Oleh : Lukluk il Maknun
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2010
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy
lahir di Lhokseumawe, pada tanggal 10 Maret 1904. Meninggal di Jakarta pada
tangal 1957. Seorang Ulama Indonesia , ahli ilmu fiqh, Ushul Fiqh, Hadits,
Tafsir, dan Ilmu Kalam. Ayahnya adalah Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi
Hesein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan
mempunyai sebuah pesantren(meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti
Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang qadhi kesultanan
Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu
Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama. Ia sebagai generasi yang ke-37 dari
khalifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.[1]
B.
Pendidikan
dan Sejarah Keilmuan.
Pendidikan agamanya di awali di dayah
(pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai
dayah dari satu kota ke kota yang lain. Pengetahuan Bahasa Arabnya di peroleh dari
Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada
tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad,
sebuah organisasi keagamaan yang di dirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati, ulama
yng berasal dari Sudan dan belajar dengannya selama 2 tahun.
Disitulah ia mengambil pelajaran
takhassus(spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Karena belajar
kepada Syekh Ahmad Soorkati yang mempunyai pemikiran modern ketika itu, maka Al-Irsyad
dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang
modern sehingga setelah kembali ke Aceh Hasbi langsung bergabung dengan
keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal ia
terlibat secara aktif mewakili partai Masyumi dalam perdebatan ideologi di
konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkosentrasikan
diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan
fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama
yang produktif menuliskan ide pemikiran keislmannya Karya tulisnya mencakup
berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan buku yang ditulisnya
berjumlah 73 judul sebagian besar karyanya adalah tentang fann ilmu fiqih .
Bidang lainnya adalah hadits dan tauhid sedangkan selebihnya adalah tema-tema
yang bersifat umum.[2]
Hasbi ash-Shiddieqy merupakan
seorang ulama’ Indonesia yang terkenal. Beliau memiliki kepekaan dalam bidang
ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits, dan ilmu kalam. Hasbi ash-Shiddieqy
telah dianugerahkan dua gelaran Doctor Honoris Cause sebagai penghargaan di
atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan
ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperolehi dari
Universiti Islam Bandung dan (UMSBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan
KalijagaYogyakarta pada 29 Oktober 1975.[3]
Diantara karya-karya Hasbi adalah:
1.
Tafsir al-Qur’anul ajid an-Nur
2.
Ilmu-ilmu
al-Qur’an
3.
Sejarah
dan pengantar Ilmu al-Qur’an
4.
Tafsir
al-Bayan
5.
Mutiara
Hadits
6.
Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits
7.
Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits
8.
Koleksi
Hadits-hadits Hukum
9.
Hukum-hukum
Fiqh Islam
10.
Pengantar
Ilmu Fiqih
11.
Pengantar
Hukum Islam
12.
Pengantar
Fiqih Mu’amalah
13.
Fiqih
Mawaris
14.
Pedoman
Shalat
15.
Interaksi
Fikih Islam dengan Syari’at Agama Lain (Hukum Antar Golongan)
16.
Pidana
Mati Dalam Syari’at Islam. Dan masih ada
karangan lainnya.
C.
Pemikiran.
Diantara pemikirannya adalah
mengenai ijtihad dalam ilmu fiqih. Seperti ulama’ lain, Hasbi ash-Shiddieqy
berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan
perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakupi semua aspek kehidupan
manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun hubungan dengan
Tuhannya. Syariat Islam yang bersumberkan wahyu Allah swt, difahami oleh umat
Islam melalui metode ijtihad untuk diadaptasikan setiap perkembangan
yang berlaku dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudiannya melahirkan fiqh.
Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang
terkenal adalah imam-imam mujtahid mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik,
al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal.
Menurut
Hasbi ash Shiddieqy, kebanyakan umat Islam, khususnya di Indonesia tidak membedakan
antara syariat asal dari Allah swt dan fiqh yang merupakan ijtihad ulama.
Selama ini terdapat masyarakat Indonesia yang yang cenderung menganggap fiqh
sebagai syariat yang bersifat absolut. Akibatnya kitab-kitab fiqih yang di
tulis oleh imam-imam madzhab di pandang sebagai syari’at, walaupun terkadang
relevansi pendapat imam madzhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji
ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari
situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkunga geografis mereka. Tentu saja
hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang.[4]
Menurutnya,
hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai
dengan keperibadian bangsa Indonesia. Terlalu cenderung mengikut mazhab imam-imam
tersebut. Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, beliau memberika
terobosan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang berkeperibadian Indonesia
baik dari segi latar belakang sosiokultur maupun religi masyarakat Indonesia.
Menurutnya, umat Islam harus menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar
belakang masyarakat Indonesia. Namun begitu begitu, tidak berarti ijtihad ulama
terdahulu harus dibuang sama sekali, tetapi harus diteliti dan dipelajari
secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat
ulama’ dari mazhab manapun, asalkan sesuai dan relevan dengan situasi
masyarakat Indonesia dapat diterima dan diterapkan.
Dan
untuk menuju hal yang demikian ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan:
Pertama ijtihad dengan mengklasifikasikan
hukum-hukum produk ulama madzhab pada masa lalu supaya dapat dipilih manakah
pendapat yang masih cocok untuk diterapkan di masyarakat.
Kedua ijtihad dengan mengklasifikasikan
hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adatkebiasaan dan suasana
masyarakat dimana hukum itu berkembang. Hukum ini menurutnya berubah sesuai
dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap
masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi seperti transplantasi organ tubuh, bank asuransi dan inseminasi
buatan.[5]
Selain dari pemikirannya dalam hal
fiqih kaitannya dengan ijtihad, hasbi juga memiliki beberapa pemikiran sendiri
terkait dengan masalah hukum, zakat dan lainnya.[6]
D. Tafsir an-Nur Karya Hasbi
ash-Shiddieqy.
Karya
tafsir pertama yang di hasilkan oleh Hasbi adalah tafsir an-Nur. Kitab ini disebut-sebut
sebagai karya monumental, mulai di garap pada tahun 1952 hingga 1961
disela-sela kesibukannya mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota
konstituate dan kegiatan yang lainnya. Penulisan kitab ini tidak seperti
lazimnya penulisan karya ilmiah yang lain, mengingat tidak adanya peluang bagi
Hasbi untuk mengikuti secara konsisten tahap-tahap kerja seperti pada umumnya
penulis. Dengan bekal semangat dan pengetahuan dan dambaannya Hasbi berusaha menghadirkan
sebuah kitab tafsir di Indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan.
Adapun
alasan mengapa kitab ini di namakan dengan an-Nur, ia mengutip
sebagimana yang dikatakan oleh al-Khazin dalam menanggapi karya-karya tafsir
yang muncul dari kalangan orang Barat, bahwa Karya tafsir yang dihasilkan orang
Barat tidak di sertai kebersihan dan kesesuaian jiwanya dengan ketinggian dan
kemurnian jiwa Islam. Mereka menulisnya sebagi pengetahuan bukan sebagai suatu
kaidah yang harus dipertahankan dan dikembangkan, maka mereka tidak menulis
tafsir tersebut dibawah sinaran ilmu. Dan dengan disertai harapan taufik dan
inayah dari Allah serta berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad dan kitab sirah yang terkenal Hasbi
menyusun kitab tafsir ini.[7]
Karena
terlalu akrab dengan sumber bacaan bahasa Arab maka struktur dan istilah bahasa
Arab terbawa serta dalam karya tulisannya yang bisa berakibat menjadi sulit di
pahami oleh pembaca yang tidak menguasai bahasa Arab, selain itu bahasa
Indonesia tahun 1990-an sampai saat ini telah mengalami pengembangan dari
bahasa yang dipakai pada tahun 1950-an ketika kitab ini dikerjakan.
Tafsir an-Nur pertama kali terbit
pada tahun 1956 setelah tiga kali di terbitkan antara yang pertama kali hingga
tahun 1976. Adapun kitab yang di maksud ini telah di sunting oleh dua putra
Hasbi yakni Nourouzzaman dan Fuad Hasbi pada juli 1993, terbit pada tahun 2000
oleh percetakan Pustaka Rizki Putra Semarang.
Kitab Ini adalah kitab tafsir lengkap pertama karya ulama ahli
tafsir Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Tafsir ini mudah dicerna oleh
semua golongan masyarakat, dari para peneliti sampai para pemula.[8]Tafsir An-Nur
menggunakan dua metode sekaligus, yaitu mudhi'i tahlili karena dibuat
berdasarkan urutan dan susunan Al-Qur'an, ayat per ayat dan surah per surah,
dengan bentuk penyajian yang rinci, dan juga metode maudhu'i (tematik)
karena sebelum menjelaskan tafsir suatu surah terlebih dahulu dijelaskan
gambaran umum surah tersebut.[9]
Corak penafsiran dari kitab ini adalah umum,
dan bentuk penafsirannya adalah bil ma’tsur dan sebagian dengan ra’yu.[10]
Sistem yang di pakai dalam
penyusunan tulisan kitab ini adalah sebagai berikut:
Sebagaimana
telah diketahui bahwa ada tiga metode penafsiran yang disepakati oleh para
ulama Salaf atau mutaqaddimin, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, disebut juga tafsir
bi al-riwayat atau tafsir bi al-manqul (menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
riwayat dari Rasulallah, Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin), tafsir bi al-ra’yi
was al-ijtihad, disebut juga tafsir bi al-dirayat atau tafsir bi al-ma’qul
(menafsirkan al-Qur’an dengan bersandarkan kepada rasio dan olah piker serta
penelitian terhadap kaidah-kaidah bahasa), dan tafsir bi al-isyarat atau tafsir
isyari (disandarkan kepada tafsir sufiyah, yaitu menafsirkan al-Qur’an bukan
dengan zahirnya, melainkan dengan suara hati nurani).[11]
Sementara
itu para ulama khalaf atau mutaakhkhirin kemudian mengembangkan metode tafsir
menjadi tafsir tahlily (menafsirkan al-Qur’an dengan penguraian yang luas ,
dengan menyingkap seluruh maksudnya dan dan meneliti semua aspeknya), tafsir
ijmaly (menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan global), tafsir
maudlu’iy (menafsirkan al-Qur’an berdasarkan satu tema atau judul khusus), dan
tafsir muqarin (menafsirkan dengan cara membandingkan suatu ayat dengan
pendapat ulama).[12]
Terdapat
perbedaan diantara para ahli ilmu tafsir dalam menetapkan mana yang dimaksud
dengan metode, corak, bentuk, dan sumber tafsir. Sebagian menjadikan tafsir bi
al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sebagai metode tafsir, ada yang memasukkannya
dalam corak tafsir , namun ada yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk
tafsir, sementara itu ada juga yang mengkatagorikan sebagai sumber
tafsir. Selain dari yang di sebutkan, ada
beberapa perubahan diantaranya
meninggalkan penafsiran yang tidak berhubungan langsung dengan ayat
supaya pembahasan tidak terlalu melebar, membubuhkan note pada tiap-tiap ayat
yang di terangkan dalam satu pembahasan, dan menyebutkan nomor surat dan ayat
yang hendaknya di baca dan diperhatikan sebagai kelanjutan.[13]
Dalam penulisan kitab ini, Hasbi beepedoman kepada sejumlah kitab
tafsir induk diantaranya adalah ‘Umdatut Tafsir ‘anil Hafidz Ibnu Katsir,
Tafsir al-Manar, Tafsir al-Qasimy, Tafsir al-Maraghy, dan Tafsir
al-Wadhih. Dalam menerjemahkan ayat ke bahasa Indonesia berpedoman pada
tafsir Abu Su’ud, Tafsir as-Shiddiqi Hasan Khan dan Tafsir al-Qasimy.
Mengenai materi tafsir di ambilkan dari inti sari tafsir yang di i’tibarkan
kebanyakan dari al-Maraghi yang mengikhtisarkan uraian al-Manar
begitu pula ayat dan hadits juga di bandingkan dari kitab induk al-Maraghi
dan al-Qasimy.[14]
E.
Metode
Penafsiran.
Sistem
yang dipakai dalam penafsiran kitab ini adalah:
1.
Menyebut satu, dua atau tiga ayat yang
difirmankan Allah untuk membawa suatu maksud, menurut tertib mushaf.
2.
Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa
Indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan memperhatikan makna-makna
yang dikehendaki masing-masing lafal.
3.
Dalam menafsirkan ayat-ayat dengan menunjuk
kapada sari patinya.
4.
Menerangkan ayat-ayat yang terdapat di lain
surat, atau tempat yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan,
atau yang sepokok, supaya pembaca mudah mengumpulkan, ayat-ayat yang sepokok dan
ayat-ayat itu dapat ditafsirkan oleh ayat-ayat sendiri.
5.
Menerangkan sebab-sebab turun ayat, jika
diperoleh atsar yang shahih yang diakui shahihnya oleh ahli-ahli atsar
(ahli-ahli hadits).
Jika di tela’ah metode penyusunan tafsir an-Nuur ini, maka dapat dikatakan bahwa tafsir an-Nuur menggunakan metode ijmaliy sebagaimana sering ditemui dalam karya-karya tafsir dari mufassir Indonesia. Metode ijmali merupakan suatu metode yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan uraian yang singkat dan dalam bentuk global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat sebatas artinya dan tidak menyinggung hal-hal lain selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan mufassir ayat demi ayat dan surat demi surat al-Qur’an, sesuai dengan urutannya dalam mushaf Utsmaniy. Kadangkala pada ayat-ayat tertentu mufassir menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulullah atau pendapat ulama yang saleh.
Tafsir an-Nuur
umumnya mengawali tafsir suatu surat dengan menyebutkan nama-nama lain dari
surat tersebut, tempat turunnya, jumlah ayat, dan sejarah turunnya jika ada.
Kemudian disebutkan kandungan isi dari surat tersebut dan mengaitkan surat
tersebut dengan surat sebelumnya. Setelah itu, baru masuk kepada penafsiran
ayat ayat dengan mengetengahkan pandangan penulis terhadap pemahaman ayat-ayat
tersebut, dan juga mengutip pandangan para ulama tafsir lainnya, baik dari kalangan
salaf maupun khalaf, di seputar masalah itu. Di samping itu penulis juga
menuliskan hadits-hadits yang yang memiliki relevansi dengan suatu ayat sebagai
bentuk penjelasan terhadap maksud ayat tersebut, atau pendapat seorang ulama tentang
masalah tersebut. Hasbi kemudian mengakhiri penafsirannya dengan suatu
kesimpulan terhadap kandungan ayat-ayat yang telah ditafsirkan. Namun sebelum
memberi kesimpulan akhir terhadap penafsiran satu atau beberapa ayat, penulis
ada kalanya menyertakan asbab al-nuzul ayat jika memang dijumpai ada riwayat
yang menyebutkan sebab turunnya.
Sebagian para pembaca tafsir ini menyatakan bahwa tafsir an-Nuur memiliki kemiripan dengan tafsir Al-Maraghi. Hal ini dijawab oleh Ash-Shiddieqy dalam muqaddimah tafsirnya bahwa memang ia merujuk kepada kitab tafsir al-Maraghi, disamping kitab-kitab tafsir lain seperti al-Manar, Tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Qasimy, dan tafsir al-Wadhih Ash-Shiddieqy merasa perlu untuk menyebutkan bagaimana sistematika yang dipergunakannya dalam penafsirkan untuk menolak anggapan bahwa karya tafsirnya ini merupakan jiplakan dari karya tafsir lain.[15]
Sebagian para pembaca tafsir ini menyatakan bahwa tafsir an-Nuur memiliki kemiripan dengan tafsir Al-Maraghi. Hal ini dijawab oleh Ash-Shiddieqy dalam muqaddimah tafsirnya bahwa memang ia merujuk kepada kitab tafsir al-Maraghi, disamping kitab-kitab tafsir lain seperti al-Manar, Tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Qasimy, dan tafsir al-Wadhih Ash-Shiddieqy merasa perlu untuk menyebutkan bagaimana sistematika yang dipergunakannya dalam penafsirkan untuk menolak anggapan bahwa karya tafsirnya ini merupakan jiplakan dari karya tafsir lain.[15]
F.
Contoh
Dalam Penafsiran.
Alif Lam Miim: di baca dengan mematikan bunyi masing-masing hurufnya (konsonan).[16]
Sebagian ahli tafsir berpendapat,
ada yang mengetahui dengan pasti apa makna alif laam miim. Ayat ini
termasuk dalam ayat-ayat hanya Allah sendiri yang mengetahuinya maknanya. Oleh
karenanya, mereka menerjemahkan dengan: Allah yang lebih mengetahui apa yang di
maksud dengan rangkaian huruf-huruf tersebut.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa
semua huruf pembuka surat adalah huruf-huruf terpotong yang dimaksudkan untuk
memperingatkan atau menarik perhatian manusia agar mau mendengarkan atau
membaca ayat-ayat selanjutnya. Juga member petunjuk bahwa al-Qur’an yang
menghimpun segala pokok petunjuk tentang kehidupan, tersusun dari huruf-huruf
yang kemudian membentuk kalimat-kalimat bahasa Arab yang indah dan bermakna
amat dalam, yang tidak tertandingi oleh
siapapun, baik sendiri-sendiri maupun
berkelompok. Selain itu, huruf-huruf pembuka itu akan menggugah pendengar dan pembaca
untuk memperhatikan hujjah-hujjah yang ditegakkan al-Qur’an guna mematahkan
sanggahan ahlul Kitab yang lain, yang akan disebutkan dalam pertengahan surat.[17]
Dari 114 surat yang ada di dalam
al-Qur’an terdapat 29 surat yang dibuka dengan huruf atau huruf-huruf hijaiyyah,
dari satu huruf sampai lima huruf.[18]
Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa dalam
menafsirkan al-Qur’an Hasbi juga merujuk kepada pendapat-pendapat Ulama yang
lain.
KESIMPULAN
Segala bentuk tafsir yang ada, sesungguhnya adalah kontribusi yang
sangat besar manfaatnya. Begitu pula dengan kitab tafsir karya Hasbi
ash-Shiddieqy ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya tafsir ini sangat membantu bagi seluruh
kalangan masyarakat baik dari kalangan akademisi maupun non akademisi. Dengan
menggunakan bahasa lokal yang bersumber dari kitab-kitab tafsir berbahasa Arab
usaha ini bukanlah pekerjan yang mudah mengingat banyaknya kegiatan di
sela-sela kesibukannya dalam menulis. Sedangkan bagi kalangan awam kadang kala
akan merasa kesulitan dalam memahami istilah-istilah yang kerap menggunakan
bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA
ash-Shiddieqy, Muhammad
Hasbi. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, Pustaka Rizki Putra: Semarang.
2000
Baidan, Nasruddin.
Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri: Solo. 2003
T.Np. Jurnal
Studi al-Qur’an. Pusat Studi al-Qur’an: Ciputat. 2006
/disertasi-ilmiah-4-tafsir-al-bayan-oleh.html.
Diakses 20 desember 2012
http://bintusahaly.blogspot.com/2010/12/tafsir-al-quranul-majid-nuur-sebuah.html.
Diakses pada Tanggal 10 Juli 2013 Pukul 06.24
No comments:
Post a Comment