Oleh: Haniah Sufiatun
Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber
hukum pertama umat Islam. Kemampuan
setiap orang dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu berbeda, padahal penjelasan
ayat-ayatnya begitu jelas. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah
sesutau yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami
makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan kalangan cendikiawan dan
terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik.
Didalam kedua kelompok inipun terdapat aneka ragam dan tingat pemahaman. Maka
tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari
umatnya melaluai pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan
kata-kata yang asing atau dalam mena’wilkan suatu redaksi
kalimat.
Tafsir adalah salah satu ilmu yang membantu
seseorang dalam memhami al-Qur’an. Dalam perkembangannya para mufassir
al-Qur’an yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan bidang
yang ditekuninya. Tak heran bila perkembangan ini menjadikannya mempunyai corak
yang berbeda-beda. Terjemahan dan Tafisir yang akan dibahas kali ini adalah
salah satu tafsir milik anak bangsa ini yaitu Yassarnal-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Pengarang
1.
Ahmad Hariadi
Ahmad Hariadi
lahir pada malam takbir, 1 Syawwal 1327 H bertepatan dengan tanggal 2 Januari
1952 di kampung Kemenung Pare, Kediri, Jawa Timur. Setelah menamatkan SD
dan SMP Muhammadiyah, ia melanjutkan pendidikan ke SMEA. Pada tahun kedua, ia
yang bersaudara 20 orang itu keluar dan memutuskan untuk mengembara kemana kaki
ia melangkah dalam rangka mencari dan mempelajari ilmu-ilmu agama.[1]
Selama 5 tahun
(1967 s/d 1972) Ahmad Hariadi tekun mempelajari ilmu-ilmu agama, terutama ilmu nahwu-sharaf
dari pesantren ke pesantren lain (lebih dari 12 pesantren). Untuk lebih
mempercepat dalam memperdalam ilmu-ilmu agama, ia sering berguru lansung kepad
alim ulama’ baik alim ulama’ dari NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Islam
Jama’at, dan juga guru-guru Tarikat.
Dari sekian
banyak pesantren yang pernah dimasukinya adalah: Pesantren LDII di pusatnya Burengan,
Kediri, Jawa Timur. Pesantren NU di pusatnya Tebu Ireng, Jawa Timur.
Pesantren pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah di Jl. Suranoto Notoprajan,
Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Umar Afandi.
Di antara ulama
dimana ia belajar langsung padanya secara pribadi adalah:
a.
KH. Sidiq Abbas di Jombang,
ia adalah ulama’ Muhammadiyah yang dahulunya ulama’ NU. Di tempat ini Hariadi
belajar qira’at atau bacaan Al-Qur’an berdasarkan ilmu Riwayat dan Dirayah,
disamping menerjemahkan Al-Qur’an kata demi kata dan tafsirnya yang disertai
ilmu nahwau-sharaf.
b.
Ustadz Mansur, putra pendiri Persis A. Hassan. Di tempat ini ia
mempelajari ilmu nahwu-sharaf dengan memakai kitab alfiyah bin Malik, disamping
mempelajari buku-bukunya A. Hassan, terutama yang berjudul soal-jawab.
c.
KH. Mukhtar Mukti di PlosoJombang disini Hariadi mempelajari
Thariqah Siddiqiyah.
d.
Hamka di Kebayoran Baru, Jakarta, yang kediamannya dekat masjid
Al-Azhar dengannya Hariadi berdialog langsung tentang masalah-maslah ajaran
Ahmadiyah selam tiga hari di rumahnya.[2]
Akhirnya
Hariadi memutuskan untuk bai’at masuk ke dalam Jama’at Ahmadiyah (Qadiyani) di
Bandung pada bulan Desember 1973 M. Dan 1 tahun delapan bulan kemudian Hariadi
diangkat menjadi mubaligh Ahmadiah pada bulan Agustus 1975 M.
Menurut
Ahmadiah Qadian, bahwa kenabian itu berlangsung terus-menerus hingga hari
kiamat. Ahmadiah sangat tidak setuju dengan pendapat, bahwa setelah Nabi
Muhammad saw tidak ada lagi Nabi.
Menurut
Ahmadiah Qadiyan, bahwa Nabi Muhammad saw merupakan nabi penutup yang membawa
syari’at, tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari’at. Dengan
demikian tetap terbuka diutusnya Nabi yang tidak membawa syari’at setelah Nabi Muhammad
atau dengan perkataan lain sesuadah pengangkatan nabi Muhammad ebagai nabi,
Tuhan tetap mengangkat terus nabi-nabi.
Dasar
yang dikemukakan oleh Ahmadiah Qadian tentang adanya seorang nabi terus menerus
sesudah nabi Muhammad antara lain surat al-Ahzab ayat 40 dimana menurut mereka
Khataman Nabiyyin adalah nabi yang paling sempurna, cincin para nabi.[3]
Pada
waktu menjadi mubaligh Hariadi pernah diberi tugas oleh pusat Ahmadiah untuk
mengoreksi terjeamahan yang ada di dalam tafsir al-Qur’an yang diterbitkan oleh
Ahmadiah pusat Jakarta. Hariadi juga berkunjung ke pusat Ahmadiah dunia, aik
yang ada di kota Qodian-India ataupun yang ada di kota Rabwah-Pakistan. Dan di
kota Rabwah inilah khalifah Ahmadiah tinggal. Di sinilah Hariadi dikagetkan
oleh gaya hidup khalifah yang serba mewah dan serba dikeramatkan oleh para
pengikutnya serta kehidupan khalifah yang seolah-olah dibuat ia punya hubungan
khusu dengan Allah.
Kemudian
ada peristiwa yang mengerikan, sampai-sampai leher Hariadi hendak dipotong di
depan orang ramai oleh seorang ulama’ yang merupakan lawan penulis dalam
bermubahalah (perang do’a) tahun 1983 M. dan dari peristiwa itulah Hariad
merasa ragu-ragu dan mencapi klimaksnya Hariadi memutuskan untuk keluar dari
jama’at Ahmadiah yakni pada tanggal 3 Apri 1986 di Malasyia dan Singapura. Hal
tersebut dapat dilihat dalam buku penulis yang berjudul “Mengapa Saya Keluar
dari Ahmadiah Qadiani,” yang walaupun peulis sekarang ini sudah tidak ada dalam
buku itu.[4]
2.
Lukman Saad
Lahir di
Bukittinggi, Sumatra Barat, pada tanggala 24 Oktober 1939 M. beliau adalah
pencinta al-Qur’an sejak masa mudanya, disamping sebagai pekerja keras lagi
ulet dalam bidang perusahaan percetakan. Yang dikarenanya beliau sukses dalam
bidang tersebut. Di samping itu beliau pernah menerjemahkan al-Qur’an lengkap
30 juz ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1988 M. dan pada bulan maret tahun
2001 beliaulah yang mengaajak Ahmad hariadi untuk membuat terjemahan dan
tafsirnya dalam bahsa Indonesia. Dan sebelum proses pembuatan tafsir ini
selesai beliau sudah dipanggil oleh Allah pada tanggal 10 Juli 2001.[5]
B.
Latar Belakang Penulisan Tafsir
Sebuah buku
ditulis pastilah karena adanya sebuah alasan ataupun sejarah yang melatar
belakangi penulisannya. Begitupun tafsir Yassarnal-Qur’an ini ditulis oleh
dua orang yaitu Lukman Saad (Bukittinggi, 24 Oktober 1939- 10 Juli 2011) dan Ahmad Hariadi. Di awal Ahmad Hariadi
dihubungi oleh Saad (yang sudah dikenalnya sejak 1988) untuk membuat
”Terjemahan al-Qur’an dan Tafsirnya” dalam bahasa Indonesia. Ia mengatakan “Pak
Hariadi, kita ini tidak lama lagi akan meninggal dunia, sedangkan kita belum
meninggalkan karya yang berarti di tengah-tengah umat tentang al-Qur’an. Oleh
karena itu kalau pak Hariadi setuju marilah kita berdua membuat Terjemahan dan
Tafsir al-Qur’an untuk disebarkan di tengah-tengah umat dan bangsa. Dengan
itu, Hariadi pun menyambutnya dengan senang hati dan permusyawarahan di antara
keduanya pun terjadi dengan hasil kesepakatan “Masing-masing pihak tidak boleh
mempertahankan pendapatnya dengan tanpa alasan dan dalil yang kuat.” Setelah
itu pada tanggal 10 Maret 2001 dimulailah pekerjaan tersebut di kantor
PT.Ghalia Indonesia, Ciawi, Bogor. Hariadi menerjemahkan lafadz-lafadz
al-Qur’an dengan nahwu-sharaf sedangkan Saad mengetiknya dengan komputer. Di
samping itu keduanya juga menerjemahkan di rumah masing-masing dan setelah
bertemu dalam satu meja hasilnya dicocokkan.[6]
C.
Metode an Corak Penafsiran
Metode adalah salah satu sarana yang
yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam studi tafsir Al-Qur’an metode berarti suatu
cara yang tratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pembahasan yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad SAW. Definisi di atas memberikan
gambaran kepada kita bahwa metode tafsir
Al-Qur’an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan
ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an[7].
Secara garis besar metode penafsiran al-Qur’an, dapat dibagi menjadi empat
metode yaitu:
1. Metode penafsiran yang ditinjau dari
sumber penafsirannya,
2. Metode penafsiran al-qur’an ditinjau
dari cara penjelasannya,
3. Metode penafsiran al-qur’an ditinjau
dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.
4. Metode penafsiran al qur’an ditinjau
dari keluasan penjelasannya.
Dalam
menyajikan tafsirnya Ahmad Hariadi memaparkan terlebih dahulu ayat-ayat yang
ditafsirkannya, lalu ia menerjemahkan kedudukan katanya sesuai dengan ilmu nahwu-sharaf.
Sedangkan penafsiran al-Qur’an yang dilakukannya dengan cara ayat dengan ayat,
ayat dengan hadis, ayat dengan pendapat ulama’. Namun, tidak semua ayat ia
tafsirkan. Kitab ini dibaca dari kiri ke kanan sesuai dengan susunan surat dan
ayat yang ada dalam mushaf usmani.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam tafsirnya banyak
terlihat Ahmad Hariyadi menguraikan penjelasan tafsirnya secara ringkas dan
tidak disertai analisis yang memadai, sehingga terkesan praktis. [8]
Corak penafsiran adalah
model-model penafsiran dari setiap mufassir. Setiap penafsir akan menghasilkan
corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan yang
ia kuasai. Pada abad awal, corak penafsiran ini
tidak banyak ditemukan atau bahkan tidak terlihat karena mufassir pada abad
awal atau pada periode klasik belum banyak terpengaruh dengan fanatisme seperti
yang banyak ditemukan oleh mufassir pada abad pertengahan.
Adanya keempat macam
metode penafsiran tersebut tidak terlepas dari peran para mufasir dalam
memfokuskan perhatiannya terhadap penafsiran al-Qur’an itu sendiri. Di antara
mereka ada yang memfokuskan perhatiannya terhadap penafsirannya dalam masalah
bahasa, fiqh, teologi, filsafat, dan lain-lain, sehingga menimbulkan beraneka
corak penafsiran. Seperti al-lughawiy, al-fiqhiy, al-hukmiy, al-tafsir al-shufiy,
disebut al-kalamiy, al-tafsir al-‘ilmiy dan sebagainya. Semua corak dan aliran
tafsir ini banyak dipengaruhi oleh
spesifikasi dan kecenderungan aliran (madzhab) yang dianut oleh masing-masing
mufassir.[9]
Dalam tafsir
Yassarnal-Qur’an ditemukan banyak sekali penjelasan-penjelasan berkenaan dengan
pembahasan bahasa (nahwu-sharaf), namun tidak semua ayat dijelaskan secara
detail kaidah-kaidah bahasanya melainkan penjelasan singkat(terjemah) dan
terkadang juga ditemui penjelasan yang panjang lebar dalam satu ayat.
Sebagaimana contoh berikut yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 12:
..................................... فَمَنْ
كَفَرَ بَعْدَ ذَالِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَواَءَالسَّبِيْلِ.
Kalimat
ضَلَّ سَواَءَالسَّبِيْلِ diterjemahkan
dengan “dia telah sesat (dari) sama-rata/lurusnya jalan Allah.” Kata سَواَءَالسَّبِيْلِ dinasobkan
karena dicabutnya “huruf Jerr’ atau dengan kata lain مَنْصُوْبٌ
بِنَزْعِ الخَافَضِ . Adapun keterangan itu dapat dilihat dalam Keterangan no 61.
Dalam banyak tempat Hariadi menjelaskan secara detail runtutan ayat
sebagaimana tersusun dalam mushaf, mulai dari koskata, hubungan (munasabah)
ayat, hadis Nabi, dan sebagainya. Meskipun di lain ayat Hariadi juga
menggunakan analisa yang detail dalam menafsirkan ayat namun secara keseluruhan
metode yang digunakannya adalah metode global (ijmaliy).[10]
D.
Contoh Penafsiran
Di sini akan
kami paparkan contoh penafsiran beliau dalam surat An-Nahl ayat 125).
أُدْعُ إلي سَبِيْلِ رَبِكَ بالحِكْمَةِ وَالمَوْعِضَةِ الحَسَنَةِ
وَجَادِلْهمْ بالتي هِيَ أحْسَنُ إن رَبكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَ هُوَ اَعْلَمُ بالمُهْتَدِيْنَ
Artinya:
“Hendaklah engkau menyeru (pada manusia) kepada jalannya Rabb engkau dan
(dengan) pengajaran yang indah dan hendaklah kamu mendebat (pada) mereka dengan
(perdebatan) yang (adapun) ia/perdebatan itu (adalah) yang lebih indah.
Sesungguhnya Rabb engkau (adalah) (adapun) Dia (adalah) Yang lebih mengetahui
pada siapa yang dia tersesat dari jalan Dia/Allah, dan (adapun) Dia (adalah)
Yang lebih menegtahui pada oarnag-oarang yang tertunjuki/mendapat petunjuk.
Ditafsirkan sebagai berikut:
Dalam surat 16
(an-nahl) ayat 125 s/d ayat 128 ini, Allah menerangkan bagaimana cara-cara
dakwah yang baik lagi bijaksana, sehingga dengan perantaraan mana orang-orang
yang berjiwa baik dan jujur dapat tertunjuki kepada berbagai kebenaran sesuai
dengan yang digariskan oleh Allah, yaitu dengan jalan:
1.
Dengan cara-cara yang cukup bijaksana, yang dengan perantaraan mana
pihak yang didakwahi tidak merasa dibenci, tidak merasa dipojokkan, tidak
merasa dijelekkan, bahkan mereka merasa dihormati, dan dikasihsayangi.
2.
Dengan memilih materi- materi dakwah yang sangat indah lagi efektif
yang sesuai dengan kondisi dari masing-masing yang didakwahi.
3.
Kalau terpaksa harus dilakukan dialog atau perdebatan tentang
materi yang bersangkutan, hendaklah dengan cara dialog/perdebatan tentang
materi yang bersangkutan, hendaklah dengan cara dialog/perdebatan yang
seindah-indahnya, dan jangan sampai dialog dilakukan dengan jalan emosi yang
meluap-luap, sehingga kebenaran yang dapat diterima oleh mereka-mereka yang
berhati jujur itu menjadi terhalang karenanya.
4.
Jika kita diserang dengan berbagai serangan, apapun bentuknya, maka
kita harus membalasnya sesuai dengan yang seumpamanya; seperti kalu umpamanya
kalau agama Islam atau Nabi Muhammad saw. diserang atau dijelek-jelekkan
melalui tulisan atau karangan, maka hendaklah kita menyaggahnya melalui cara
yang sama dengan menunjukkan keunggulan dan keagungan dari ajaran-ajaran Isalam
itu sendiri.
5.
Di dalam kita berdakwah, kita harus tetap gigih/sabar, bertahan di
atas ketetapan-ketetapan Allah yang ada, jangan sampai menyimpang darinya.
6.
Kita dilarang bersedih hati dan sempit dada karena ulah dari
serangan-serangan mereka itu, sehingga karenanya kita melampiaskan hawa nafsu
kita untuk merusak apa saja yang dimiliki oleh mereka, apalagi kita sampai kita
berusaha mencelakakan dan membunuh mereka, padahal mereka tidak menyerang kita
secara fisik.
Dan akhirnya
dari semuanya itu, di dalam berdakwah, kita harus bermodalkan “takwa” dan
“akhlak-akhlak luhur”, karena hanya dengan perantaraan mana, maka dakwah kita
akan dapat mencapai hasil yang baik, atau dengan kata lain “Allah akan
menyertai kita di dalam berdakwah” (surat an-nahl ayat terakhir).[11]
Konsep khataman
nabiyyin yang dikemukakan oleh jama’ah Ahmadiah dalam surat al-Ahzab ayat 40,
(khatam diartikan sebagai isim jama’ yang berarti paling mulia bukan penutup.
Namun dalam tafsir Hariadi tidak terlihat demikian ia mengartikan Khataman
Nabiyyin adalah penutup nabi-nabi.
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir Yassarnal-Qur’an nama ini terambil dari salah satu
rangkaian ayat yang ada dalam al-Qur’an yaitu surat Al-Qamar yang terulang
sebnayak 4 kali yaitu pada ayat 17,22,32,40 dalam surat ini dengan redaksi yang
sama. Sedangkan redaksi ayatnya adalah sebagaimana berikut وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْانَ لِلذِّرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Apabila dilihat maka itu seperti ada penekanan terhadap ayat itu adalah
karya yang ditulis oleh pengarangnya sesuai dengan keadaan masa kini yaitu
tafsir kontemporer yang meliputi lintas Asbab an-Nuzul, kaidah nahwu-sharaf,
tinjauan bahasa (mufradat) serta aspek sosial kemasayarakatan. Apabila dilihat
sekilas dari nama karya tafsir ini maka sang penulis tafsir sepertinya
benar-benar mempunyai tujuan ingin mempermudah pembacanya dalam memahami
al-Qur’an. Karya ini lebih baik apabila dibaca oleh kalangan yang terpelajar seperti
pelajar di pondok-pondok pesantren dan mahasiswa, meskipun tak semua materi
yang diberikan berat namu melihat dari cakupan yang ada dalam tafsir ini tujuan
sang penulis adalah memberikan persembahan bagi seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan Nashruddin, Metode
Penafsiran Al-Qur’an, Yokyakarta, Pustaka
Pelajar, 2002.
Hariadi Ahmad. Saad Lukman, Yassarnal-Qur’an (Terjemahan per
Kata dengan Nahwu-Sorof dan Tafsir Bebas Kontemporer lintas Asbabul-Nuzul),
Garut, Yayasan Kebangkitan Al-Qur’an, 2004.
Rohman Nur, Paham Ahmadiyah dalam Tafsir Yassarnal-Qur’an Karya
Ahmad Hariyadi
Usman, Ilmu
Tafsir, Yokyakarta, Teras,
2009, hal: 279.
M. Amin
Jalaluddin, Ahmadiah dan Pembajakan al-Qur’an, Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI), Jakarta, 2008.
[1] Nur Rohman, Paham Ahmadiyah dalam Tafsir Yassarnal-Qur’an Karya
Ahmad Hariyadi (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2013),
hal: 17
[2] Nur Rohman,
Paham Ahmadiyah dalam Tafsir Yassarnal-Qur’an Karya Ahmad Hariyadi, hal: 19
[3] M. Amin
Jalaluddin, Ahmadiah dan Pembajakan al-Qur’an Lembaga peneliian dan
pengkajian islam (LPPI), Jakarta, 2008.
[4] Ahmad Hariadi. Lukamn Saad, Yassarnal-Qur’an (Terjemahan per
Kata dengan Nahwu-Sorof dan Tafsir Bebas Kontemporer lintas Asbabul-Nuzul),
Garut, Yayasan Kebangkitan Al-Qur’an, 2004, hal:vi
[5] Ahmad Hariadi. Lukamn Saad, Yassarnal-Qur’an, hal: ix.
[6] Ahmad Hariadi.
Lukamn Saad, Yassarnal-Qur’an, hal: ix.
[7] Nashruddin
Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an,
Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hal.
55.
[8] Nur Rohman,
Paham Ahmadiyah dalam Tafsir Yassarnal-Qur’an Karya Ahmad Hariyadi , hal:
42
[9] Usman, Ilmu Tafsir,
Yokyakarta, Teras, 2009, hal: 279.
[10] Nur Rohman,
Paham Ahmadiyah dalam Tafsir Yassarnal-Qur’an Karya Ahmad Hariyadi , hal: 52.
[11] Ahmad Hariadi.
Lukamn Saad, Yassarnal-Qur’an (Terjemahan per Kata dengan Nahwu-Sorof dan
Tafsir Bebas Kontemporer lintas Asbabul-Nuzul), Garut, Yayasan Kebangkitan
Al-Qur’an, 2004, hal: 561.
No comments:
Post a Comment