersama bahwa Allah menurunkan al-Qur’an kepada nabi Muhammad melalui Jibril ‘alaihissalam. Di sini telah terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai cara menurunkan al-Qur’an. Antara lain:[7]
a.    Pendapat pertama mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan melalui tiga tahap.
Tahap pertama;al-Qur’an diturunkan oleh Allah ke Lauh al-Mahfuzh secara sekaligus. Sesuai dengan kalam-Nya:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ (٢١)فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (٢٢)
“Bahkan (yang didustakan mereka itu), ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) di Lauh al-Mahfuzh.” Q.S. (85): 21-22.
Tahap kedua; al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfuzh ke Bayt al-Izzah yang berada di langit dunia. Sesuai dengan kalam-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.. (البقرة : 185)
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan memberikan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut serta sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil.” Q.S. (2): 185.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkati, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.”  Q.S. (44):3
Dan juga kalam-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١)
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Qur’an pada malam kemuliaan (lailah al-Qadar).” Q.S.(97):1.
Ketiga malam yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas menunjukkan satu makna, yaitu pada bulan Ramadhan diturunkannya dari Lauh al-Mahfuzh ke Bayt al-Izzah (langit dunia) secara sekaligus.
Tahap ketiga; al-Qur’an diturunkan dari Bayt al-Izzah (langit dunia)dengan perantaraan Jibril alaihissalam kepada nabi Muhammad untuk pertama kalinya pada tanggal 17 bulan Ramadhan, dan berlanjut secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Pendapat tersebut dianut oleh jumhur ulama. mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an pada ketiga ayat di atas ialah turunnya al-Qur’an secara keseluruhan sekaligus,bukan berangsur-angsur. Sebab ayat-ayat tersebut bukan berbicara tentang permulaan turunnya al-Qur’an. Oleh karena itu, jumhur ulama sepakat untuk mengambil makna lahir dari ayat tanpa mena’wilkannya. Mereka juga memperkuat pendapatnya dengan beberapa hadits shahih dari ibnu ‘Abbas, salah satunya yaitu:
أنزل القرأن جملة واحدة إلى السماء الدنيا ليلة القدر . ثم أنزل بعد ذلك في عشرين سنة , ثم قرأ (ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا-33- الفرقان) (وقرأنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيلا - 106- الإسراء)[8]
“Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian diturunkan (kepada Rasulullah) selama kurang lebih dua puluh tahun. “selanjutnya Ibnu ‘Abbas membacakan”: Dan (tidaklah orang-orang kafir itu) datang kepadamu (membawa sesuatu yang ganjil), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang paling benar dan yang paling baik penjelasannya.”  Q.S. (25):33
“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada manusia, dan kami menurunkannya bagian demi bagian.”  Q.S. (17): 106.  
Menurut Al-Suyuthi, sekalipun hadits tersebut tergolong mauquf (hanya sampai kepada Ibnu ‘Abbas), tetapi mempunyai bobot marfu’ (yang disandarkan) kepada nabi Muhammad. Alasannya adalah, bahwa turunnya al-Qur’an ke Bayt al-Izzah termasuk berita ghaib yang hanya bersumber dari orang-orang ma’shum(Nabi), sedang Ibnu ‘Abbas sendiri terkenal tidak pernah mengambil riwayat isra’iliyyat.karena itulah, maka riwayatnya dihukumi marfu’ . Dengan demikian maka dapat dijadikan argumen yang kuat dalam masalah tersebut.[9]
Menanggapi pernyataan al-Suyuthi yang dikutip oleh Bakar Ismail tersebut, Muhammad ‘Abduh berkata: “riwayat-riwayat ini sama sekali tidak sah. Sebenarnya beberapa tambahan pendapat yang ditambahkan untuk maksud memuliakan Ramadhan. Kita tidak memerlukan riwayat itu. Untuk memuliakan Ramadhan cukup dengan Tuhan menjadikannya bulan berpuasa. Tuhan tidak menerangkan bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus dalam bulan Ramadhan. Dan tidak pula menerangkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Lauh al-Mahfuzh. Maka kalau demikian tetaplah al-Qur’an terpelihara dengan sempurna di Lauh al-Mahfuzh, sesudah diturunkannya dari Lauh al-Mahfuzh itu ke bumi ini”. [10]
Subhi al-Shalih juga menolak pernyataan al-Suyuthi. Ia mengatakan: “saya tidak sejalan dengan pendapat tersebut, kendati didasarkan pada sumber-sumber riwayat yang dianggap benar. Sebab turunnya al-Qur’an dengan cara yang seperti itu termasuk persoalan ghaib yang hanya dapat diterima berdasarkan dalil mutawatir yang meyakinkan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hadits yang bersumber dari riwayat yang shahih atau terpercaya saja tidak cukup untuk mewajibkan kita berpegang pada pendapat tersebut, sebab bagaimana mungkin dapat dijadikan pegangan, padahal al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa wahyu diturunkan secara terpisah dan berangsur-angsur. Penegasan itu menjelaskan, bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan cara demikian itu membangkitkan reaksi kaum musyrikin yang biasa menerima syi’ir-syi’ir dalam jumlah yang banyak sekaligus. Bahkan orang-orang Yahudi sendiri menyatakan, bahwa Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa diterima secara sekaligus. Atas dasar itulah, tidak mengherankan bila mereka mempertanyakan, mengapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur….?”[11] 
b.    Pendapat kedua mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an dalam ketiga ayat di atas adalah, permulaan turunnya al-Qur’an langsung dari Allah melalui Jibril kepada Rasulullah pada malam Qadar(di bulan Ramadhan), kemudian berlanjut secara berangsur-angsur dalam berbagai masa dan waktu, selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian menrurut pendapat ini al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus ke Lauh al-Mahfuzh dan ke Bayt al-Izzah(langit dunia) sebelum disampaikan Jibril ke Rasulullah.
c. Pendapat ketiga mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan ke Bayt al-Izzah(langit dunia) selama dua puluh atau dua puluh tiga atau dua puluh lima kali malam Qadar. Pada setiap malam Qadar(dari malam-malam Qadar itu) telah ditentukan ukuran turunnya untuk setiap tahun. Setelah itu, baru diturunkan kepada Rasulullah secara berangsur-angsur sepanjang tahun yang telah ditentukan tadi sesuai tuntutan kebutuhan. Pendapat ini adalah hasil ijtihad dari sebagian mufassir, namun tidak disertai dengan dalil.
d. Pendapat keempat mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-mahfuzh secara sekaligus, kemudian Jibril menyampaikan (menurunkannya) kepada Rasulullah dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tahun.[12]
Tiga pendapat yang terakhir ini menurut al-Zarqaniy dianggap lebih lemah dibandingkan dengan pendapat pertama. Sebab pendapat yang pertama di atas didukung dan dilandasi dengan dalil-dalil yang cukup kuat.[13]
B.       Problematika Turunnya al-Qur’an
Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur mempunyai dampak dan pengaruh yang mendalam terhadap penyebaran dakwah Islam. Juga berangsur-angsur dalam pewahyuannya, karena ada hikmah-hikmah yang khusus diperuntukkan bagi al-Qur’an, rasul, dan orang-orang yang menerima serta mengikuti perintah-Nya. Akan tetapi, apakah al-Qur’an al-karim adalah kitab samawi satu-satunya yang diturunkan secara berangsur-angsur di antara kitab-kitab samawi lainnya?
Jumhur ulama berpendapat bahwa satu-satunya kitab samawi yang diturunkan secara berangsur-angsur hanyalah al-Qur’an. Pendapat tersebut dilandasi dengan alasan, bahwasanya orang-orang kafir dari penduduk Makkah dan orang-orang Yahudi dari penduduk Madinah mempertanyakan kebenaran turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur dengan mengatakan: "mengapa al-Qur’an tidak diturunkan dengan cara sekaligus sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu?”. Reaksi mereka itu langsung dijawab oleh Allah dengan menjelaskan hikmah-hikmahnya di balik penurunannya secara berangsur-angsur. Hal ini diabasikan oleh Allah di dalam kalam-Nya:[14] 
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
“Orang-orang kafir berkata: mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus? Demikianlah, untuk memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya, dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” Q.S. (25):32-33
Jawaban tersebut menurut al-Zarqaniy menunjukkan kepada dua aspek sekaligus, yaitu:
Pertama : Bahwa al-Qur’an itu memang diturunkan secara berangsur-angsur.
Kedua    : Bahwa kitab-kitab samawi selain al-Qur’an sebelumnya diturunkan secara sekaligus. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama, bahkan hampir merupakan ijma’.
Sedangkan sisi yang dapat memperkuat kedua aspek di atas adalah, bahwa Allah tidak membantah anggapan mereka yang menyatakan, kitab-kitab samawi terdahulu diturunkan dengan sekaligus. Bahkan Allah sendiri manjawab reaksi mereka seperti yang tertuang dalam ayat di atas. Andaikata kitab-kitab samawi terdahulu juga diturunkan secara berangsur-angsur sebagaimana halnya al-Qur’an, maka pasti Allah akan membantah mereka dengan menyatakan kebohongannya, sambil dipermaklumkan kepada mereka, bahwa diturunkannya kitab-kitab itu secara berangsur-angsur adalah merupakan sunnah Allah yang juga telah berlaku sejak nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu, sebagaimana Allah juga telah membantah orang-orang kafir ketika mereka mempertanyakan nabi Muhammad yang makan makanan dan kadang berjalan-jalan di pasar-pasar, seperti pernyataan mereka yang direkam dalam kalam Allah berikut ini:[15]
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ ............ (٧)
“Dan mereka (orang-orang kafir) berkata; mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar-pasar….?” Q.S.(25):7.
Celaan dan cercaan orang-orang kafir tersebut terhadap Rasulullah itu akhirnya dijawab oleh Allah sendiri dalam kalam-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الأسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا (٢٠)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan mereka sesungguhnya memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar…” Q.S. (17): 20.
Sementara itu, Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy tidak sejalan dengan pendapat yang menyatakan, bahwa kitab-kitab selain al-Qur’an semuanya diturunkan dengan cara sekaligus, karena tidak ada dalil yang dianggap pasti dan jelas dalam menetapkan masalah itu. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa semua kitab samawi yang diberikan kepada para nabi dan rasul terdahulu yang diturunkan secara berangsur-angsur sebagaimana halnya al-Qur’an.[16] Pendapat tersebut didukung oleh Muhammad Bakar Ismail, dengan mengatakan, bahwa di antara faktor-faktor yang patut mendapat perhatian dari apa yang dikemukakan oleh al-Qasimiy tersebut adalah sebagai berikut:[17]
1. Bahwa ayat-ayat yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam menetapkan pendapatnya(mengenai diturunkannya kitab-kitab terdahulu selain al-Qur’an secara sekaligus) tidak menunjukkan kepada pengertian yang dapat meyakinkan.
2. Bahwa para nabi dan rasul terdahulu membutuhkan keputusan wahyu, sesuai dengan situasi dan kondisi, sebagaimana nabi kita Muhammad, juga membutuhkan hal itu, karena mereka juga sama-sama menghadapi umat-umat yang angkuh dan melewati batas dalam kesesatannya yang juga tidak kalah angkuhnya dibandingkan dengan penduduk Makkah pada masa Rasulullah.
3. Bahwa para nabi dan rasul terdahulu juga berkepentingan untuk membantah kesaksian-kesaksian yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang musyrik dengan wahyu yang diturunkan kepada mereka. Sebagaimana Rasulullah juga berkepentingan untuk itu. Sebab, dsar-dasar ikatan akidah (agama) adalah satu, dan kerasnya hati orang-orang musyrik itu, juga tidak jauh berbeda. Oleh karena itulah, bahwa turunnya seluruh kitab samawi secara berangsur-angsur adalah merupakan suatu keharusan bagi mereka, baik ditinjau dari sudut syara’ maupun logika.
C.      Ayat-ayat yang Mula-mula Diturunkan
Di dalam al-Qur’an tidak ada keterangan yang menyatakan mana ayatnya yang mula-mula diturunkan. Hasbi ash-Shiddieqy menyatakan bahwa ia hanya memperoleh beberapa riwayat yang menerangkan sebab-sebab dan keadaan-keadaan turun ayat yang dipandang  sejarah al-Qur’an menjadi ayat-ayat yang mula-mula diturunkan.
Kebanyakan riwayat menerangkan, bahwa permulaan al-Qur’an yang diturunkan itu, ialah: lima ayat yang pertama dari surat 96:al-‘Alaq. Akan tetapi ada juga beberapa riwayat yang menerangkan bahwa yang mula-mula diturunkan ialah surat al-Fatihah. Dan ada pula riwayat yang menerangkan surat adl-Dluha, sebagaimana ada riwayat yang menerangkan bahwa ayat-ayat yang mula-mula diturunkan ialah: beberapa ayat dari permulaan surat al-Muddatstsir. Dan ada pula riwayat yang member pengertian, bahwa yang mula-mula diturunkan, ialah ayat dari permulaan surat al-Muzzammil.
Sebagian pentarjih menguatkan bahwa ayat-ayat yang mula-mula diturunkan ialah permulaan surat al-‘Alaq. Mufassir Ibnu Katsir menguatkan paham ini. Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak mengandung urusan dakwah dan ayat-ayat itu bersifat menyiapkan Rasulullah untuk menerima tugas. Lagipula urutan-urutan surat  dari para sahabat semuanya menetapkan surat al-‘Alaq itu permulaan surat yang diturunkan (surat yang mula-mula turunnya). [18]
Sesungguhnya dalam soal ini  Hasbi ash-Shiddieqy memperoleh banyak riwayat. Sesudah riwayat-riwayat itu disaring ternyata pendapat yang benar berlawanan dengan jumhur ulama yang berpegang kepada Ibnu Ishaq itu(malam 17 Ramadhan).
Bahwasanya permulaan al-Qur’an-secara mutlak- diturunkan, adalah pada bulan Rabi’ul awal, sebagaimana yang ditetapkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dan al-Mas’udi, saat Rasulullah berkhalwat di dalam gua Hira’, dan yang diturunkan pada malam itu, permulaan surat al-‘Alaq. Dengan turunnya ayat tersebut menjadikan Muhammad seorang nabi atau mencapailah Muhammmad kepada derajat nubuwwah[19].
Dan inilah sebabnya surat tersebut dimulai dengan:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)(العلق: 5-1)
Inilah yang mula-mula diturunkan. Dengan ayat itulah Muhammad dinyatakan menjadi nabi. Dan yang demikian itu terjadi dalam bulan Rabi’ul Awwal pada tanggal 8.
Sesudah itu barulah diturunkan kalam Allah dalam surat al-Muddatstsir.
 يا أيها المدثر.... (المدثر:5-1  )
Dengan turunnya ayat ini, Muhammad mencapai derajat risalah atau menjadi Muhammad Rasulullah. Inilah yang diturunkan dalam bulan Ramadhan.
Dengan keterangan yang ringkas ini dapatlah kita simpulkan bahwa malam diturunkan al-Qur’an yang dengan turunnya Muhammad menjadi rasul, dalam bulan Ramadhan yang paginya hari jum’at dan itulah malam mubarakah yang disebut dalam surat ad-Dukhan.
Kalau demikian perayaan yang dilakukan umat Islam pada masa akhir-akhir ini yaitu pada tiap-tiap malam 17 Ramadhan, adalah sebagai malam permulaan turunnya al-Qur’an yang mengenai kerasulan Muhammad. Dengan ibarat yang lain boleh kita katakan: malam Muhammad diangkat Allah menjadi rasul yang membawa rahmat bagi segala alam, dan bukanlah malam itu malam permulaan turunnya al-Qur’an secara mutlak. Malam 17 Ramadhan ialah malam permulaan turun al-Qur’an secara muqayyad, yakni dikaitkan dengan permulaan ayat yang mengenai risalah.[20]
D.      Ayat-ayat yang Terakhir Diturunkan[21]
Jumhur ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya al-Qur’an ialah hari Jum’at 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah atau tahun 63 dari kelahiran nabi bertepatan dengan Maret 632 M.
Pada saat itu Rasulullah sedang berwukuf di padang ‘Arafah dalam menyelenggarakan haji yang terkenal dengan haji wada’. Kebanyakan ulama tafsir menetapkan bahwa sesudah hari itu tak ada lagi al-Qur’an yang diturunkan untuk menerangkan hukum dan Rasulullah pun hidup setelahnya selama 81 malam. Ahli sejarah menetapkan bahwa Rasulullah hidup setelahnya selama kurang lebih 3 bulan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah, hari Senin bertepatan dengan tanggal 7 Juni 632 M.
Sedangkan ayat yang terakhir diturunkan menurut pendapat jumhur ulama ialah:
...الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا .... (٣)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku pilih (Aku ridhoi) Islam menjadi agamamu.”  Q.S. (5):3.
Menurut riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, akhir surat yang diturunkan, ialah surat an-Nashr. Demikianlah pendapat yang masyhur dalam kalangan ulama. Dan di samping ini ada lagi beberapa riwayat lain yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Yang masyhur daripadanya  ialah yang telah kami sebutkan di atas. Riwayat-riwayat itu telah diterangkan al-Suyuthi dalam al-Itqan.
Apa yang telah diterangkan di atas adalah pendapat yang masyhur di masyarakat. Dan pendapat ini memberikan pemahaman bahwa akhir turun al-Qur’an, ialah pada hari ‘Arafah. Menurut penjelasan Rasyid Ridha, Imam Ibnu Jarir menukilkan dalam tafsirnya, bahwa para ulama sepakat menetapkan bahwasanya wahyu tidak pernah berhenti turunnya kepada Rasulullah hingga beliau wafat. Bahkan saat beliau hampir wafat lebih sering lagi turunnya wahyu. Menurut pentahqikan sebagian ahli, bahwa ayat tersebut turun di ‘Arafah. Dan antara hari ‘Arafah dengan wafat Rasulullah masih lama lagi, yaitu 81 malam.
Al-Suyuthi menjelaskan dalam al-Itqan: “Dalam menetapkan akhir ayat diturunkan, ada perselisihan pendapat para ulama”.  Di dalam kitab itu, beliau menyebut beberapa riwayat. Dan yang paling rajih dalam riwayat-riwayat itu, ialah riwayat al-Nasa’i melalui jalur ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata: “penghabisan ayat yang diturunkan, ialah:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٢٨١)
“Dan takutlah kamu akan hari yang kamu dikembalikan padanya kepada Allah, kemudian disempurnakan kepada tiap-tiap jiwa apa yang ia telah usahakan, dan mereka tiada dianiaya.” Q.S. (2):281”.
Pendapat ini sesuai dengan kesepakatan ulama terhadap kekalnya turun wahyu setelah haji wada’ hingga wafatnya Rasulullah, seperti yang telah dijelaskaan Ibnu Jarir. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id Ibnu Jubair, ia berkata:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٢٨١)
“Dan takutlah kamu akan hari yang kamu dikembalikan padanya kepada Allah, kemudian disempurnakan kepada tiap-tiap jiwa apa yang ia telah usahakan, dan mereka tiada dianiaya.” Q.S. (2):281”.
Rasulullah masih hidup setelah turun ayat ini sampai sembilan malam, kemudian meninggal pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa akhir ayat yang diturunkan mengenai hukum ialah pada hari ‘Arafah. Sedangkan ayat-ayat yang turun sesudahnya tidak lagi mengenai hukum.
E.       Hikmah al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur
Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur dapat dikatakan sebagai kebutuhan kaum muslimin pada saat itu. Karena di balik itu terdapat hikmah-hikmah dan kemahabijaksanaan Allah yang teramat tinggi nilainya bagi mereka, di samping rahasia-rahasia (yang positif) yang banyak. Di antara hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dimaksud adalah sebagai berikut:[22]
1. Meneguhkan dan menguatkan pendirian hati Rasulullah, manakala orang-orang musyrik menyakiti beliau dan para sahabatnya sesuai dengan kalam Allah:
...كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ .... (٣٢)
وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ .... (١٢٠)
2.  Mempermudah penghafalan al-Qur’an oleh Rasulullah dan juga pemahaman oleh para sahabatnya , sebab kebanyakan dari mereka adalah orang-orang ummy (tidak dapat membaca dan menulis) sebagaimana kalam Allah:
... وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا (١٠٦)
3. mempermudah umat pada saat itu untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela secara berangsur-angsur, sekaligus juga, mempermudah bagi mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tuntutan syara’, sebagaimana yang terjadi pada proses pengharaman khamar dan riba.
Proses pertama:
Pengharaman khamar misalnya, dapat dilihat dalam kalam Allah:
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٦٧)
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itubenar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)bagi orang-orang yang berakal.” Q.S. (16): 67.
Proses kedua:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا .... (٢١٩)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi; katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” Q.S. (2): 219.
Proses ketiga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ .... (٤٣)
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu melakukan shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….” Q.S. (4): 43.
Proses keempat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠)إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.”
Sesungguhnya syetan itu, bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (minuman) khamar dan berjudi itu, menghalangi kamu dari mengingat Allah, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) Q.S. (5): 90-91.
4. Mengiringi peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi, dengan memberikan perhatian penuh, dan sekaligus sebagai koreksi atas kesalahan yang dilakukan. Sesuai dengan kalam Allah:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (٢٥)
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai orang-orang beriman) di berbagai medan pertempuran, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi “congkak” karena banyaknya jumlahmu, maka ternyata jumlah yang banyak itu tidak dapat member manfaat sedikit pun kepadamu, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu,kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” Q.S. (9): 25.    
5. Menolak keraguan-keraguan yang ditimbulkan oleh orang-orang musyrik serta menumbangkan alasan-alasan bathil yang diajukan dengan memperkokoh kebenaran yang diberikan. Sesuai kalam Allah:
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kapadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,[23]melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." Q.S. (25): 33.
6.  Menunjukkan segi-segi I’jaz al-Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji baik dalam susunan kata-kata dan kalimat maupun pensyariatannya. Karena, meskipun diturunkan kurang lebih selama dua puluh tiga tahun, dalam waktu-waktu tertentu dan mengandung beraneka ragam hukum serta didahului oleh kasus yang berbeda-beda, susunannya sangat mengagumkan. Yang mana tidak terdapat sedikit pun kerancauan kalimatnya serta tidak pula terjadi tumpang tindih antar makna yang satu dengan makna yang lain.
BAB III
SIMPULAN
Pengertian nuzul al-Qur’an bukanlah tergambar dalam wujud berpindah atau turunnya al-Qur’an dari atas ke bawah, akan tetapi haruslah dipahami bahwa segenap penghuni langit dan bumi telah dii’lamkan (diberitahukan) oleh Allah mengenai al-Qur’an dengan segala aspeknya. Sehingga jika kata nuzul dita’wilkan dengan kata i’lam, maka akan hilanglah image tentang interpretasi nuzul dalam arti “perpindahan sesuatu dari atas ke bawah”. Sebab pemberitahuan Allah mengenai apapun kepada siapa saja tidak terikat oleh arah tertentu ataupun tempat tertentu.
Para ulama mempunyai perbedaan pendapat dalam teknis turunnya:
a.    Pendapat pertama mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan melalui tiga tahap.
-          Tahap pertama;al-Qur’an diturunkan oleh Allah ke Lauh al-Mahfuzh secara sekaligus.
-          Tahap kedua; al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfuzh ke Bayt al-Izzah yang berada di langit dunia
-          Tahap ketiga; al-Qur’an diturunkan dari Bayt al-Izzah (langit dunia)dengan perantaraan Jibril alaihissalam kepada nabi Muhammad
b.  Pendapat kedua mengatakan al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus ke Lauh al-Mahfuzh dan ke Bayt al-Izzah(langit dunia) sebelum disampaikan Jibril ke Rasulullah.
c.  Pendapat ketiga mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan ke Bayt al-Izzah(langit dunia) selama dua puluh atau dua puluh tiga atau dua puluh lima kali malam Qadar.
d. Pendapat keempat mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-mahfuzh secara sekaligus, kemudian Jibril menyampaikan (menurunkannya) kepada Rasulullah dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tahun.
Pendapat yang pertama di atas dianggap lebih kuat karena didukung dan dilandasi dengan dalil-dalil yang cukup kuat.
Al-Qur’an-secara mutlak- diturunkan  pada bulan Rabi’ul awal menurut Ibnu ‘Abdil-Barr dan al-Mas’udi, yaitu saat Rasulullah berkhalwat di dalam gua Hira’, dan yang diturunkan pada malam itu adalah permulaan surat al-‘Alaq. Dengan turunnya ayat tersebut menjadikan Muhammad seorang nabi atau mencapailah Muhammmad kepada derajat nubuwwah. Sedangkan malam 17 Ramadhan ialah malam permulaan turun al-Qur’an secara muqayyad, yakni dikaitkan dengan permulaan ayat yang mengenai risalah.
Ayat yang terakhir diturunkan menerangkan hukum menurut pendapat jumhur ulama ialah:
...الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا ....(٣)
Al-Suyuthi menjelaskan dalam al-Itqan: “Dalam menetapkan akhir ayat yg diturunkan, ada perselisihan pendapat para ulama”. Dan yang paling rajih dalam riwayat-riwayat itu, ialah riwayat al-Nasa’I melalui jalur ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata: “penghabisan ayat yang diturunkan, ialah:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٢٨١)
Di antara hikmah-hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah:
a)        Meneguhkan dan menguatkan pendirian hati Rasulullah.
b)        Mempermudah penghafalan al-Qur’an oleh Rasulullah dan juga pemahaman oleh para sahabatnya.
c)      mempermudah umat pada saat itu untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela secara berangsur-angsur, sekaligus juga, mempermudah bagi mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tuntutan syara’.
d)       Mengiringi peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi, dengan memberikan perhatian penuh, dan sekaligus sebagai koreksi atas kesalahan yang dilakukan.
e)       Menolak keraguan-keraguan yang ditimbulkan oleh orang-orang musyrik serta menumbangkan alasan-alasan bathil yang diajukan dengan memperkokoh kebenaran yang diberikan.
f)     Menunjukkan segi-segi I’jaz al-Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji baik dalam susunan kata-kata dan kalimat maupun pensyariatannya.

Oleh: Khoerul Anam

[1] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:Teras, 2009), h.37.
[2] Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,(t.tp. : al-Babi al-Halabi, t.th.), h.41.
[3] Ahmad Sayyid al-Kumi dan Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim, ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Kulliyat Ushul al-Din, Jami’at al-Azhar, 1976), h.23.
[4] Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit.
[5] Ibid., h.42-43.
[6] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), h.24.
[7]Manna’Al-Qaththan, , Mabaahits Fiy ‘Uluumil-Qur’an. Cet.III. (Riyadh: Mansyuurat al-Asri al-Hadits. 1973), h.101-102.
[8] HR. Hakim, Baihaqi, dan Nasa’i.
[9] Muhammad Bakar Ismail, Diraasat Fiy “Uluumil-Qur’an. (Kairo: Dar al-Manaar. 1991.), h.29.
[10]TM  Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir.Cet.VI. (Jakarta: Bulan Bintang. 1974. ), h.52.
[11] Subhi al-Shalih, Mabaahits fi ‘Ulum al-qur’an, (Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Milayim, 1972), h.51.
[12] Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit., h.46.
[13] Usman, op.cit., h.48.
[14] Manna’Al-Qaththan, op.cit., h.106.
[15] Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit., h.52-53.
[16] Muhammad Bakar Ismail, op.cit., h.33.
[17] Ibid., h.17.
[18] TM  Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h.44.
[19] Nubuwwah ialah kenabian atau memperoleh wahyu dari Allah dengan tidak mendapat tugas menyampaikan kepada umat.      
[20] TM  Hasbi Ash-Shiddieqy, ibid., h.44-48.
[21] Ibid., h.48-50.
[22] Muhammad Bakar Ismail, op.cit.,  h.34-35.
[23] Maksudnya, setiap kali orang-orang musyrik dan orang-orang kafir itu datang kepada Rasulullah membawa sesuatu yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah selalu menolak dan membantahnya dengan sesuatu yang benar dan nyata. 

No comments:

Post a Comment