oleh : Khoerul Anam
BAB
I
PENDAHULUAN
Tidaklah Allah menurunkan al-Qur`an al-Karim kepada manusia melainkan
agar mereka memahami, memikirkan dan mengamalkannya. Kalam Allah Ta'ala:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shad: 29)
Apabila kita mengamati literatur tafsir yang perkembangannya telah sampai
pada apa yang dinamakan dengan kekayaan produktif, maka cukup sulit bagi kita
pada awal mulanya untuk mengkaji dan mendalami lebih lanjut tentang kekayaan
khazanah Islam yang satu ini.[1]
Namun pada akhirnya ulama kontemporer seperti adz-Dzahabi membaginya
menjadi beberapa periode masa dalam penafsiran al-qur`an. Pada kesempatan ini
kami membatasi pada macam-macam dan sumber penafsiran yang akan dijelaskan
lebih lanjut pada makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Macam dan Sumber Penafsiran
Berbagai macam penafsiran yang terdapat dalam literatur Islam
membuat para ulama membagi-baginya dalam Sumber penafsiran, Metode penafsiran
yang dipakai dan Corak penafsiran hasil karya mufassir-mufassir dari zaman awal
Islam sampai masa kontemporer.
Macam-macam penafsiran jika dilihat dari sumbernya maka
terbagi menjadi dua, pertama Tafsir bi al-Ma’tsur dan kedua tafsir
bi al-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkan tiga macam dengan
menambah Tafsir bi al-Isyarah, yaitu penafsiran dengan firasat atau kekuatan
intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi sehingga sering juga
disebut dengan tafsir shufi.
Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan
naqli yang shahih, dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau
dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para
sahabat yang merupakan orang- orang yang paling tahu tentang kitabullah,
atau dengan perkataan tabi'in yang belajar tafsir langsung dari para sahabat.
Cara Tafsir bil Ma'tsur adalah dengan memakai atsar-atsar
yang menjelaskan tentang makna suatu ayat, dan tidak membicarakan hal-hal yang
tidak ada faedahnya, selama tidak ada riwayat yang shahih tentang itu.[2]
Dan jika kita tidak menjumpai tafsir dalam al-Qur’an dan
sunnah, maka kita merujuk kepada perkataan para sahabat. Karena mereka lebih
tahu tentang tafsir dengan apa-apa yang mereka persaksikan dari al-Qur’an dan
keadaan-keadaan khusus bagi mereka. Juga apa yang dimiliki mereka dari
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shahih. Dan jika kita
tidak mendapatkan tafsir dalam al-Qur’an dan tidak juga dalam as-Sunnah dan
tidak juga dari perkataan para sahabat, maka banyak para imam yang merujuk
kepada perkataan tabi'in seperti Mujahid bin Jabr, Sa'id bin Jubair, Ikrimah,
Atha' bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajda', Sa'in bin al-Musayyib,
Abul 'Aliyah, Robi' bin Anas, Qotadah, adh-Dhahak bin Muzaahim dan yang selain
mereka dari tabi'in.
Sedang Tafsir bi al-Ra’yi awalnya dari kata al-ra’yu,
secara etimologis bermakna keyakinan, qiyas dan ijtihad. Jadi Tafsir bi al-Ra’yi
adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijtihad, yakni rasio yang
dijadikan titik tolak penafsiran.[3]
Tafsir bir Ra’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman
pribadi penafsir, dan istinbatnya dengan akal semata. [4]
Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini
pemikiran tertentu kemudian membawa lafadz-lafadz al-Qur’an kepada pemikiran
mereka tanpa ada pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil
dari para imam ataupun pendapat mereka dan tidak pula dari tafsir mereka.
Seperti kelompok Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir
berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman
bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali al-Juba'i, Tafsir al-Kabir oleh Abdul Sabban dan al-Kasysyaf
yang ditulis oleh az-Zamakhsyari.
Dalam corak penafsiran, yang dimaksud adalh bidang keilmua
yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki
latar belakang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki
corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corak penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi
menjadi beberapa macam. Di antaranya sebagai berikut:
1.
Tafsir shufi/isyari, corak
penafsiran ilmu tashawuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyari.
2.
Tafsir Fiqhi, corak penafsiran
yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fikih. Dari segi sumber
penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk kategori tafsir bi
al-Ma’tsur.
3.
Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang
dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat. Termasuk dalam hal ini
adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya
tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi.
4.
Tafsir Ilmi yaitu tafsir yang
lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ilmi ini juga termasuk tafsir bi
al-Ra’yi.
5.
Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu
tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab
al-Ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang
yang mengkategorikannya sebagai tafsir bi al-izdiwaq (tafsir campuran), karena
prosentasi atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.
Sedangkan jika macam-macam penafsiran dilihat dari metodenya,
maka para ulama tafsir membaginya ke dalam empat metode.
1.
Metode Ijmali
Biasa disebut juga metode Global,
yaitu penafsiran al-Qur`an secara singkat dan global, tanpa uraian panjang
lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
2.
Metode Tahlili
Biasa juga disebut metode Analisis. Yaitu metode penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung dalam ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sesuai dengan bidang keahlian
mufassir yang menafsirkan.
3.
Metode Muqarran
Disebut juga dengan metode
Komparasi/Perbandingan. Yaitu menafsirkan al-Qur`an dengan cara mengambil
sejumlah ayat al-Qur`an, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan
membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan
dari hasil perbandingannya.
4.
Metode Mawdhu’i
Metode ini biasa disebut metode
Tematik. Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan
konsep al-Qur`an tentanng suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun
seluruh ayat al-Qur`an yang membicarakan tema tersebut.
B.
Pendapat Para Ulama
Adapun menafsirkan al-Qur’an dengan akal semata, maka
hukumnya adalah haram. Sebagaimana kalam Allah, “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. al-Isro':
36).
Rasulullah bersabda: "…Barangsiapa yang
berkata tentang al-Qur’an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil
tempat duduknya di neraka. (diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi, beliau
mengomentarinya sebagai hadits hasan)
Karena inilah, banyak ulama salaf yang merasa berat
menafsirkan suatu ayat al-Qur`an tanpa ilmu, sebagaimana dinukil dari Abu Bakar
ash-Shiddiq bahwa ia berkata,”Bumi manakah yang bisa membawaku, dan langit
manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu tentang al-Qur`an yang
aku tidak punya ilmunya?” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya
jil.1 dengan sanad yang shahih).
Berkata Ubaidullah bin Umar: "Telah aku jumpai
para fuqoha Madinah, dan sesungguhnya mereka menganggap besar bicara dalam hal
tafsir. Di antara mereka adalah Salim bin Abdullah, al-Qasim bin Muhammad, dan Sain
bin Musayyib.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, jil.1
dengan sanad yang shahih).
Masyruq berkata, "Hati-hatilah kalian dari
tafsir, karena dia adalah riwayat dari Allah." (Diriwayatkan oleh Abu
Ubaid dengan sanad yang hasan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, jil.1).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Secara
umum, barangsiapa yang berpaling dari madzhab sahabat dan tabi'in dan tafsir
mereka kepada tafsir yang menyelisihinya, maka telah berbuat kesalahan, bahkan
berbuat bid'ah (sesuatu hal yang baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah)
dalam agama. (Majmu' Fatawa, jil.13).
C.
Syarat Diterimanya Sebuah
Penafsiran
Secara umum dari kesimpulan penulis makalah setelah
membaca berbagai referensi yang berkenaan dengan tafsir, syarat diterimanya
sebuah penafsiran secara garis besar adalah :
a.
Jika pada Tafsir bil Ma’tsur
maka ia (penafsiran) harus terambil dari riwayat-riwayat yang shahih.
b.
Jika pada Tafsir bir Ra’yi
maka penafsiran itu harus sesuai dalam artian tidak kontradiktif dengan Tafsir
bil Ma’tsur yang shahih.
c.
Maknanya itu sendiri harus shahih.
Tidak
bertentangan dengan dengan makna lahir ayat.[5]
BAB
III
PENUTUP
Tidaklah Allah menurunkan al-Qur`an
al-Karim kepada manusia melainkan agar mereka memahaminya, memikirkan dan
mengamalkannya. Secara umum tafsir dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Tafsir
bil Ma'tsur dan Tafsir bir Ra’yi.
Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan naqli yang
shahih, dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan sunnah,
yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para sahabat
yang merupakan orang-orang yang paling tahu tentang kitabullah, atau
dengan perkataan tabi'in yang belajar tafsir langsung dari para sahabat.
Tafsir bir Ra’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi
penafsir, dan istinbatnya dengan akal semata. Adapun menafsirkan al-Qur’an
dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram. Karena inilah, banyak ulama
salaf yang merasa berat menafsirkan suatu ayat al-Qur`an tanpa ilmu, sebagaimana
dinukil dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwa ia berkata,”Bumi manakah yang bisa
membawaku, dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu
tentang al-Qur`an yang aku tidak punya ilmunya?”.
Daftar Pustaka
Baidan,
Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Dosen
Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras,
2004
adz-Dzahabi,
Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassirun, Program Maktabah Syamilah
al-Khaththan,
Syaikh Manna’, Mabahits Fi Ulumil Qur`an, Cet. Ke-7, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995
___________,_____________,
Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, Cet. Ke-4, Jakarta: al-Kautsar, 2009
Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005
ash-Shiddiqy,
T.M. Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, Semarang:
Rizki Putra, 2002
Shihab, M. Quraysh, Membumikan
al-Qur`an, Cet. Ke-31, Bandung: Mizan, 2007
Suryadilaga, al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,Yogyakarta: Teras,
2010
as-Suyuthi,
al-Imam Jalaluddin, Al-Ithqan Fiy ‘Ulum al-Qur’an, Program Maktabah
Syamilah
_________,__________________,
Studi al-Qur’an Komprehensif, Cet. I, Solo: Indiva :. 2009
al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Ushul Fi Tafsir, Progarm Maktabah
Syamilah
[1]
Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir al-Islamy, terj: M.alaika Salamullah
dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), h.77-79.
[2]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur`an, Terj: Aunur Rafiq
el-Mazni, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h.358.
[3]
Suryadilaga, al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras,
2010), h.306.
[4]
Manna’ al-Qaththan, Op.cit., h.362.
[5]
Manna’ al-Qaththan, Op.cit., h.448.
No comments:
Post a Comment