NUZULUL QUR'AN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah telah
menurunkan al-Qur’an kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sebagai
petunjuk hidup bagi umatnya. Semua manusia akan senantiasa bahagia hidupnya di
dunia dan akhirat jika mengamalkan apapun yang ada di dalam al-Qur’an. Namun
kebanyakan dari mereka berpaling dari al-Qur’an disebabkan keraguan mereka atas
keotentikan al-Qur’an bahwa ia adalah kalamullah atau hanya karangan
Muhammad.
Dari masalah di
atas maka harus ditelusuri apakah al-Qur’an itu kalamullah atau karangan
nabi Muhammad dengan mengetahui cara-cara dan proses al-Qur’an itu diturunkan
kepada Nabi. Sehingga menjadi jelas bagi manusia bahwa al-Qur’an benar-benar
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
sebagai petunjuk bagi manusia seluruh alam.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis
membatasi pada masalah:
1.
Pengertian proses turunnya al-Qur’an
2.
Problematika turunnya al-Qur’an
3.
Ayat-ayat yang awal diturunkan dan yang akhir diturunkan
4.
Hikmah diturunkannya al-Qur’an
C.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan
makalah ini untuk mengetahui
tentang proses turunnya al-Qur’an beserta
dalil-dalilnya, ayat-ayat yang awal diturunkan, ayat-ayat yang terakhir
diturunkan serta hikmah di balik nuzul al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nuzul al-Qur’an
dan Fase Turunnya
Kata nuzul
al-Qur’an dalam bahasa arab adalah gabungan dari dua kata yang disebut
dengan istilah tarkib idhafi yang
dalam bahasa Indonesia diartikan dengan, turunnya al-Qur’an.
Kata Nuzul
adalah akar kata dari nazala, berasal dari bahasa Arab yang berarti: الهبوت من علو إلى سفل yakni; “meluncur dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah”. Seperti dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَقُلْ
رَبِّ أَنْزِلْنِي مُنْزَلا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ (٢٩(
Dan berdo’alah; Ya Tuhanku,
turunkanlah aku pada tempat yang diberkahi, karena Engkau adalah sebaik-baik
yang memberi tempat.Q.S.(23):29.
Secara bahasa kata nuzul juga berarti
“singgah” atau “tiba di tempat tertentu”. Pengertian ini dalam kebiasaan orang
Arab menurut ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqaniy adalah sebagai makna hakiki. Seperti
ungkapan orang Arab: نزل الأمير المدينة , yang dalam bahasa Indonesia menjadi “seorang
penguasa singgah atau tiba di suatu tempat”.[2]
Ahmad Sayyid al-Kumi dan Muhammad Ahmad Yusuf
al-Qasim mengemukakan; setidak-tidaknya, ada lima makna nuzul, dua
diantaranya yang telah disebutkan di atas, sedangkan makna lainnya berarti; الترتيب “tertib, teratur” dan الإجتماع yang berarti “perkumpulan”. Lalu yang terakhir
dapat berarti “turun secara berangsur-angsur dan terkadang sekaligus”.[3]
Dalam kaitannya dengan makna nuzul
yang pertama di atas, ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqaniy menegaskan bahwa pengertian
nuzul semacam itu tidak layak diberikan untuk maksud diturunkannya al-Qur’an
oleh Allah, karena pengertian tersebut lebih tepat digunakan untuk hal-hal yang
berkenaan dengan tempat dan benda atau materi yang memiliki berat jenis
tertentu. Sedang al-Qur’an bukanlah semacam benda yang memiliki tempat
perpindahan dari atas ke bawah, jadi penggunaan kata nuzul al-Qur’an dimaksudkan dalam pengertian yang majazi, yaitu, sebagai ungkapan yang
tidak harus dipahami secara harfiah.[4]
Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa pengertian nuzul al-Qur’an
bukanlah tergambar dalam wujud berpindah atau turunnya al-Qur’an dari atas ke
bawah, tetapi haruslah dipahami bahwa segenap penghuni langit dan bumi telah dii’lamkan (diberitahukan) oleh Allah
mengenai al-Qur’an dengan segala aspeknya. Sehingga jika kata nuzul dita’wilkan dengan kata i’lam,
maka akan hilanglah image tentang
interpretasi nuzul dalam arti
“perpindahan sesuatu dari atas ke bawah”. Sebab pemberitahuan Allah mengenai
apapun kepada siapa saja tidak terikat oleh arah tertentu ataupun tempat
tertentu. Karena bila Allah hendak mengi’lamkan
(memberitahukan) kalam-Nya tidak harus dari atas, sebab Allah tidak mempunyai
tempat-tempat tertentu sebagaimana makhluk-Nya. Atas dasar itulah pena’wilan kata nuzul dengan kata i’lam
menurut al-Zarqaniy lebih relevan dengan kedudukan dan eksistensi serta
didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut;[5]
a.
Sesuatu yang pasti, bahwa
al-Qur’an ialah kalam Allah, karena itu, kalam Allah tersebut sangat terkait
dengan dalalah dan pemahaman. Dengan
demikian, pena’wilan terhadap kata nuzul dangan arti i’lam berarti kembali kepada suatu yang telah diketahui dan
dipahami dari apa yang telah terkait tadi (dalalah
dan pemahaman).
b. Bahwa yang dimaksud
al-Qur’an yang berada di Lauh al-Mahfuzh
dan di langit dunia (bayt al-‘Izzah)
serta di dalam hati nabi Muhammad, juga dalam arti bahwasanya al-Qur’an itu
telah dii’lamkan oleh Allah kepada
makhluk-Nya di bumi sesuai dengan kehendak Allah, sebagai petunjuk bagi manusia
untuk mencapai kebenaran.
c. Bahwa ditafsirkannya lafal
inzal, nuzul dengan lafal i’lam
dalam konteks ini, hanyalah tertuju kepada al-Qur’an dengan segala yang
dikandungnya.
Sedangkan Ibnu Taymiyah, sebagaimana dikutip oleh Kamaluddin Marzuki, ia
menyatakan; “baik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ada kata nuzul melainkan dalam pengertian yang
lazim, ‘turun dari atas ke bawah’, alasannya ialah karena al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab, sedangkan bahasa Arab tidak mengenal kata nuzul kecuali dengan makna ini”.[6]
2. Proses Penurunan al-Qur’an
dan Masa Turunnya
Telah diketahui
bersama bahwa Allah menurunkan al-Qur’an kepada nabi Muhammad melalui Jibril ‘alaihissalam.
Di sini telah terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai cara
menurunkan al-Qur’an. Antara lain:[7]
a. Pendapat
pertama mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan melalui tiga tahap.
Tahap pertama;al-Qur’an diturunkan
oleh Allah ke Lauh al-Mahfuzh secara sekaligus. Sesuai dengan kalam-Nya:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ (٢١)فِي
لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (٢٢)
“Bahkan
(yang didustakan mereka itu), ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) di Lauh al-Mahfuzh.” Q.S. (85): 21-22.
Tahap kedua; al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfuzh
ke Bayt al-Izzah yang berada di langit dunia. Sesuai dengan kalam-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.. (البقرة : 185)
“Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia, dan memberikan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut serta
sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil.” Q.S. (2): 185.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkati, dan
sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.”
Q.S. (44):3
Dan juga kalam-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ
الْقَدْرِ (١)
“Sesungguhnya
Kami telah turunkan al-Qur’an pada malam kemuliaan (lailah al-Qadar).” Q.S.(97):1.
Ketiga malam yang
disebutkan dalam ayat-ayat di atas menunjukkan satu makna, yaitu pada bulan
Ramadhan diturunkannya dari Lauh al-Mahfuzh ke Bayt al-Izzah
(langit dunia) secara sekaligus.
Tahap ketiga; al-Qur’an diturunkan
dari Bayt al-Izzah (langit dunia)dengan perantaraan Jibril alaihissalam
kepada nabi Muhammad untuk pertama kalinya pada tanggal 17 bulan Ramadhan, dan
berlanjut secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Pendapat
tersebut dianut oleh jumhur ulama. mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
turunnya al-Qur’an pada ketiga ayat di atas ialah turunnya al-Qur’an secara
keseluruhan sekaligus,bukan berangsur-angsur. Sebab ayat-ayat tersebut bukan
berbicara tentang permulaan turunnya al-Qur’an. Oleh karena itu, jumhur ulama
sepakat untuk mengambil makna lahir dari ayat tanpa mena’wilkannya. Mereka
juga memperkuat pendapatnya dengan beberapa hadits shahih dari ibnu
‘Abbas, salah satunya yaitu:
أنزل القرأن جملة واحدة إلى السماء الدنيا ليلة القدر
. ثم أنزل بعد ذلك في عشرين سنة , ثم قرأ (ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن
تفسيرا-33- الفرقان) (وقرأنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيلا - 106-
الإسراء)[8]
“Al-Qur’an
diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian
diturunkan (kepada Rasulullah) selama kurang lebih dua puluh tahun.
“selanjutnya Ibnu ‘Abbas membacakan”: Dan (tidaklah orang-orang kafir itu)
datang kepadamu (membawa sesuatu yang ganjil), melainkan Kami datangkan
kepadamu sesuatu yang paling benar dan yang paling baik penjelasannya.” Q.S. (25):33
“Dan al-Qur’an itu telah Kami
turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan
kepada manusia, dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” Q.S. (17): 106.
Menurut Al-Suyuthi, sekalipun hadits tersebut
tergolong mauquf (hanya sampai kepada Ibnu ‘Abbas), tetapi mempunyai
bobot marfu’ (yang disandarkan) kepada nabi Muhammad. Alasannya adalah,
bahwa turunnya al-Qur’an ke Bayt al-Izzah termasuk berita ghaib yang
hanya bersumber dari orang-orang ma’shum(Nabi), sedang Ibnu ‘Abbas
sendiri terkenal tidak pernah mengambil riwayat isra’iliyyat.karena
itulah, maka riwayatnya dihukumi marfu’ . Dengan demikian maka dapat
dijadikan argumen yang kuat dalam masalah tersebut.[9]
Menanggapi pernyataan al-Suyuthi yang dikutip
oleh Bakar Ismail tersebut, Muhammad ‘Abduh berkata: “riwayat-riwayat ini sama
sekali tidak sah. Sebenarnya beberapa tambahan pendapat yang ditambahkan untuk
maksud memuliakan Ramadhan. Kita tidak memerlukan riwayat itu. Untuk memuliakan
Ramadhan cukup dengan Tuhan menjadikannya bulan berpuasa. Tuhan tidak
menerangkan bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus dalam bulan Ramadhan. Dan
tidak pula menerangkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Lauh al-Mahfuzh.
Maka kalau demikian tetaplah al-Qur’an terpelihara dengan sempurna di Lauh
al-Mahfuzh, sesudah diturunkannya dari Lauh al-Mahfuzh itu ke bumi ini”. [10]
Subhi al-Shalih juga menolak pernyataan
al-Suyuthi. Ia mengatakan: “saya tidak sejalan dengan pendapat tersebut,
kendati didasarkan pada sumber-sumber riwayat yang dianggap benar. Sebab
turunnya al-Qur’an dengan cara yang seperti itu termasuk persoalan ghaib
yang hanya dapat diterima berdasarkan dalil mutawatir yang meyakinkan
dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hadits yang bersumber dari riwayat yang shahih
atau terpercaya saja tidak cukup untuk mewajibkan kita berpegang pada pendapat
tersebut, sebab bagaimana mungkin dapat dijadikan pegangan, padahal al-Qur’an
sendiri menegaskan bahwa wahyu diturunkan secara terpisah dan berangsur-angsur.
Penegasan itu menjelaskan, bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan cara demikian
itu membangkitkan reaksi kaum musyrikin yang biasa menerima syi’ir-syi’ir dalam
jumlah yang banyak sekaligus. Bahkan orang-orang Yahudi sendiri menyatakan,
bahwa Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa diterima secara sekaligus. Atas
dasar itulah, tidak mengherankan bila mereka mempertanyakan, mengapa al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur….?”[11]
b. Pendapat kedua mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an dalam ketiga ayat di atas adalah,
permulaan turunnya al-Qur’an langsung dari Allah melalui Jibril kepada
Rasulullah pada malam Qadar(di bulan Ramadhan), kemudian berlanjut secara
berangsur-angsur dalam berbagai masa dan waktu, selama kurang lebih dua puluh
tiga tahun. Dengan demikian menrurut pendapat ini al-Qur’an tidak diturunkan
secara sekaligus ke Lauh al-Mahfuzh dan ke Bayt al-Izzah(langit
dunia) sebelum disampaikan Jibril ke Rasulullah.
c. Pendapat ketiga mengatakan
bahwa al-Qur’an diturunkan ke Bayt al-Izzah(langit dunia) selama dua
puluh atau dua puluh tiga atau dua puluh lima kali malam Qadar. Pada setiap
malam Qadar(dari malam-malam Qadar itu) telah ditentukan ukuran turunnya untuk
setiap tahun. Setelah itu, baru diturunkan kepada Rasulullah secara
berangsur-angsur sepanjang tahun yang telah ditentukan tadi sesuai tuntutan
kebutuhan. Pendapat ini adalah hasil ijtihad dari sebagian mufassir, namun
tidak disertai dengan dalil.
d. Pendapat keempat
mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-mahfuzh secara sekaligus,
kemudian Jibril menyampaikan (menurunkannya) kepada Rasulullah dengan cara
berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tahun.[12]
Tiga pendapat yang terakhir ini menurut
al-Zarqaniy dianggap lebih lemah dibandingkan dengan pendapat pertama. Sebab
pendapat yang pertama di atas didukung dan dilandasi dengan dalil-dalil yang
cukup kuat.[13]
B.
Problematika Turunnya
al-Qur’an
Turunnya al-Qur’an
secara berangsur-angsur mempunyai dampak dan pengaruh yang mendalam terhadap
penyebaran dakwah Islam. Juga berangsur-angsur dalam pewahyuannya, karena ada
hikmah-hikmah yang khusus diperuntukkan bagi al-Qur’an, rasul, dan orang-orang
yang menerima serta mengikuti perintah-Nya. Akan tetapi, apakah al-Qur’an
al-karim adalah kitab samawi satu-satunya yang diturunkan secara
berangsur-angsur di antara kitab-kitab samawi lainnya?
Jumhur ulama
berpendapat bahwa satu-satunya kitab samawi yang diturunkan secara
berangsur-angsur hanyalah al-Qur’an. Pendapat tersebut dilandasi dengan alasan,
bahwasanya orang-orang kafir dari penduduk Makkah dan orang-orang Yahudi dari
penduduk Madinah mempertanyakan kebenaran turunnya al-Qur’an secara
berangsur-angsur dengan mengatakan: "mengapa al-Qur’an tidak diturunkan dengan cara
sekaligus sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu?”. Reaksi mereka
itu langsung dijawab oleh Allah dengan menjelaskan hikmah-hikmahnya di balik
penurunannya secara berangsur-angsur. Hal ini diabasikan oleh Allah di dalam
kalam-Nya:[14]
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا
نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ
فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ
بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
“Orang-orang
kafir berkata: mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?
Demikianlah, untuk memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya, dan Kami
membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” Q.S. (25):32-33
Jawaban tersebut menurut al-Zarqaniy
menunjukkan kepada dua aspek sekaligus, yaitu:
Pertama : Bahwa al-Qur’an itu memang diturunkan
secara berangsur-angsur.
Kedua :
Bahwa kitab-kitab samawi selain al-Qur’an sebelumnya diturunkan secara
sekaligus. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama, bahkan hampir merupakan ijma’.
Sedangkan sisi yang dapat memperkuat kedua
aspek di atas adalah, bahwa Allah tidak membantah anggapan mereka yang
menyatakan, kitab-kitab samawi terdahulu diturunkan dengan sekaligus.
Bahkan Allah sendiri manjawab reaksi mereka seperti yang tertuang dalam ayat di
atas. Andaikata kitab-kitab samawi terdahulu juga diturunkan secara
berangsur-angsur sebagaimana halnya al-Qur’an, maka pasti Allah akan membantah
mereka dengan menyatakan kebohongannya, sambil dipermaklumkan kepada mereka,
bahwa diturunkannya kitab-kitab itu secara berangsur-angsur adalah merupakan sunnah
Allah yang juga telah berlaku sejak nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu, sebagaimana
Allah juga telah membantah orang-orang kafir ketika mereka mempertanyakan nabi
Muhammad yang makan makanan dan kadang berjalan-jalan di pasar-pasar, seperti
pernyataan mereka yang direkam dalam kalam Allah berikut ini:[15]
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ
وَيَمْشِي فِي الأسْوَاقِ ............ (٧)
“Dan mereka (orang-orang kafir) berkata; mengapa Rasul ini
memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar-pasar….?” Q.S.(25):7.
Celaan dan cercaan orang-orang kafir tersebut
terhadap Rasulullah itu akhirnya dijawab oleh Allah sendiri dalam kalam-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلا
إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الأسْوَاقِ وَجَعَلْنَا
بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا (٢٠)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad)
melainkan mereka sesungguhnya memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar…”
Q.S. (17): 20.
Sementara itu, Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy
tidak sejalan dengan pendapat yang menyatakan, bahwa kitab-kitab selain
al-Qur’an semuanya diturunkan dengan cara sekaligus, karena tidak ada dalil
yang dianggap pasti dan jelas dalam menetapkan masalah itu. Oleh karena itu,
dia berpendapat bahwa semua kitab samawi yang diberikan kepada para nabi
dan rasul terdahulu yang diturunkan secara berangsur-angsur sebagaimana halnya
al-Qur’an.[16]
Pendapat tersebut didukung oleh Muhammad Bakar Ismail, dengan mengatakan, bahwa
di antara faktor-faktor yang patut mendapat perhatian dari apa yang dikemukakan
oleh al-Qasimiy tersebut adalah sebagai berikut:[17]
1. Bahwa ayat-ayat yang
dijadikan dasar oleh para ulama dalam menetapkan pendapatnya(mengenai
diturunkannya kitab-kitab terdahulu selain al-Qur’an secara sekaligus) tidak
menunjukkan kepada pengertian yang dapat meyakinkan.
2. Bahwa para nabi dan rasul
terdahulu membutuhkan keputusan wahyu, sesuai dengan situasi dan kondisi,
sebagaimana nabi kita Muhammad, juga membutuhkan hal itu, karena mereka juga
sama-sama menghadapi umat-umat yang angkuh dan melewati batas dalam
kesesatannya yang juga tidak kalah angkuhnya dibandingkan dengan penduduk
Makkah pada masa Rasulullah.
3. Bahwa para nabi dan rasul terdahulu juga berkepentingan untuk membantah
kesaksian-kesaksian yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang musyrik dengan
wahyu yang diturunkan kepada mereka. Sebagaimana Rasulullah juga berkepentingan
untuk itu. Sebab, dsar-dasar ikatan akidah (agama) adalah satu, dan kerasnya
hati orang-orang musyrik itu, juga tidak jauh berbeda. Oleh karena itulah,
bahwa turunnya seluruh kitab samawi secara berangsur-angsur adalah
merupakan suatu keharusan bagi mereka, baik ditinjau dari sudut syara’
maupun logika.
C.
Ayat-ayat yang Mula-mula Diturunkan
Di dalam al-Qur’an
tidak ada keterangan yang menyatakan mana ayatnya yang mula-mula diturunkan. Hasbi
ash-Shiddieqy menyatakan bahwa ia hanya memperoleh beberapa riwayat yang
menerangkan sebab-sebab dan keadaan-keadaan turun ayat yang dipandang sejarah al-Qur’an menjadi ayat-ayat yang
mula-mula diturunkan.
Kebanyakan riwayat
menerangkan, bahwa permulaan al-Qur’an yang diturunkan itu, ialah: lima ayat
yang pertama dari surat 96:al-‘Alaq. Akan tetapi ada juga beberapa riwayat
yang menerangkan bahwa yang mula-mula diturunkan ialah surat al-Fatihah.
Dan ada pula riwayat yang menerangkan surat adl-Dluha, sebagaimana ada
riwayat yang menerangkan bahwa ayat-ayat yang mula-mula diturunkan ialah:
beberapa ayat dari permulaan surat al-Muddatstsir. Dan ada pula riwayat
yang member pengertian, bahwa yang mula-mula diturunkan, ialah ayat dari
permulaan surat al-Muzzammil.
Sebagian pentarjih
menguatkan bahwa ayat-ayat yang mula-mula diturunkan ialah permulaan surat al-‘Alaq.
Mufassir Ibnu Katsir menguatkan paham ini. Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat
tersebut tidak mengandung urusan dakwah dan ayat-ayat itu bersifat menyiapkan
Rasulullah untuk menerima tugas. Lagipula urutan-urutan surat dari para sahabat semuanya menetapkan surat al-‘Alaq
itu permulaan surat yang diturunkan (surat yang mula-mula turunnya). [18]
Sesungguhnya dalam
soal ini Hasbi ash-Shiddieqy memperoleh
banyak riwayat. Sesudah riwayat-riwayat itu disaring ternyata pendapat yang
benar berlawanan dengan jumhur ulama yang berpegang kepada Ibnu Ishaq itu(malam
17 Ramadhan).
Bahwasanya
permulaan al-Qur’an-secara mutlak- diturunkan, adalah pada bulan Rabi’ul
awal, sebagaimana yang ditetapkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dan al-Mas’udi,
saat Rasulullah berkhalwat di dalam gua Hira’, dan yang diturunkan pada malam
itu, permulaan surat al-‘Alaq. Dengan turunnya ayat tersebut menjadikan
Muhammad seorang nabi atau mencapailah Muhammmad kepada derajat nubuwwah[19].
Dan inilah
sebabnya surat tersebut dimulai dengan:
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)(العلق: 5-1)
Inilah yang mula-mula diturunkan. Dengan ayat
itulah Muhammad dinyatakan menjadi nabi. Dan yang demikian itu terjadi dalam
bulan Rabi’ul Awwal pada tanggal 8.
Sesudah itu barulah diturunkan kalam Allah
dalam surat al-Muddatstsir.
يا
أيها المدثر.... (المدثر:5-1 )
Dengan turunnya ayat ini, Muhammad mencapai
derajat risalah atau menjadi Muhammad Rasulullah. Inilah yang
diturunkan dalam bulan Ramadhan.
Dengan keterangan yang ringkas ini dapatlah
kita simpulkan bahwa malam diturunkan al-Qur’an yang dengan turunnya Muhammad
menjadi rasul, dalam bulan Ramadhan yang paginya hari jum’at dan itulah malam mubarakah
yang disebut dalam surat ad-Dukhan.
Kalau demikian perayaan yang dilakukan umat
Islam pada masa akhir-akhir ini yaitu pada tiap-tiap malam 17 Ramadhan, adalah
sebagai malam permulaan turunnya al-Qur’an yang mengenai kerasulan Muhammad.
Dengan ibarat yang lain boleh kita katakan: malam Muhammad diangkat Allah
menjadi rasul yang membawa rahmat bagi segala alam, dan bukanlah malam itu
malam permulaan turunnya al-Qur’an secara mutlak. Malam 17 Ramadhan ialah malam
permulaan turun al-Qur’an secara muqayyad, yakni dikaitkan dengan
permulaan ayat yang mengenai risalah.[20]
Jumhur ulama menetapkan
bahwa hari penghabisan turunnya al-Qur’an ialah hari Jum’at 9 Dzulhijjah tahun
10 Hijriyah atau tahun 63 dari kelahiran nabi bertepatan dengan Maret 632 M.
Pada saat itu Rasulullah
sedang berwukuf di padang ‘Arafah dalam menyelenggarakan haji yang terkenal
dengan haji wada’. Kebanyakan ulama tafsir menetapkan bahwa sesudah hari itu
tak ada lagi al-Qur’an yang diturunkan untuk menerangkan hukum dan Rasulullah
pun hidup setelahnya selama 81 malam. Ahli sejarah menetapkan bahwa Rasulullah
hidup setelahnya selama kurang lebih 3 bulan. Sebagaimana diketahui bahwa
Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah, hari Senin bertepatan
dengan tanggal 7 Juni 632 M.
Sedangkan ayat
yang terakhir diturunkan menurut pendapat jumhur ulama ialah:
...الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإسْلامَ دِينًا .... (٣)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu
dan telah Aku cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku pilih (Aku ridhoi) Islam
menjadi agamamu.” Q.S. (5):3.
Menurut riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, akhir
surat yang diturunkan, ialah surat an-Nashr. Demikianlah pendapat yang
masyhur dalam kalangan ulama. Dan di samping ini ada lagi beberapa riwayat lain
yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Yang masyhur daripadanya ialah yang telah kami sebutkan di atas.
Riwayat-riwayat itu telah diterangkan al-Suyuthi dalam al-Itqan.
Apa yang telah diterangkan di atas adalah
pendapat yang masyhur di masyarakat. Dan pendapat ini memberikan pemahaman
bahwa akhir turun al-Qur’an, ialah pada hari ‘Arafah. Menurut penjelasan Rasyid
Ridha, Imam Ibnu Jarir menukilkan dalam tafsirnya, bahwa para ulama sepakat
menetapkan bahwasanya wahyu tidak pernah berhenti turunnya kepada Rasulullah
hingga beliau wafat. Bahkan saat beliau hampir wafat lebih sering lagi turunnya
wahyu. Menurut pentahqikan sebagian ahli, bahwa ayat tersebut turun di
‘Arafah. Dan antara hari ‘Arafah dengan wafat Rasulullah masih lama lagi, yaitu
81 malam.
Al-Suyuthi menjelaskan dalam al-Itqan: “Dalam
menetapkan akhir ayat diturunkan, ada perselisihan pendapat para ulama”. Di dalam kitab itu, beliau menyebut beberapa
riwayat. Dan yang paling rajih dalam riwayat-riwayat itu, ialah riwayat
al-Nasa’i melalui jalur ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata: “penghabisan
ayat yang diturunkan, ialah:
وَاتَّقُوا
يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا
كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٢٨١)
“Dan takutlah kamu akan hari yang kamu dikembalikan padanya
kepada Allah, kemudian disempurnakan kepada tiap-tiap jiwa apa yang ia telah usahakan,
dan mereka tiada dianiaya.” Q.S. (2):281”.
Pendapat ini
sesuai dengan kesepakatan ulama terhadap kekalnya turun wahyu setelah haji
wada’ hingga wafatnya Rasulullah, seperti yang telah dijelaskaan Ibnu Jarir.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id Ibnu Jubair, ia berkata:
وَاتَّقُوا
يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا
كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٢٨١)
“Dan takutlah kamu akan hari yang kamu dikembalikan padanya
kepada Allah, kemudian disempurnakan kepada tiap-tiap jiwa apa yang ia telah usahakan,
dan mereka tiada dianiaya.” Q.S. (2):281”.
Rasulullah
masih hidup setelah turun ayat ini sampai sembilan malam, kemudian meninggal
pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan
bahwa akhir ayat yang diturunkan mengenai hukum ialah pada hari ‘Arafah.
Sedangkan ayat-ayat yang turun sesudahnya tidak lagi mengenai hukum.
E.
Hikmah al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur
Turunnya
al-Qur’an secara berangsur-angsur dapat dikatakan sebagai kebutuhan kaum
muslimin pada saat itu. Karena di balik itu terdapat hikmah-hikmah dan
kemahabijaksanaan Allah yang teramat tinggi nilainya bagi mereka, di samping
rahasia-rahasia (yang positif) yang banyak. Di antara hikmah-hikmah dan
rahasia-rahasia yang dimaksud adalah sebagai berikut:[22]
1. Meneguhkan dan menguatkan
pendirian hati Rasulullah, manakala orang-orang musyrik menyakiti beliau dan
para sahabatnya sesuai dengan kalam Allah:
...كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ
فُؤَادَكَ .... (٣٢)
وَكُلا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ .... (١٢٠)
2. Mempermudah penghafalan al-Qur’an oleh Rasulullah dan juga pemahaman oleh para
sahabatnya , sebab kebanyakan dari mereka adalah orang-orang ummy (tidak
dapat membaca dan menulis) sebagaimana kalam Allah:
... وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ
عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا (١٠٦)
3. mempermudah umat pada saat itu untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan
tercela secara berangsur-angsur, sekaligus juga, mempermudah bagi mereka
melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tuntutan syara’, sebagaimana yang
terjadi pada proses pengharaman khamar dan riba.
Proses pertama:
Pengharaman khamar
misalnya, dapat dilihat dalam kalam Allah:
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ
مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
(٦٧)
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang
memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itubenar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)bagi orang-orang yang berakal.” Q.S.
(16): 67.
Proses kedua:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ
فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ
نَفْعِهِمَا .... (٢١٩)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi; katakanlah,
pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” Q.S. (2): 219.
Proses ketiga:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ .... (٤٣)
“Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu melakukan shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….” Q.S. (4): 43.
Proses keempat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠)إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamar,
berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapatkan keberuntungan.”
Sesungguhnya syetan itu, bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (minuman)
khamar dan berjudi itu, menghalangi kamu dari mengingat Allah, maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) Q.S. (5): 90-91.
4. Mengiringi peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi, dengan memberikan
perhatian penuh, dan sekaligus sebagai koreksi atas kesalahan yang dilakukan.
Sesuai dengan kalam Allah:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ
شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ
مُدْبِرِينَ (٢٥)
“Sesungguhnya
Allah telah menolong kamu (hai orang-orang beriman) di berbagai medan
pertempuran, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi
“congkak” karena banyaknya jumlahmu, maka ternyata jumlah yang banyak itu tidak
dapat member manfaat sedikit pun kepadamu, dan bumi yang luas itu telah terasa
sempit olehmu,kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” Q.S. (9):
25.
5. Menolak keraguan-keraguan yang ditimbulkan oleh orang-orang
musyrik serta menumbangkan alasan-alasan bathil yang diajukan dengan
memperkokoh kebenaran yang diberikan. Sesuai kalam Allah:
وَلا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
“Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kapadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,[23]melainkan
Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya."
Q.S. (25): 33.
6. Menunjukkan segi-segi I’jaz
al-Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji
baik dalam susunan kata-kata dan kalimat maupun pensyariatannya. Karena,
meskipun diturunkan kurang lebih selama dua puluh tiga tahun, dalam waktu-waktu
tertentu dan mengandung beraneka ragam hukum serta didahului oleh kasus yang
berbeda-beda, susunannya sangat mengagumkan. Yang mana tidak terdapat sedikit
pun kerancauan kalimatnya serta tidak pula terjadi tumpang tindih antar makna
yang satu dengan makna yang lain.
BAB
III
SIMPULAN
Pengertian
nuzul al-Qur’an bukanlah tergambar
dalam wujud berpindah atau turunnya al-Qur’an dari atas ke bawah, akan tetapi haruslah dipahami bahwa segenap penghuni
langit dan bumi telah dii’lamkan
(diberitahukan) oleh Allah mengenai al-Qur’an dengan segala aspeknya. Sehingga
jika kata nuzul dita’wilkan dengan kata i’lam, maka akan hilanglah image tentang interpretasi nuzul dalam arti “perpindahan sesuatu
dari atas ke bawah”. Sebab pemberitahuan Allah mengenai apapun kepada siapa
saja tidak terikat oleh arah tertentu ataupun tempat tertentu.
Para ulama mempunyai perbedaan pendapat dalam
teknis turunnya:
a. Pendapat
pertama mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan melalui tiga tahap.
-
Tahap pertama;al-Qur’an diturunkan
oleh Allah ke Lauh al-Mahfuzh secara sekaligus.
-
Tahap
kedua; al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfuzh
ke Bayt al-Izzah yang berada di langit dunia
-
Tahap
ketiga; al-Qur’an diturunkan dari Bayt al-Izzah
(langit dunia)dengan perantaraan Jibril alaihissalam kepada nabi
Muhammad
b. Pendapat kedua mengatakan al-Qur’an
tidak diturunkan secara sekaligus ke Lauh al-Mahfuzh dan ke Bayt
al-Izzah(langit dunia) sebelum disampaikan Jibril ke Rasulullah.
c. Pendapat ketiga mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan ke Bayt al-Izzah(langit
dunia) selama dua puluh atau dua puluh tiga atau dua puluh lima kali malam
Qadar.
d. Pendapat keempat mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-mahfuzh
secara sekaligus, kemudian Jibril menyampaikan (menurunkannya) kepada
Rasulullah dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tahun.
Pendapat yang pertama di atas
dianggap lebih kuat karena didukung dan dilandasi dengan dalil-dalil yang cukup
kuat.
Al-Qur’an-secara mutlak- diturunkan
pada bulan Rabi’ul awal menurut Ibnu ‘Abdil-Barr dan al-Mas’udi,
yaitu saat Rasulullah berkhalwat di dalam gua Hira’, dan yang diturunkan
pada malam itu adalah permulaan surat al-‘Alaq. Dengan turunnya ayat
tersebut menjadikan Muhammad seorang nabi atau mencapailah Muhammmad kepada
derajat nubuwwah. Sedangkan malam
17 Ramadhan ialah malam permulaan turun al-Qur’an secara muqayyad, yakni
dikaitkan dengan permulaan ayat yang mengenai risalah.
Ayat yang terakhir diturunkan menerangkan hukum menurut pendapat jumhur
ulama ialah:
...الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا ....(٣)
Al-Suyuthi menjelaskan dalam
al-Itqan: “Dalam menetapkan akhir ayat yg diturunkan, ada perselisihan pendapat
para ulama”. Dan yang paling rajih dalam riwayat-riwayat itu, ialah
riwayat al-Nasa’I melalui jalur ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata:
“penghabisan ayat yang diturunkan, ialah:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ
إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
(٢٨١)
Di antara hikmah-hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur
adalah:
a)
Meneguhkan dan menguatkan
pendirian hati Rasulullah.
b)
Mempermudah penghafalan al-Qur’an oleh Rasulullah dan juga pemahaman
oleh para sahabatnya.
c) mempermudah umat pada saat itu untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan
tercela secara berangsur-angsur, sekaligus juga, mempermudah bagi mereka
melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tuntutan syara’.
d)
Mengiringi peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi, dengan memberikan
perhatian penuh, dan sekaligus sebagai koreksi atas kesalahan yang dilakukan.
e) Menolak keraguan-keraguan yang
ditimbulkan oleh orang-orang musyrik serta menumbangkan alasan-alasan bathil
yang diajukan dengan memperkokoh kebenaran yang diberikan.
f) Menunjukkan segi-segi I’jaz
al-Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji
baik dalam susunan kata-kata dan kalimat maupun pensyariatannya.
Oleh: Khoerul Anam
[1] Usman, Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta:Teras, 2009), h.37.
[2] Muhammad
‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,(t.tp. :
al-Babi al-Halabi, t.th.), h.41.
[3] Ahmad
Sayyid al-Kumi dan Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim, ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo:
Kulliyat Ushul al-Din, Jami’at al-Azhar, 1976), h.23.
[4]
Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit.
[6] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), h.24.
[7]Manna’Al-Qaththan, , Mabaahits Fiy ‘Uluumil-Qur’an.
Cet.III. (Riyadh: Mansyuurat al-Asri al-Hadits. 1973), h.101-102.
[8] HR. Hakim, Baihaqi, dan Nasa’i.
[9] Muhammad Bakar Ismail, Diraasat Fiy
“Uluumil-Qur’an. (Kairo: Dar al-Manaar. 1991.), h.29.
[10]TM Hasbi Ash-Shiddieqy.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir.Cet.VI. (Jakarta: Bulan
Bintang. 1974. ), h.52.
[11] Subhi al-Shalih, Mabaahits fi ‘Ulum al-qur’an, (Beirut:
Dar al-‘Ilmi li al-Milayim, 1972), h.51.
[12]
Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit., h.46.
[13] Usman, op.cit.,
h.48.
[14] Manna’Al-Qaththan,
op.cit., h.106.
[15]
Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit., h.52-53.
[16] Muhammad
Bakar Ismail, op.cit., h.33.
[17] Ibid.,
h.17.
[18] TM Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h.44.
[19]
Nubuwwah ialah kenabian atau memperoleh wahyu dari Allah dengan tidak mendapat
tugas menyampaikan kepada umat.
[20] TM Hasbi Ash-Shiddieqy, ibid., h.44-48.
[21] Ibid.,
h.48-50.
[22] Muhammad
Bakar Ismail, op.cit., h.34-35.
[23]
Maksudnya, setiap kali orang-orang musyrik dan orang-orang kafir itu datang
kepada Rasulullah membawa sesuatu yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah
selalu menolak dan membantahnya dengan sesuatu yang benar dan nyata.
No comments:
Post a Comment